
Rupiah Akhirnya Tumbang, Gara-gara Dikritisi DPR?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 January 2020 18:11

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) hingga pertengahan perdagangan Senin (27/1/2020). Penyebaran virus corona masih menjadi isu utama yang mempengaruhi pergerakan pasar finansial hari ini.
Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan melemah 0,04% ke level Rp 13.570/US$. Pelemahan Mata Uang Garuda terus membesar hingga 0,41% ke level Rp 13.620/US$. Level tersebut menjadi yang terlemah bagi rupiah, menjelang akhir perdagangan pelemahan perlahan dipangkas dan hingga mengakhiri perdagangan di level Rp 13.600/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Kecuali yen Jepang, semua mata uang utama Asia melemah hari ini melawan dolar AS. Berikut perkembangan pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning hingga pukul 16:05 WIB.
Pasar China dan Malaysia hari ini masih libur, sehingga pergerakan yuan dan ringgit masih mencerminkan penutupan perdagangan Jumat (24/1/2020) pekan lalu.
Won Korea Selatan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk pada hari ini dengan pelemahan 0,68%, disusul baht Thailand sebesar 0,43% dan dolar Singapura sebesar 0,3%.
Rupiah meski melemah di awal pekan ini, tetapi belum kehilangan statusnya sebagai juara dunia alias mata uang dengan kinerja terbaik di dunia sepanjang 2020.
Pelemahan hari ini membuat rupiah masih menguat 2,03% sejak awal tahun, jauh unggul dari pound Mesir diperingkat kedua dengan penguatan 1,56% berdasarkan data Refinitiv.
Penyebaran virus corona menjadi isu utama yang mempengaruhi pergerakan pasar pada hari ini. Pada pekan lalu, rupiah terbukti masih kebal terhadap isu virus corona. Pada hari Kamis (23/1/2020), saat mata utama Asia berguguran, rupiah justru mampu menguat bersama dengan yen yang merupakan aset safe haven. Penguatan rupiah tersebut malah semakin menjadi-jadi pada perdagangan Jumat dengan menguat 0,44%.
Mengutip CNBC International, jumlah korban yang meninggal kini mencapai 80 orang, 461 orang kritis, dan telah menjangkiti lebih dari 2.700 orang. Angka tersebut meningkat signifikan dibandingkan Jumat lalu, dimana dilaporkan 26 orang meninggal dan menjangkiti lebih dari 800 orang.
Selain China yang merupakan asal virus corona, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Vietnam Singapura, Nepal Prancis, Australia, Amerika Serikat (AS), dan Kanada merupakan negara-negara yang sudah mengindentifikasi kasus yang sama. Semua pasien tersebut pernah berpergian atau datang dari China.
Wuhan merupakan asal virus corona, kota dengan jumlah penduduk sekitar 11 juta orang tersebut kini sudah diisolasi oleh Pemerintah China.
Jumlah korban meninggal yang bertambah banyak dalam waktu singkat, serta penyebarannya ke berbagai negara tentunya membuat pelaku pasar dibuat semakin cemas, bahkan dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi perekonomian China.
Ketika perekonomian China memburuk, maka kondisi ekonomi global akan turut menurun karena China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS.
Melihat pergerakan rupiah di pembukaan perdagangan yang hanya melemah tipis 0,04%, Mata Uang Garuda sebenarnya masih cukup perkasa menghadapi isu virus corona.
Di tengah kecemasan pasar akan penyebaran virus corona, dan melihat penguatan tajam rupiah belakangan ini tentunya membuat pelaku pasar mencairkan cuan dengan aksi ambil untung (profit taking) sehingga wajar jika rupiah melemah. Penguatan tajam rupiah kini mulai dikritisi oleh Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat rapat dengan Komisi XI hari ini dicecar berbagai pertanyaan.
Anggota Komisi XI Sihar Sitorus mengatakan, meskipun posisi rupiah yang berada pada kisaran Rp 13.600 per US$ saat ini 'friendly' untuk para importir, namun ada begitu banyak exchange rate lost karena selling yang kemungkinan tidak terkontrol.
"Ditambah data-data ekonomi makro belum bergerak signifikan juga. Apa yang sebenarnya membuat penguatan demikian cepat?" ujarnya saat melakukan rapat kerja dengan Gubernur BI Perry Warjiyo, Senin (27/1/2020).
Pertanyaan rupiah juga ditanyakan oleh anggota Komisi XI lainnya, Andreas Eddy Susetyo. Andreas memandang menguatnya nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini, tidak ada korelasinya dengan perekonomian yang terjadi belakangan.
"Nilai tukar rupiah menguat, tidak melihat korelasi hubungan sebab-akibat. Di kuartal-III 2019 so so saja. Baik dari direct investment portfolio. Saya tidak melihat korelasi dan sebab akibatnya. Bagaimana kita menghubungkan data-data ini. Apa yang menyebabkan kurs rupiah kita meningkat. Bagaimana operasi moneter yang efektif dari BI?" ujarnya.
Anggota Komisi XI lainnya, Sarmuji mengatakan kurs rupiah yang ada saat ini sudah jauh dari range yang paling rendah yang ditetapkan oleh pemerintah, yang saat itu memperkirakan rupiah bisa pada kisaran Rp 14.200 per dollar AS.
BI mengungkapkan pergerakan nilai rupiah yang menguat ini mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Terutama, inflasi yang rendah dan aliran modal asing yang cukup deras.
"Dari faktor fundamental dan kebijakan, sebagai faktor utama yang membuat nilai tukar menguat. Fundamental inflasi rendah dan membuat positif nilai tukar," kata Perry.
Menurut Perry, pada 2018 lalu memang ada aliran modal asing yang keluar sehingga rupiah saat itu hampir menyentuh Rp 15.000/US$. Kini, sambung Perry karena aliran modal masuk cukup deras, maka nilai tukar rupiah kembali ke Rp 13.800/US$.
"Karena defisit transaksi berjalan turun dan aliran asing modal memadai, itu kenapa rupiah menguat. Meskipun geopolitik berlanjut dan perang dagang terus bergulir."
Selain itu, Perry mengatakan BI siap melakukan intervensi jika rupiah nantinya menguat terlalu tajam, meski level saat ini dikatakan masih bagus.
"Sejauh ini, apresiasi rupiah masih memberikan dampak positif bagi perekonomian. Jika nanti penguatan rupiah terlalu jauh dan itu memberikan dampak negatif ke perekomian, kami tidak akan untuk melakukan intervensi menggunakan mekanisme pasar agar rupiah sesuai dengan fundamentalnya" kata Perry sebagaimana dilansir Reuters.
Sebelumnya dalam beberapa kesempatan Perry belum pernah menyatakan akan melakukan intervensi terhadap rupiah. Ia selalu mengatakan penguatan rupiah sesuai dengan fundamentalnya, sehingga memberi kesan BI "merestui" penguatan rupiah.
Baru saat rapat dengan Komisi XI Perry mengungkapkan akan melakukan intervensi. Pernyataan Perry tersebut setidaknya memberikan pengaruh psikologis ke pelaku pasar jika rupiah mungkin tidak akan menguat terlalu jauh lagi. Aksi profit taking rupiah pun berlanjut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan melemah 0,04% ke level Rp 13.570/US$. Pelemahan Mata Uang Garuda terus membesar hingga 0,41% ke level Rp 13.620/US$. Level tersebut menjadi yang terlemah bagi rupiah, menjelang akhir perdagangan pelemahan perlahan dipangkas dan hingga mengakhiri perdagangan di level Rp 13.600/US$ di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Kecuali yen Jepang, semua mata uang utama Asia melemah hari ini melawan dolar AS. Berikut perkembangan pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning hingga pukul 16:05 WIB.
Pasar China dan Malaysia hari ini masih libur, sehingga pergerakan yuan dan ringgit masih mencerminkan penutupan perdagangan Jumat (24/1/2020) pekan lalu.
Won Korea Selatan menjadi mata uang dengan kinerja terburuk pada hari ini dengan pelemahan 0,68%, disusul baht Thailand sebesar 0,43% dan dolar Singapura sebesar 0,3%.
Rupiah meski melemah di awal pekan ini, tetapi belum kehilangan statusnya sebagai juara dunia alias mata uang dengan kinerja terbaik di dunia sepanjang 2020.
Pelemahan hari ini membuat rupiah masih menguat 2,03% sejak awal tahun, jauh unggul dari pound Mesir diperingkat kedua dengan penguatan 1,56% berdasarkan data Refinitiv.
Penyebaran virus corona menjadi isu utama yang mempengaruhi pergerakan pasar pada hari ini. Pada pekan lalu, rupiah terbukti masih kebal terhadap isu virus corona. Pada hari Kamis (23/1/2020), saat mata utama Asia berguguran, rupiah justru mampu menguat bersama dengan yen yang merupakan aset safe haven. Penguatan rupiah tersebut malah semakin menjadi-jadi pada perdagangan Jumat dengan menguat 0,44%.
Mengutip CNBC International, jumlah korban yang meninggal kini mencapai 80 orang, 461 orang kritis, dan telah menjangkiti lebih dari 2.700 orang. Angka tersebut meningkat signifikan dibandingkan Jumat lalu, dimana dilaporkan 26 orang meninggal dan menjangkiti lebih dari 800 orang.
Selain China yang merupakan asal virus corona, Jepang, Korea Selatan, Taiwan, Thailand, Vietnam Singapura, Nepal Prancis, Australia, Amerika Serikat (AS), dan Kanada merupakan negara-negara yang sudah mengindentifikasi kasus yang sama. Semua pasien tersebut pernah berpergian atau datang dari China.
Wuhan merupakan asal virus corona, kota dengan jumlah penduduk sekitar 11 juta orang tersebut kini sudah diisolasi oleh Pemerintah China.
Jumlah korban meninggal yang bertambah banyak dalam waktu singkat, serta penyebarannya ke berbagai negara tentunya membuat pelaku pasar dibuat semakin cemas, bahkan dikhawatirkan akan berdampak buruk bagi perekonomian China.
Ketika perekonomian China memburuk, maka kondisi ekonomi global akan turut menurun karena China merupakan negara dengan nilai ekonomi terbesar kedua di dunia setelah AS.
Melihat pergerakan rupiah di pembukaan perdagangan yang hanya melemah tipis 0,04%, Mata Uang Garuda sebenarnya masih cukup perkasa menghadapi isu virus corona.
Di tengah kecemasan pasar akan penyebaran virus corona, dan melihat penguatan tajam rupiah belakangan ini tentunya membuat pelaku pasar mencairkan cuan dengan aksi ambil untung (profit taking) sehingga wajar jika rupiah melemah. Penguatan tajam rupiah kini mulai dikritisi oleh Komisi XI Dewan Perwakilan Rakyat (DPR). Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo saat rapat dengan Komisi XI hari ini dicecar berbagai pertanyaan.
Anggota Komisi XI Sihar Sitorus mengatakan, meskipun posisi rupiah yang berada pada kisaran Rp 13.600 per US$ saat ini 'friendly' untuk para importir, namun ada begitu banyak exchange rate lost karena selling yang kemungkinan tidak terkontrol.
"Ditambah data-data ekonomi makro belum bergerak signifikan juga. Apa yang sebenarnya membuat penguatan demikian cepat?" ujarnya saat melakukan rapat kerja dengan Gubernur BI Perry Warjiyo, Senin (27/1/2020).
Pertanyaan rupiah juga ditanyakan oleh anggota Komisi XI lainnya, Andreas Eddy Susetyo. Andreas memandang menguatnya nilai tukar rupiah yang terjadi saat ini, tidak ada korelasinya dengan perekonomian yang terjadi belakangan.
"Nilai tukar rupiah menguat, tidak melihat korelasi hubungan sebab-akibat. Di kuartal-III 2019 so so saja. Baik dari direct investment portfolio. Saya tidak melihat korelasi dan sebab akibatnya. Bagaimana kita menghubungkan data-data ini. Apa yang menyebabkan kurs rupiah kita meningkat. Bagaimana operasi moneter yang efektif dari BI?" ujarnya.
Anggota Komisi XI lainnya, Sarmuji mengatakan kurs rupiah yang ada saat ini sudah jauh dari range yang paling rendah yang ditetapkan oleh pemerintah, yang saat itu memperkirakan rupiah bisa pada kisaran Rp 14.200 per dollar AS.
BI mengungkapkan pergerakan nilai rupiah yang menguat ini mencerminkan fundamental ekonomi Indonesia. Terutama, inflasi yang rendah dan aliran modal asing yang cukup deras.
"Dari faktor fundamental dan kebijakan, sebagai faktor utama yang membuat nilai tukar menguat. Fundamental inflasi rendah dan membuat positif nilai tukar," kata Perry.
Menurut Perry, pada 2018 lalu memang ada aliran modal asing yang keluar sehingga rupiah saat itu hampir menyentuh Rp 15.000/US$. Kini, sambung Perry karena aliran modal masuk cukup deras, maka nilai tukar rupiah kembali ke Rp 13.800/US$.
"Karena defisit transaksi berjalan turun dan aliran asing modal memadai, itu kenapa rupiah menguat. Meskipun geopolitik berlanjut dan perang dagang terus bergulir."
Selain itu, Perry mengatakan BI siap melakukan intervensi jika rupiah nantinya menguat terlalu tajam, meski level saat ini dikatakan masih bagus.
"Sejauh ini, apresiasi rupiah masih memberikan dampak positif bagi perekonomian. Jika nanti penguatan rupiah terlalu jauh dan itu memberikan dampak negatif ke perekomian, kami tidak akan untuk melakukan intervensi menggunakan mekanisme pasar agar rupiah sesuai dengan fundamentalnya" kata Perry sebagaimana dilansir Reuters.
Sebelumnya dalam beberapa kesempatan Perry belum pernah menyatakan akan melakukan intervensi terhadap rupiah. Ia selalu mengatakan penguatan rupiah sesuai dengan fundamentalnya, sehingga memberi kesan BI "merestui" penguatan rupiah.
Baru saat rapat dengan Komisi XI Perry mengungkapkan akan melakukan intervensi. Pernyataan Perry tersebut setidaknya memberikan pengaruh psikologis ke pelaku pasar jika rupiah mungkin tidak akan menguat terlalu jauh lagi. Aksi profit taking rupiah pun berlanjut.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Lautan Demo, Rupiah pun Merana
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular