
'Disengat' Virus Corona, IHSG Melemah 3 Hari Beruntun
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
28 January 2020 16:30

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan kedua di pekan ini, Selasa (28/1/2020), di zona merah.
Pada pembukaan perdagangan, IHSG melemah 0,37% ke level 6.110,22. Per akhir sesi satu, koreksi indeks saham acuan di Indonesia tersebut telah bertambah dalam menjadi 0,99% ke level 6.072,24. Per akhir sesi dua, koreksi IHSG adalah sebesar 0,36% ke level 6.111,18.
Koreksi IHSG pada hari ini menandai koreksi ketiga secara beruntun.
Saham-saham yang berkontribusi signifikan dalam menekan kinerja IHSG di antaranya: PT Barito Pacific Tbk/BRPT (-5,7%), PT Bank Central Asia Tbk/BBCA (-0,73%), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk/BBRI (-0,65%), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk/CPIN (-2,85%), dan PT Bank Tabungan Pensiunan Nasional Syariah Tbk/BTPS (-5,35%).
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei melemah 0,55%, indeks Straits Times anjlok 1,76%, dan indeks Kospi ambruk 3,09%.
Untuk diketahui, perdagangan di bursa saham China dan Hong Kong masih diliburkan seiring dengan peringatan Tahun Baru China.
Aksi jual menerpa bursa saham Asia seiring dengan meluasnya infeksi virus Corona. Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.
Berpusat di China, kasus serangan virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Kini, setidaknya sebanyak 16 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.
China, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona. Perkembangan terbaru, Jerman melaporkan infeksi virus Corona pertama di negaranya.
Hingga kini, sebanyak 106 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus nyaris mencapai 4.200. Padahal hingga kemarin, Senin (27/1/2020), jumlah korban meninggal baru sebanyak 80 orang. Hingga hari Minggu (26/1/2020), jumlahnya baru mencapai 56 orang.
Sebagai informasi, pemerintah China sebelumnya telah resmi memperpanjang libur Tahun Baru China guna meminimalisir penyebaran virus Corona.
Meluasnya infeksi virus Corona hingga ke negara-negara lain berpotensi membuat World Health Organziation (WHO) mendeklarasikan darurat kesehatan publik internasional atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC).
Sebagai catatan, PHEIC merupakan deklarasi formal dari WHO terkait kejadian luar biasa yang ditetapkan sebagai risiko kesehatan bagi masyarakat negara lain dan berpotensi memerlukan respons internasional yang terkoordinasi untuk menanggulanginya.
Merespons terus meluasnya infeksi virus Corona, bursa saham AS alias Wall Street ikut ambruk pada perdagangan kemarin. Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks Dow Jones ambruk 1,57%, indeks S&P 500 turun 1,57%, dan indeks Nasdaq Composite anjlok 1,89%.
Terdapat kemungkinan bahwa infeksi virus Corona akan mewabah seperti SARS. Jika ini yang terjadi, perekonomian China bisa kian tertekan. Pasalnya, kini masyarakat China akan merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia.
Di China, perdagangan di bursa sahamnya akan diliburkan mulai dari tanggal 24 Januari hingga 30 Januari guna memperingati Tahun Baru China.
Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.
Pemerintah China sendiri memperkirakan akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.
Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.
Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.
Melansir CNBC International, pasca tumbuh 12% pada tahun 2002, industri pariwisata China langsung terkontraksi pada tahun 2003 merespons merebaknya wabah SARS, menandai kontraksi pertama dalam satu dekade. Pemberitaan CNBC International tersebut mengutip publikasi riset dari Eric Lin selaku kepala riset di UBS Securities.
"Valuasi dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata terpangkas 20%-50% dari puncaknya dalam periode Januari-Juni 2003," tulis Lin dalam risetnya, seperti dilansir dari CNBC International.
Berbicara mengenai virus Corona, jika ternyata infeksinya merebak menjadi wabah seperti SARS, dampaknya ke perekonomian China bisa lebih besar. Pasalnya, kini perekonomian China sudah semakin tergantung kepada sektor jasa.
Melansir CNBC International, sektor jasa menyumbang sebesar 59,4% dari total produk domestik bruto (PDB) China pada tahun 2019, sementara pada tahun 2003 kala wabah SARS merambah China kontribusi dari sektor jasa hanyalah sebesar 39%.
Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global.
Sebagai informasi, perekonomian Negeri Panda tumbuh sebesar 6,1% pada tahun 2019, jauh melambat dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2018 yang sebesar 6,6%. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.
Pada pembukaan perdagangan, IHSG melemah 0,37% ke level 6.110,22. Per akhir sesi satu, koreksi indeks saham acuan di Indonesia tersebut telah bertambah dalam menjadi 0,99% ke level 6.072,24. Per akhir sesi dua, koreksi IHSG adalah sebesar 0,36% ke level 6.111,18.
Koreksi IHSG pada hari ini menandai koreksi ketiga secara beruntun.
Kinerja IHSG senada dengan seluruh bursa saham utama kawasan Asia yang juga ditransaksikan di zona merah: indeks Nikkei melemah 0,55%, indeks Straits Times anjlok 1,76%, dan indeks Kospi ambruk 3,09%.
Untuk diketahui, perdagangan di bursa saham China dan Hong Kong masih diliburkan seiring dengan peringatan Tahun Baru China.
Aksi jual menerpa bursa saham Asia seiring dengan meluasnya infeksi virus Corona. Virus Corona sendiri merupakan virus yang menyerang sistem pernafasan manusia. Gejala dari paparan virus Corona meliputi batuk, sakit tenggorokan, sakit kepala, dan demam, seperti dilansir dari CNN International.
Berpusat di China, kasus serangan virus Corona juga dilaporkan telah terjadi di negara-negara lain. Kini, setidaknya sebanyak 16 negara telah mengonfirmasi terjadinya infeksi virus Corona di wilayah mereka.
China, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, AS, Vietnam, Prancis, Nepal, dan Kanada termasuk ke dalam daftar negara yang sudah melaporkan infeksi virus Corona. Perkembangan terbaru, Jerman melaporkan infeksi virus Corona pertama di negaranya.
Hingga kini, sebanyak 106 orang di China telah meninggal akibat infeksi virus Corona, dengan jumlah kasus nyaris mencapai 4.200. Padahal hingga kemarin, Senin (27/1/2020), jumlah korban meninggal baru sebanyak 80 orang. Hingga hari Minggu (26/1/2020), jumlahnya baru mencapai 56 orang.
Sebagai informasi, pemerintah China sebelumnya telah resmi memperpanjang libur Tahun Baru China guna meminimalisir penyebaran virus Corona.
Meluasnya infeksi virus Corona hingga ke negara-negara lain berpotensi membuat World Health Organziation (WHO) mendeklarasikan darurat kesehatan publik internasional atau Public Health Emergency of International Concern (PHEIC).
Sebagai catatan, PHEIC merupakan deklarasi formal dari WHO terkait kejadian luar biasa yang ditetapkan sebagai risiko kesehatan bagi masyarakat negara lain dan berpotensi memerlukan respons internasional yang terkoordinasi untuk menanggulanginya.
Merespons terus meluasnya infeksi virus Corona, bursa saham AS alias Wall Street ikut ambruk pada perdagangan kemarin. Pada penutupan perdagangan kemarin, indeks Dow Jones ambruk 1,57%, indeks S&P 500 turun 1,57%, dan indeks Nasdaq Composite anjlok 1,89%.
Terdapat kemungkinan bahwa infeksi virus Corona akan mewabah seperti SARS. Jika ini yang terjadi, perekonomian China bisa kian tertekan. Pasalnya, kini masyarakat China akan merayakan hari raya Tahun Baru China atau yang dikenal dengan istilah Imlek di Indonesia.
Di China, perdagangan di bursa sahamnya akan diliburkan mulai dari tanggal 24 Januari hingga 30 Januari guna memperingati Tahun Baru China.
![]() |
Selama libur Tahun Baru China, masyarakat China biasanya kembali ke kampung halamannya, sama seperti yang dilakukan masyarakat Indonesia pada hari raya Idul Fitri. Dalam periode tersebut, konsumsi masyarakat China biasanya akan meningkat drastis.
Pemerintah China sendiri memperkirakan akan ada sebanyak tiga miliar perjalanan pada Tahun Baru China kali ini, naik dibandingkan tahun lalu yaitu 2,99 miliar perjalanan. Dari tiga miliar perjalanan tersebut, 2,43 miliar diperkirakan ditempuh dengan mobil, 440 juta dengan kereta api, 79 juta dengan pesawat terbang, dan 45 juta dengan kapal laut.
Pada akhir 2002 hingga tahun 2003 kala wabah SARS merebak di China, laju pertumbuhan ekonominya jelas tertekan. Pada kuartal III-2002, perekonomian China tercatat tumbuh sebesar 9,6% secara tahunan, mengutip data dari Refinitiv. Pada kuartal IV-2002 kala wabah SARS mulai merebak, pertumbuhannya melemah menjadi 9,1% saja.
Pada kuartal I-2003, pertumbuhan ekonomi China berhasil naik hingga 11,1% secara tahunan, namun diikuti oleh penurunan yang tajam pada kuartal berikutnya. Pada kuartal II-2003, perekonomian China hanya mampu tumbuh 9,1% secara tahunan. Pada dua kuartal terakhir di tahun 2003, perekonomian China tumbuh masing-masing sebesar 10% secara tahunan.
Melansir CNBC International, pasca tumbuh 12% pada tahun 2002, industri pariwisata China langsung terkontraksi pada tahun 2003 merespons merebaknya wabah SARS, menandai kontraksi pertama dalam satu dekade. Pemberitaan CNBC International tersebut mengutip publikasi riset dari Eric Lin selaku kepala riset di UBS Securities.
"Valuasi dari perusahaan-perusahaan yang bergerak di sektor pariwisata terpangkas 20%-50% dari puncaknya dalam periode Januari-Juni 2003," tulis Lin dalam risetnya, seperti dilansir dari CNBC International.
Berbicara mengenai virus Corona, jika ternyata infeksinya merebak menjadi wabah seperti SARS, dampaknya ke perekonomian China bisa lebih besar. Pasalnya, kini perekonomian China sudah semakin tergantung kepada sektor jasa.
Melansir CNBC International, sektor jasa menyumbang sebesar 59,4% dari total produk domestik bruto (PDB) China pada tahun 2019, sementara pada tahun 2003 kala wabah SARS merambah China kontribusi dari sektor jasa hanyalah sebesar 39%.
Sejauh ini, China merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar kedua di planet bumi, sementara pada tahun 2003 China bahkan tak menempati posisi lima besar. Lantas, dampak dari tekanan terhadap perekonomian China kini akan semakin terasa bagi perekonomian global.
Sebagai informasi, perekonomian Negeri Panda tumbuh sebesar 6,1% pada tahun 2019, jauh melambat dibandingkan pertumbuhan pada tahun 2018 yang sebesar 6,6%. Melansir CNBC International yang mengutip Reuters, pertumbuhan ekonomi China pada tahun 2019 merupakan yang terlemah sejak tahun 1990.
Next Page
Hasil Pertemuan BI Masih Bebani IHSG
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular