
Rupiah Akhirnya Tumbang, Gara-gara Dikritisi DPR?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 January 2020 18:11

Penguatan tajam rupiah kini mulai dikritisi oleh Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat rapat dengan Komisi XI hari ini dicecar berbagai pertanyaan.
Anggota Komisi XI Sihar Sitorus mengatakan, meskipun posisi rupiah yang berada pada kisaran Rp 13.600 per US$ saat ini 'friendly' untuk para importir, namun ada begitu banyak exchange rate lost karena selling yang kemungkinan tidak terkontrol.
"Ditambah data-data ekonomi makro belum bergerak signifikan juga. Apa yang sebenarnya membuat penguatan demikian cepat?" ujarnya saat melakukan rapat kerja dengan Gubernur BI Perry Warjiyo, Senin (27/1/2020).
Pertanyaan rupiah juga ditanyakan oleh anggota Komisi XI lainnya, Andreas Eddy Susetyo. Andreas memandang menguatnya nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini, tidak ada korelasinya dengan perekonomian yang terjadi belakangan.
"Nilai tukar rupiah menguat, tidak melihat korelasi hubungan sebab-akibat. Di kuartal-III 2019 so so saja. Baik dari direct investment portfolio. Saya tidak melihat korelasi dan sebab akibatnya. Bagaimana kita menghubungkan data-data ini. Apa yang menyebabkan kurs rupiah kita meningkat. Bagaimana operasi moneter yang efektif dari BI?" ujarnya.
Anggota Komisi XI lainnya, Sarmuji mengatakan kurs rupiah yang ada saat ini sudah jauh dari range yang paling rendah yang ditetapkan oleh pemerintah, yang saat itu memperkirakan rupiah bisa pada kisaran Rp 14.200 per dollar AS.
BI mengungkapkan pergerakan nilai rupiah yang menguat ini mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Terutama, inflasi yang rendah dan aliran modal asing yang cukup deras.
"Dari faktor fundamental dan kebijakan, sebagai faktor utama yang membuat nilai tukar menguat. Fundamental inflasi rendah dan membuat positif nilai tukar," kata Perry.
Menurut Perry, pada 2018 lalu memang ada aliran modal asing yang keluar sehingga rupiah saat itu hampir menyentuh Rp 15.000/US$. Kini, sambung Perry karena aliran modal masuk cukup deras, maka nilai tukar rupiah kembali ke Rp 13.800/US$.
"Karena defisit transaksi berjalan turun dan aliran asing modal memadai, itu kenapa rupiah menguat. Meskipun geopolitik berlanjut dan perang dagang terus bergulir."
Selain itu, Perry mengatakan BI siap melakukan intervensi jika rupiah nantinya menguat terlalu tajam, meski level saat ini dikatakan masih bagus.
"Sejauh ini, apresiasi rupiah masih memberikan dampak positif bagi perekonomian. Jika nanti penguatan rupiah terlalu jauh dan itu memberikan dampak negatif ke perekomian, kami tidak akan untuk melakukan intervensi menggunakan mekanisme pasar agar rupiah sesuai dengan fundamentalnya" kata Perry sebagaimana dilansir Reuters.
Sebelumnya dalam beberapa kesempatan Perry belum pernah menyatakan akan melakukan intervensi terhadap rupiah. Ia selalu mengatakan penguatan rupiah sesuai dengan fundamentalnya, sehingga memberi kesan BI "merestui" penguatan rupiah.
Baru saat rapat dengan Komisi XI Perry mengungkapkan akan melakukan intervensi. Pernyataan Perry tersebut setidaknya memberikan pengaruh psikologis ke pelaku pasar jika rupiah mungkin tidak akan menguat terlalu jauh lagi. Aksi profit taking rupiah pun berlanjut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap)
Anggota Komisi XI Sihar Sitorus mengatakan, meskipun posisi rupiah yang berada pada kisaran Rp 13.600 per US$ saat ini 'friendly' untuk para importir, namun ada begitu banyak exchange rate lost karena selling yang kemungkinan tidak terkontrol.
"Ditambah data-data ekonomi makro belum bergerak signifikan juga. Apa yang sebenarnya membuat penguatan demikian cepat?" ujarnya saat melakukan rapat kerja dengan Gubernur BI Perry Warjiyo, Senin (27/1/2020).
"Nilai tukar rupiah menguat, tidak melihat korelasi hubungan sebab-akibat. Di kuartal-III 2019 so so saja. Baik dari direct investment portfolio. Saya tidak melihat korelasi dan sebab akibatnya. Bagaimana kita menghubungkan data-data ini. Apa yang menyebabkan kurs rupiah kita meningkat. Bagaimana operasi moneter yang efektif dari BI?" ujarnya.
Anggota Komisi XI lainnya, Sarmuji mengatakan kurs rupiah yang ada saat ini sudah jauh dari range yang paling rendah yang ditetapkan oleh pemerintah, yang saat itu memperkirakan rupiah bisa pada kisaran Rp 14.200 per dollar AS.
BI mengungkapkan pergerakan nilai rupiah yang menguat ini mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Terutama, inflasi yang rendah dan aliran modal asing yang cukup deras.
"Dari faktor fundamental dan kebijakan, sebagai faktor utama yang membuat nilai tukar menguat. Fundamental inflasi rendah dan membuat positif nilai tukar," kata Perry.
Menurut Perry, pada 2018 lalu memang ada aliran modal asing yang keluar sehingga rupiah saat itu hampir menyentuh Rp 15.000/US$. Kini, sambung Perry karena aliran modal masuk cukup deras, maka nilai tukar rupiah kembali ke Rp 13.800/US$.
"Karena defisit transaksi berjalan turun dan aliran asing modal memadai, itu kenapa rupiah menguat. Meskipun geopolitik berlanjut dan perang dagang terus bergulir."
Selain itu, Perry mengatakan BI siap melakukan intervensi jika rupiah nantinya menguat terlalu tajam, meski level saat ini dikatakan masih bagus.
"Sejauh ini, apresiasi rupiah masih memberikan dampak positif bagi perekonomian. Jika nanti penguatan rupiah terlalu jauh dan itu memberikan dampak negatif ke perekomian, kami tidak akan untuk melakukan intervensi menggunakan mekanisme pasar agar rupiah sesuai dengan fundamentalnya" kata Perry sebagaimana dilansir Reuters.
Sebelumnya dalam beberapa kesempatan Perry belum pernah menyatakan akan melakukan intervensi terhadap rupiah. Ia selalu mengatakan penguatan rupiah sesuai dengan fundamentalnya, sehingga memberi kesan BI "merestui" penguatan rupiah.
Baru saat rapat dengan Komisi XI Perry mengungkapkan akan melakukan intervensi. Pernyataan Perry tersebut setidaknya memberikan pengaruh psikologis ke pelaku pasar jika rupiah mungkin tidak akan menguat terlalu jauh lagi. Aksi profit taking rupiah pun berlanjut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular