
Cari Utang Baru, Bos Baru Garuda Siap Tekan Utang
Monica Wareza, CNBC Indonesia
24 January 2020 17:43

Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten maskapai pelat merah, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk (GIAA), berkomitmen menyelesaikan utang dengan menyiapkan sejumlah langkah alternatif. Total kewajiban Garuda per September 2019 sudah tembus US$ 3,51 miliar atau setara dengan Rp 47 triliun (asumsi kurs Rp 13.600/US$).
Direktur Utama Garuda Indonesia yang baru Irfan Setiaputra mengatakan pihaknya sudah menyiapkan langkah-langkah soal utang tersebut, salah satunya utang baru.
"Saya latar belakang IT tapi pernah 6 tahun di Bank Niaga. Tapi utang jadi concern kita, sempat bicara dengan tim. Ada beberapa alternatif yang akan diambil. Kita akan lakukan upaya untuk utang baru," kata Irfan dalam paparan rencana bisnis di Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (24/1/2020).
Pihaknya tetap berupaya untuk mengurangi utang untuk menguatkan laba perusahaan. "Kita akan negosiasi terhadap lessor [pemberi pembiayaan pesawat Garuda] dan manufacturing [pabrikan pesawat] karena struktur biaya besar di avtur dan biaya leasing [pesawat]," jelasnya.
Dia menegaskan, beban utang tersebut dipastikan tidak akan membuat perusahaan 'mengorbankan' keselamatan dalam penerbangan.
"Saya beri jaminan itu gak impact ke safety. Di segi finansial kita lihat kondisi finansial di pasar, mereka [lessor] di atas angin. Dengan tim yang ada kita sepakat bangun tim kuat kalau perlu hire konsultan dan negosiator di luar untuk pastikan kita dapat pricing structure lebih bagus untuk tekan biaya. Kalau leasing bisa ditekan akan turunkan biaya. Jadi bisa berutang lagi untuk datangkan armada baru," jelasnya.
"Kalau tanya Garuda berutang, ya tipikal airlines berutang karena kalau beli pesawat cash kan bisa dipakai buat yang lain."
Mengacu data laporan keuangan, total kewajiban (termasuk utang) Garuda per September 2019 naik menjadi US$ 3,51 miliar, dari sebelumnya Desember 2018 sebesar US$ 3,44 miliar.
Kewajiban ini terdiri dari kewajiban jangka pendek turun menjadi US$ 2,87 miliar, dari Desember 2018 yakni US$ 2,98 miliar, sementara kewajiban jangka panjang naik menjadi US$ US4 633,14 juta dari Desember 2018 yakni US$ 461,09 juta. Adapun khusus pinjaman jangka pendek berkurang menjadi US$ 837,73 juta, dari Desember 2018 yaki US$ 1,05 miliar.
Sebelumnya, manajemen Garuda yang lama, sebelum Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) 22 Januari 2020, membatalkan rencana menerbitkan instrumen surat utang senilai US$ 900 juta atau setara Rp 12,24 triliun.
Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, yang disampaikan manajemen Garuda, pembatalan tersebut mempertimbangkan belum tersedianya laporan keuangan penelahaan terbatas atau limited review sampai dengan tanggal pelaksanaan RUPS.
"Perseroan saat ini masih melakukan pengkajian alternatif pendanaan lain untuk memastikan tetap terealisasinya tujuan refinancing utang jatuh tempo," tulis pengumuman yang ditandatangani Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko, Fuad Rizal, dikutip Senin (6/02/2020). Fuad kini dipercaya lagi menjadi Direktur Keuangan Garuda pada RUPLB 22 Januari lalu.
(tas/tas) Next Article Garuda Indonesia (GIAA) Mau Tambah 8 Pesawat, Keluarkan Kocek Segini
Direktur Utama Garuda Indonesia yang baru Irfan Setiaputra mengatakan pihaknya sudah menyiapkan langkah-langkah soal utang tersebut, salah satunya utang baru.
"Saya latar belakang IT tapi pernah 6 tahun di Bank Niaga. Tapi utang jadi concern kita, sempat bicara dengan tim. Ada beberapa alternatif yang akan diambil. Kita akan lakukan upaya untuk utang baru," kata Irfan dalam paparan rencana bisnis di Kementerian BUMN, Jakarta, Jumat (24/1/2020).
Pihaknya tetap berupaya untuk mengurangi utang untuk menguatkan laba perusahaan. "Kita akan negosiasi terhadap lessor [pemberi pembiayaan pesawat Garuda] dan manufacturing [pabrikan pesawat] karena struktur biaya besar di avtur dan biaya leasing [pesawat]," jelasnya.
Dia menegaskan, beban utang tersebut dipastikan tidak akan membuat perusahaan 'mengorbankan' keselamatan dalam penerbangan.
"Saya beri jaminan itu gak impact ke safety. Di segi finansial kita lihat kondisi finansial di pasar, mereka [lessor] di atas angin. Dengan tim yang ada kita sepakat bangun tim kuat kalau perlu hire konsultan dan negosiator di luar untuk pastikan kita dapat pricing structure lebih bagus untuk tekan biaya. Kalau leasing bisa ditekan akan turunkan biaya. Jadi bisa berutang lagi untuk datangkan armada baru," jelasnya.
"Kalau tanya Garuda berutang, ya tipikal airlines berutang karena kalau beli pesawat cash kan bisa dipakai buat yang lain."
Mengacu data laporan keuangan, total kewajiban (termasuk utang) Garuda per September 2019 naik menjadi US$ 3,51 miliar, dari sebelumnya Desember 2018 sebesar US$ 3,44 miliar.
Kewajiban ini terdiri dari kewajiban jangka pendek turun menjadi US$ 2,87 miliar, dari Desember 2018 yakni US$ 2,98 miliar, sementara kewajiban jangka panjang naik menjadi US$ US4 633,14 juta dari Desember 2018 yakni US$ 461,09 juta. Adapun khusus pinjaman jangka pendek berkurang menjadi US$ 837,73 juta, dari Desember 2018 yaki US$ 1,05 miliar.
Sebelumnya, manajemen Garuda yang lama, sebelum Rapat Umum Pemegang Saham Luar Biasa (RUPSLB) 22 Januari 2020, membatalkan rencana menerbitkan instrumen surat utang senilai US$ 900 juta atau setara Rp 12,24 triliun.
Dalam keterbukaan informasi di Bursa Efek Indonesia, yang disampaikan manajemen Garuda, pembatalan tersebut mempertimbangkan belum tersedianya laporan keuangan penelahaan terbatas atau limited review sampai dengan tanggal pelaksanaan RUPS.
"Perseroan saat ini masih melakukan pengkajian alternatif pendanaan lain untuk memastikan tetap terealisasinya tujuan refinancing utang jatuh tempo," tulis pengumuman yang ditandatangani Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko, Fuad Rizal, dikutip Senin (6/02/2020). Fuad kini dipercaya lagi menjadi Direktur Keuangan Garuda pada RUPLB 22 Januari lalu.
(tas/tas) Next Article Garuda Indonesia (GIAA) Mau Tambah 8 Pesawat, Keluarkan Kocek Segini
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular