
Analisis
The Fed Bikin Rupiah Belum "Pede" Menguat Lagi
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 January 2020 12:54

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (29/1/2020) setelah melemah dua hari beruntun.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah menguat 0,11% ke level Rp 13.615/US$. Sayangmnnya level tersebut menjadi yang terkuat bagi Mata Uang Garuda pada hari ini, setelahnya rupiah sempat melemah 0,04% ke Rp 13.635/US$. Rupiah berhasil kembali menguat ke pada pukul 12:00 WIB.
Penyebaran virus corona masih menjadi perhatian pada hari ini. Mengutip CNBC International, jumlah korban meninggal akibat virus corona hingga pagi ini bertambah menjadi 132 orang, dan telah menjangkiti 5.974 orang. Selain itu sebanyak 103 orang dilaporkan sudah sembuh.
Jumlah kasus virus corona di China kini melebihi wabah Sindrom Pernapasan Akut Berat (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) pada 2002-2003 lalu sebanyak 5.327 kasus.
Virus corona pertama kali muncul di kota Wuhan China, dan kini telah menyebar setidaknya ke 16 negara. Kota Wuhan dengan jumlah penduduk mencapai 11 juta jiwa sudah diisolasi oleh pemerintah China.
Jumlah korban meninggal yang bertambah banyak dalam waktu singkat, serta penyebarannya ke berbagai negara tentunya membuat pelaku pasar dibuat semakin cemas, bahkan dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi perekonomian China.
Hasil riset S&P menunjukkan virus corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sebesar 1,2%.
Ketika perekonomian China memburuk, maka kondisi ekonomi global akan turut menurun karena China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS.
Berdasarkan kajian Bank Dunia, setiap perlambatan ekonomi China sebesar 1 poin persentase bakal mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3%.
Hal tersebut memberikan dampak negatif bagi rupiah. Tetapi akhir pekan lalu rupiah menunjukkan masih kebal terhadap isu virus corona, dan baru mengalami tekanan sejak awal pekan ini.
Selain itu, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan mengumumkan kebijakan moneter Kamis dini hari WIB membuat rupiah belum "pede" untuk menguat lebih lanjut pada hari ini.
Pada akhir tahun lalu, The Fed menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga di tahun ini, serta membanjiri likuditas di pasar melalui program repurchase agreement (repo) yang menjadi salah satu alasan rupiah membukukan penguatan delapan pekan beruntun.
Program tersebut diluncurkan setelah pasar uang antar bank (PUAB) di AS sedang mengalami pengetatan, bahkan suku bunga overnight mencapai 10%, sebagaimana dilansir nasdaq.com.
Untuk mencegah gejolak finansial, The Fed melakukan operasi moneter dengan repo. Caranya, mereka membeli surat-surat berharga seperti obligasi pemerintah AS jangka pendek (Treasury Bill), efek beragun aset (EBA), dan surat berharga lain dari bank konvensional. Selanjutnya, bank konvensional bisa kembali membeli surat berharga itu beberapa hari atau minggu kemudian, dengan bunga lebih rendah.
The Fed dini hari hampir pasti akan mempertahankan suku bunga acuannya, tetapi pelaku pasar akan melihat bagaimana ketua The Fed, Jerome Powell akan menjelaskan program repo tersebut, dan bagaimana kelanjutannya.
Keberlanjutan program tersebut berpeluang membuat rupiah kembali menguat, sementara jika dihentikan, rupiah berisiko tertekan.
Jika dilihat secara teknikal, penguatan rupiah terjadi setelah menembus ke batas bawah pola Descending Triangle, yang sebelumnya juga diikuti dengan munculnya pola Black Marubozu.
Pola Descending Triangle pada rupiah terbentuk sejak bulan Agustus 2019, yang artinya sudah berlangsung selama lima bulan sebelum batas bawah (support) Rp 13.885/US$ berhasil ditembus di awal bulan ini.
Sementara itu, pola Black Marubozu muncul pada Selasa (7/1/2020), rupiah saat itu membuka perdagangan di level Rp 13.930/US$, dan mengakhiri perdagangan di Rp 13.870/US$, atau menguat 0,47%.
Munculnya Black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrumen akan mengalami penurunan lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah.
Sejak saat itu, penguatan rupiah belum terbendung. Jika melihat Descending Triangle, dari titik atas Rp 14.525/US$ hingga ke batas bawah Rp 13.885/US$, ada jarak sebesar Rp 640.
Ketika pola Descending Triangle berhasil ditembus, maka target yang dituju juga sebesar jarak titik atas hingga ke batas bawah. Dengan demikian, berdasarkan pola tersebut, secara teknikal rupiah masih memiliki ruang menguat hingga ke Rp 13.245/US$ dalam jangka menengah.
Area Rp 13.885/US$ kini menjadi resisten (tahanan atas). Rupiah masih berpeluang menguat menuju target Rp 13.245/US$ dalam jangka menengah selama level tersebut tidak terlampaui.
Sementara untuk hari ini, indikator Stochastic pada grafik 1 jam bergerak turun dari wilayah jenuh beli (overbought).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah jenuh overbought untuk pasangan USD/IDR, maka itu bisa menjadi sinyal harga akan turun dalam jangka pendek. Artinya penguatan dolar akan terpangkas atau bahkan berbalik melemah.
Resisten (tahanan atas) terdekat berada di level Rp 13.640/US$, selama tertahan di bawah level tersebut rupiah berpeluang menguat menguji kembali lr Rp 13.615/US$. Penembusan di bawah level tersebut akan membuka peluang menguat ke Rp 13.590/US$.
Sementara jika kembali menembus konsisten di atas resisten, Mata Uang Garuda berisiko melemah ke Rp 13.665/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/tas) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah menguat 0,11% ke level Rp 13.615/US$. Sayangmnnya level tersebut menjadi yang terkuat bagi Mata Uang Garuda pada hari ini, setelahnya rupiah sempat melemah 0,04% ke Rp 13.635/US$. Rupiah berhasil kembali menguat ke pada pukul 12:00 WIB.
Penyebaran virus corona masih menjadi perhatian pada hari ini. Mengutip CNBC International, jumlah korban meninggal akibat virus corona hingga pagi ini bertambah menjadi 132 orang, dan telah menjangkiti 5.974 orang. Selain itu sebanyak 103 orang dilaporkan sudah sembuh.
![]() |
Jumlah kasus virus corona di China kini melebihi wabah Sindrom Pernapasan Akut Berat (Severe Acute Respiratory Syndrome/SARS) pada 2002-2003 lalu sebanyak 5.327 kasus.
Virus corona pertama kali muncul di kota Wuhan China, dan kini telah menyebar setidaknya ke 16 negara. Kota Wuhan dengan jumlah penduduk mencapai 11 juta jiwa sudah diisolasi oleh pemerintah China.
Jumlah korban meninggal yang bertambah banyak dalam waktu singkat, serta penyebarannya ke berbagai negara tentunya membuat pelaku pasar dibuat semakin cemas, bahkan dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi perekonomian China.
Hasil riset S&P menunjukkan virus corona akan memangkas pertumbuhan ekonomi China sebesar 1,2%.
Ketika perekonomian China memburuk, maka kondisi ekonomi global akan turut menurun karena China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS.
Berdasarkan kajian Bank Dunia, setiap perlambatan ekonomi China sebesar 1 poin persentase bakal mengurangi pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3%.
Hal tersebut memberikan dampak negatif bagi rupiah. Tetapi akhir pekan lalu rupiah menunjukkan masih kebal terhadap isu virus corona, dan baru mengalami tekanan sejak awal pekan ini.
Selain itu, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang akan mengumumkan kebijakan moneter Kamis dini hari WIB membuat rupiah belum "pede" untuk menguat lebih lanjut pada hari ini.
Pada akhir tahun lalu, The Fed menyatakan tidak akan menaikkan suku bunga di tahun ini, serta membanjiri likuditas di pasar melalui program repurchase agreement (repo) yang menjadi salah satu alasan rupiah membukukan penguatan delapan pekan beruntun.
Program tersebut diluncurkan setelah pasar uang antar bank (PUAB) di AS sedang mengalami pengetatan, bahkan suku bunga overnight mencapai 10%, sebagaimana dilansir nasdaq.com.
Untuk mencegah gejolak finansial, The Fed melakukan operasi moneter dengan repo. Caranya, mereka membeli surat-surat berharga seperti obligasi pemerintah AS jangka pendek (Treasury Bill), efek beragun aset (EBA), dan surat berharga lain dari bank konvensional. Selanjutnya, bank konvensional bisa kembali membeli surat berharga itu beberapa hari atau minggu kemudian, dengan bunga lebih rendah.
The Fed dini hari hampir pasti akan mempertahankan suku bunga acuannya, tetapi pelaku pasar akan melihat bagaimana ketua The Fed, Jerome Powell akan menjelaskan program repo tersebut, dan bagaimana kelanjutannya.
Keberlanjutan program tersebut berpeluang membuat rupiah kembali menguat, sementara jika dihentikan, rupiah berisiko tertekan.
Jika dilihat secara teknikal, penguatan rupiah terjadi setelah menembus ke batas bawah pola Descending Triangle, yang sebelumnya juga diikuti dengan munculnya pola Black Marubozu.
Pola Descending Triangle pada rupiah terbentuk sejak bulan Agustus 2019, yang artinya sudah berlangsung selama lima bulan sebelum batas bawah (support) Rp 13.885/US$ berhasil ditembus di awal bulan ini.
Sementara itu, pola Black Marubozu muncul pada Selasa (7/1/2020), rupiah saat itu membuka perdagangan di level Rp 13.930/US$, dan mengakhiri perdagangan di Rp 13.870/US$, atau menguat 0,47%.
Munculnya Black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrumen akan mengalami penurunan lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah.
![]() Sumber: investing.com |
Sejak saat itu, penguatan rupiah belum terbendung. Jika melihat Descending Triangle, dari titik atas Rp 14.525/US$ hingga ke batas bawah Rp 13.885/US$, ada jarak sebesar Rp 640.
Ketika pola Descending Triangle berhasil ditembus, maka target yang dituju juga sebesar jarak titik atas hingga ke batas bawah. Dengan demikian, berdasarkan pola tersebut, secara teknikal rupiah masih memiliki ruang menguat hingga ke Rp 13.245/US$ dalam jangka menengah.
Area Rp 13.885/US$ kini menjadi resisten (tahanan atas). Rupiah masih berpeluang menguat menuju target Rp 13.245/US$ dalam jangka menengah selama level tersebut tidak terlampaui.
![]() Sumber: investing.com |
Sementara untuk hari ini, indikator Stochastic pada grafik 1 jam bergerak turun dari wilayah jenuh beli (overbought).
Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah jenuh overbought untuk pasangan USD/IDR, maka itu bisa menjadi sinyal harga akan turun dalam jangka pendek. Artinya penguatan dolar akan terpangkas atau bahkan berbalik melemah.
Resisten (tahanan atas) terdekat berada di level Rp 13.640/US$, selama tertahan di bawah level tersebut rupiah berpeluang menguat menguji kembali lr Rp 13.615/US$. Penembusan di bawah level tersebut akan membuka peluang menguat ke Rp 13.590/US$.
Sementara jika kembali menembus konsisten di atas resisten, Mata Uang Garuda berisiko melemah ke Rp 13.665/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/tas) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular