Ratusan Rekening Diblokir, Nilai Transaksi di BEI Ambruk 38%

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
30 January 2020 13:38
Ratusan Rekening Diblokir, Nilai Transaksi di BEI Ambruk 38%
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Perdagangan di bursa saham Indonesia pada bulan pertama di tahun 2020 terlihat sangat tak bergairah.

Baik dari volume maupun nilai transaksi, terdapat penurunan yang signifikan jika dibandingkan dengan capaian pada periode yang sama tahun lalu (Januari 2019).

Berasarkan data transaksi yang kami himpun dari salah satu aplikasi sekuritas yang berada di Indonesia, secara rata-rata pada Januari 2019, sebanyak 13,03 miliar unit saham ditransaksikan setiap harinya di Bursa Efek Indonesia (BEI), dengan nilai transaksi mencapai Rp 10,14 triliun.

Pada Januari 2020 (hingga penutupan perdagangan kemarin, Rabu, 29/1/2020), rata-rata volume transaksi harian di BEI anjlok menjadi 7,5 miliar unit saja, sementara nilainya turun menjadi Rp 6,32 triliun saja.

Jika dihitung secara persentase, rata-rata volume transaksi harian anjlok 42,44% secara tahunan pada Januari 2020, sementara nilai transaksi ambruk 37,67%.

Seiring dengan anjloknya volume dan nilai transaksi, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia terkoreksi sebesar 2,96% di sepanjang Januari 2020 (hingga penutupan perdagangan kemarin). Sebagai perbandingan, pada Januari 2019 IHSG menguat hingga 5,46%.

Jika berkaca kepada sejarah, sejatinya bulan Januari bisa dikatakan sebagai bulan yang bersahabat bagi pelaku pasar saham tanah air. Dalam 10 tahun terakhir (2010-2019), IHSG hanya dua kali membukukan imbal hasil negatif secara bulanan pada bulan Januari, yakni pada tahun 2011 dan 2017.

Apresiasi terbaik IHSG pada bulan Januari terjadi pada tahun 2019 atau tahun lalu. Per akhir Januari 2019, seperti yang sudah disebutkan di atas, IHSG melejit hingga 5,46% jika dibandingkan dengan posisi per akhir Desember 2018.

Jika dirata-rata, IHSG membukukan imbal hasil sebesar 1,58% secara bulanan pada bulan Januari.


Jika koreksi IHSG hingga saat ini yang sebesar 2,96% berakhir hingga akhir bulan, maka akan menandai Januari terburuk di pasar saham Tanah Air dalam sembilan tahun.

Pada awal tahun, cukup banyak pihak yang mengatakan bahwa ambruknya volume dan nilai transaksi saham merupakan dampak dari masih banyaknya pelaku pasar yang berlibur. Selain itu, bencana banjir yang sempat melanda wilayah Jabodetabek pada pekan pertama Januari 2020 diyakini ikut berkontribusi dalam menekan volume dan nilai transaksi di pasar saham Indonesia.
Namun nyatanya, memasuki hari-hari perdagangan terakhir di bulan Januari, volume dan nilai transaksi masih saja loyo.

Patut dicurigai, loyonya volume dan nilai transaksi di pasar saham Indonesia merupakan dampak dari pemblokiran 800 sub-rekening efek oleh Kejaksaan Agung (Kejagung). Pemblokiran tersebut dilakukan oleh Kejagung sebagai bagian dari penyelidikan dugaan korupsi di tubuh PT Asuransi Jiwasraya (Persero).

Kepala Pusat Penerangan dan Hukum Kejaksaan Agung (Kapuspenkum Kejagung) Hari Setiyono mengatakan bahwa sebagian dari 800 rekening efek yang diblokir diduga merupakan nominee (pinjam nama) alias rekening atas nama. Sementara itu, sebagian lain adalah rekening efek yang merupakan atas nama tersangka dugaan korupsi di Jiwasraya.

"Nah itulah yang jadi objek permintaan keterangan dikaitkan dengan barang bukti akhirnya dilakukan pemblokiran terhadap rekening-rekening itu," ujarnya pada hari Senin (27/01/2020).

Sebelumnya, Kejagung memerintahkan agar 800 rekening efek diblokir terkait penyidikan kasus Jiwasraya. Pemblokiran tersebut kemudian dibahas bersama dalam rapat antara Asosiasi Perusahaan Efek Indonesia (APEI) dengan Anggota Bursa pada hari Kamis (23/1/2020). Dalam rapat tersebut, dibahas juga sekitar 1.000 sub-rekening efek yang sudah diblokir sebelumnya.

Walaupun Kejagung menepis anggapan bahwa pemblokiran tersebut juga menyasar rekening efek yang tidak terlibat Jiwasraya, ternyata tak semua pelaku pasar setuju.

Sebanyak dua orang broker sekuritas membenarkan bahwa banyak rekening efek nasabah yang diblokir. Salah satu broker yang menolak namanya diungkap menduga jumlah rekening yang diblokor dapat mencapai ratusan atau bahkan ribuan.

Salah seorang broker mengatakan langkah suspensi yang dinilai membabi buta dan cenderung tanpa perhitungan tersebut justru dapat menyulitkan nasabah yang tidak ada sangkut pautnya dengan dugaan transaksi Jiwasraya dan PT Asabri (Persero), dan akhirnya akan berdampak pada negatifnya asumsi publik terhadap investasi di pasar modal.

Dalam kesempatan terpisah, Direktur Perdagangan dan Pengaturan Anggota Bursa BEI Laksono Widodo tak berkomentar lebih detail terkait berapa jumlah rekening efek yang diblokir, berikut dengan perusahaan sekuritas yang diduga terlibat.

"Memang ada [beberapa rekening yang diblokir karena Jiwasraya]," kata Laksono di Gedung BEI, Jakarta.

Laksono menambahkan, pemblokiran itu dilaksanakan secara bertahap menindaklanjuti pemeriksaan yang dilakukan Kejagung. Ia juga tidak dapat memastikan kapan pemblokiran tersebut akan dibuka.

"Iya bertahap, tidak tahu [sampai kapan dibuka], ini kan pemeriksaan, bukan di ranah kami lagi," ujarnya.

Direktur Utama Kustodian Sentral Efek Indonesia, Uriep Budhi Prasetyo, irit bicara kepada wartawan kala dikonfirmasi mengenai berapa jumlah rekening saham yang diblokir.

"Tanya yang berikan informasi," jawabnya Uriep singkat.

Pemblokiran rekening efek tentu memiliki dampak terhadap kinerja IHSG, baik secara langsung maupun tidak langsung. Jika berbicara mengenai dampak secara langsung, aktivitas transaksi dari rekening yang diblokir pastinya berhenti dan menekan volume dan nilai transaksi.

Jika berbicara mengenai dampak secara tidak langsung, pemblokiran rekening efek secara besar-besaran yang dilakukan oleh Kejagung, di mana hal tersebut bahkan disebut membabi-buta oleh pelaku pasar, akan membawa dampak negatif terhadap asumsi publik terhadap investasi di pasar saham Indonesia.

Bisa jadi, ada kekhawatiran bahwa pemblokiran rekening efek secara membabi buta akan semakin meluas dan mempengaruhi nasabah ritel yang memang tak ada sangkut-pautnya dengan kasus yang saat ini tengah diselidiki oleh Kejagung, sehingga mereka sudah menahan transaksi sedari saat ini.
Selain pemblokiran rekening efek, ada beberapa faktor lain yang ikut berkontribusi dalam menekan kinerja pasar saham Tanah Air di sepanjang bulan ini. Pertama, potensi meletusnya perang dunia ketiga.

Pada awal tahun 2020, AS menembak mati petinggi pasukan militer Iran Jenderal Qassim Soleimani yang merupakan pemimpin dari Quds Force selaku satuan pasukan khusus yang dimiliki Revolutionary Guards (salah satu bagian dari pasukan bersenjata Iran). Soleimani tewas dalam serangan udara yang diluncurkan oleh AS di Baghdad.

Selain itu, Abu Mahdi al-Muhandis yang merupakan wakil komandan dari Popular Mobilization Forces selaku kelompok milisi Irak yang dibekingi oleh Iran, juga meninggal dunia.

Sebagai balasan dari pembunuhan Soleimani, Iran menembakkan misil ke dua markas militer AS di Irak. Diketahui, lebih dari selusin misil balistik diluncurkan oleh Iran ke dua markas militer AS tersebut.

"Jelas bahwa rudal ini diluncurkan dari Iran dan menargetkan setidaknya dua pangkalan militer Irak yang menampung personel militer dan koalisi AS di Al-Assad dan Irbil," kata juru bicara Pentagon pasca serangan.

Faktor kedua yang ikut berkontribusi dalam menekan kinerja pasar saham tanah air di bulan Januari tahun ini adalah meluasnya infeksi virus Corona.
Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.

Berpusat di China, kasus serangan virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Kini, setidaknya sebanyak 18 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.

China, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Jerman, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona.

Melansir CNBC International, hingga hari Rabu sebanyak 170 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus mencapai lebih dari 7.700. Padahal hingga hari Minggu (26/1/2020), jumlahnya korban meninggal baru mencapai 56 orang.

Ini artinya, dalam kurun waktu tiga hari jumlah korban meninggal akibat infeksi virus Corona telah bertambah tiga kali lipat lebih.

Faktor ketiga yang berkontribusi dalam menekan kinerja IHSG adalah pengumuman hasil Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI). Hasil RDG diumumkan oleh BI pada hari Kamis (23/1/2020).

Sesuai dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia, tingkat suku bunga acuan ditahan di level 5% oleh bank sentral. Lantas, empat bulan sudah BI tak memangkas 7-day reverse repo rate.

Untuk diketahui, kali terakhir BI memangkas 7-day reverse repo rate adalah pada September 2019. Di sepanjang tahun lalu, secara total BI memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 100 bps.

Jika tingkat suku bunga acuan kembali dipangkas, bank akan semakin terdorong untuk menurunkan tingkat suku bunga kredit sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan semakin terdorong untuk meningkatkan konsumsinya. Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar lebih kencang.

Selain tak memangkas tingkat suku bunga acuan, BI juga tak mengeksuksi pelonggaran lain yang bisa mendongkrak laju perekonomian. Sekedar mengingatkan, dalam pertemuan di bulan November, walaupun tak memangkas tingkat suku bunga acuan, BI memutuskan untuk memangkas Giro Wajib Minimum (GWM).

“GWM diturunkan untuk bank umum dan syariah sebesar 50 bps sehingga masing-masing menjadi 5,5% dan 4%,” kata Gubernur BI Perry Warjiyo dalam konferensi pers di Gedung BI pada bulan November.

Untuk diketahui, rasio GWM mengatur besaran Dana Pihak Ketiga (DPK) milik bank yang harus dititipkan di bank sentral. Jika rasio GWM dilonggarkan, praktis besaran dana yang harus dititipkan di bank sentral menjadi berkurang dan menambah likuiditas perbankan.
BI mengungkapkan bahwa penurunan rasio GWM yang diumumkan pada saat itu dan akan berlaku efektif pada 2 Januari 2020, akan membebaskan dana senilai Rp 24,1 triliun bagi bank umum, sementara untuk bank syariah likuiditas akan bertambah Rp 1,9 triliun.

Kala laju perekonomian sedang lesu seperti saat ini, wajar jika pelaku pasar saham Tanah Air berharap bahwa BI akan menyuntikkan stimulus moneter. Absennya stimulus moneter dari lantas membuat IHSG kian tertekan.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular