
'Direstui' BI, Rupiah Mau Menguat Sampai Kapan?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 January 2020 14:10

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Jumat (24/1/2020) bahkan menembus ke bawah Rp 13.600/US$. Mata Uang Garuda memperkokoh posisinya di level terkuat sejak Februari 2018.
Rupiah pagi ini sempat menguat 0,44% ke level Rp 13.565/US$ di pasar spot, berdasarkan data Refinitiv. Jika dilihat sejak awal tahun hingga hari ini, total penguatan rupiah sebesar 2,29%. Tidak hanya itu, rupiah juga akan membukukan penguatan delapan pekan beruntun hari ini.
Berkat performa tersebut, rupiah kini menjadi mata uang terbaik di dunia.
Penguatan tajam rupiah belakangan ini juga "direstui" oleh Bank Indonesia, Sang Garuda pun semakin menjadi-jadi.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers mengatakan penguatan rupiah adalah hal yang wajar karena fundamental Indonesia terus membaik. Defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada 2019 diperkirakan berada di kisaran 2,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan tetap stabil di level 2,5-3% pada 2020.
"Penguatan rupiah didorong pasokan valas dari para eksportir dan aliran modal asing sejalan prospek ekonomi Indonesia yang terjaga dan ketidakpastian global yang menurun," kata Perry, Kamis (23/1/2020).
"BI memandang penguatan rupiah sejalan dengan kondisi fundamental yang membaik, membaiknya mekanisme pasar, dan keyakinan pasar terhadap kebijakan BI dan pemerintah. Penguatan rupiah memberikan dampak positif terhadap momentum pertumbuhan ekonomi dan terjaganya stabilitas makroekonomi," papar Perry.
Rupiah memang sedang menjadi "kesayangan" para pelaku pasar, hal tersebut diungkapkan oleh analis Bank of America Merril Lynch, Rohit Garg, dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020) kemarin.
"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu," kata Garg. Dia menambahkan rupiah menjadi mata uang yang paling diuntungkan dari pemulihan ekonomi global serta kenaikan harga komoditas.
Bukti rupiah menjadi "kesayangan" pasar ditunjukkan Kamis kemarin, di saat mata uang utama Asia melemah akibat isu virus Corona, rupiah justru masih mampu menguat.
Kondisi dalam negeri yang membaik, serta perekonomian global yang diharapkan bangkit di tahun ini membuat aliran modal deras masuk ke Indonesia, yang menjadi penopang penguatan rupiah.
Hingga Kamis kemarin, di pasar saham, investor membukukan beli bersih Rp 2,26 triliun di all market secara year-to-date (ytd). Sementara di pasar obligasi pemerintah, investor asing memegang Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 1.084,31 triliun. Bertambah Rp 22,45 triliun (2,11%) dibandingkan posisi akhir tahun lalu. Seperti disebutkan pada halaman sebelumnya, penguatan rupiah terjadi berkat kondisi dalam negeri yang membaik, serta harapan akan bangkitnya perekonomian global. Tetapi hal tersebut masih belum teruji. Data-data dari dalam negeri belakangan memang cukup bagus, tetapi secara global masih belum menunjukkan perubahan berarti.
Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) pada pekan lalu justru kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Penurunan proyeksi tersebut terjadi setelah adanya kesepakatan dagang fase I antara AS dengan China. Itu artinya IMF melihat kesepakatan tersebut belum cukup untuk memacu perekonomian global di tahun ini. IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini ke 3,3%, turun dibandingkan proyeksi yang diberikan Oktober lalu sebesar 3,4%.
Lembaga ini menyebut revisi ke bawah sebagian besar disebabkan oleh lebih rendahnya pertumbuhan di negara-negara berkembang, sementara negara-negara maju pertumbuhan ekonominya diprediksi stabil atau tidak jauh dari level saat ini.
"Pemulihan yang diproyeksikan (akan terjadi) dalam pertumbuhan global masih belum pasti. Itu terus bergantung pada pemulihan di negara-negara emerging markets yang tertekan dan berkinerja buruk, karena pertumbuhan di negara maju stabil di dekat level saat ini," kata kepala ekonom IMF Gita Gopinath dalam pernyataan tertulis, Selasa (21/1/2020).
Terdekat, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (30/1/2020) dini hari, yang bisa menentukan kemana langkah rupiah selanjutnya. Salah satu penyebab rupiah mampu menguat delapan pekan beruntun adalah The Fed yang menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga di tahun ini.
Jika Ketua The Fed, Jerome Powell, kembali menegaskan sikap tersebut atau bahkan memberikan sinyal suku bunga akan kembali diturunkan, tidak menutup kemungkinan rupiah akan terus melanjutkan penguatan.
Selain itu, data-data ekonomi dari ekstenal akan mempengaruhi sentimen pelaku pasar yang tentunya akan mempengaruhi pergerakan rupiah.
AS akan melaporkan data pembacaan pertama pertumbuhan ekomomi kuartal IV-2019 pada Kamis pekan depan. Hasil survei polling Reuters menunjukkan, ekonomi Paman Sam diprediksi tumbuh 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan, sama dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya.
Kemudian China merilis data purchasing managers' index (PMI) manufaktur di hari Jumat. Sektor manufaktur China sudah menunjukkan ekspanasi dua bulan beruntun, dan jika berlanjut di bulan ini, tentunya akan memberikan dampak positif ke pasar. Itu artinya pertumbuhan ekomomi China yang menyentuh level terlemah sejak 1990 mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan.
Namun, jika data tersebut kembali menunjukkan kontraksi, sentimen pelaku pasar akan kembali memburuk, yang bisa berdampak pada terhentinya penguatan rupiah di perdagangan terakhir bulan Januari.
Jika melihat sejarah dalam lima tahun terakhir, rupiah memang menunjukkan kinerja positif di bulan Januari, tetapi memasuki Februari rupiah dalam dua tahun terakhir tercatat melemah.
Pada Januari 2018 dan 2019, rupiah menguat cukup tajam masing-masing 1,31% dan 2,82%, kemudian pada bulan selanjutnya melemah masing-masing 2,64% dan 0,64%.
Sementara pada Januari 2016 dan 2017, rupiah menguat di bawah 1%, tetapi penguatan tersebut berlanjut di bulan Februari.
Penguatan tajam pada 2018 dan 2019 tentunya rentang memicu koreksi rupiah, dan bisa terulang kembali di tahun ini. Sepanjang Januari 2020, rupiah sudah menguat lebih dari 2%, dengan penguatan tajam tersebut ada risiko rupiah akan mulai terkoreksi di bulan Februari, kecuali data-data ekonomi dari dalam negeri nantinya kembali menunjukkan perbaikan.
Jika dilihat secara teknikal, penguatan rupiah terjadi setelah menembus ke bawah pola Descending Triangle, yang sebelumnya juga diikuti dengan munculnya pola Black Marubozu.
Pola Descending Triangle pada rupiah terbentuk sejak bulan Agustus 2019, yang artinya sudah berlangsung selama lima bulan sebelum batas bawah (support) Rp 13.885/US$ berhasil ditembus di awal bulan ini.
Sementara itu, pola Black Marubozu muncul pada Selasa (7/1/2020), rupiah saat itu membuka perdagangan di level Rp 13.930/US$, dan mengakhiri perdagangan di Rp 13.870/US$, atau menguat 0,47%.
Level pembukaan rupiah itu sekaligus menjadi titik terlemahnya, sementara level penutupan menjadi titik terkuat rupiah pada hari Selasa, secara teknikal pergerakan rupiah hari ini disebut Black Marubozu.
Munculnya Black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrumen akan mengalami penurunan lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah.
Sejak saat itu penguatan rupiah belum tebendung. Jika melihat Descending Triangle, titik atas hingga ke support Rp 13.885/US$, dan jarak sebesar Rp 640.
Ketika pola Descending Triangle berhasil ditembus, maka target yang dituju juga sebesar titik atas hingga ke support. Dengan demikian, berdasarkan pola tersebut, secara teknikal rupiah masih memiliki ruang menguat hingga ke Rp 13.245/US$ dalam jangka menengah.
Area Rp 13.885/US$ kini menjadi resisten (tahanan atas), selama tidak menembus ke atas level tersebut, rupiah cenderung akan menguat menuju target Rp 13.245/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Rupiah pagi ini sempat menguat 0,44% ke level Rp 13.565/US$ di pasar spot, berdasarkan data Refinitiv. Jika dilihat sejak awal tahun hingga hari ini, total penguatan rupiah sebesar 2,29%. Tidak hanya itu, rupiah juga akan membukukan penguatan delapan pekan beruntun hari ini.
Berkat performa tersebut, rupiah kini menjadi mata uang terbaik di dunia.
![]() |
Penguatan tajam rupiah belakangan ini juga "direstui" oleh Bank Indonesia, Sang Garuda pun semakin menjadi-jadi.
Gubernur BI, Perry Warjiyo, dalam konferensi pers mengatakan penguatan rupiah adalah hal yang wajar karena fundamental Indonesia terus membaik. Defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) pada 2019 diperkirakan berada di kisaran 2,7% dari Produk Domestik Bruto (PDB) dan tetap stabil di level 2,5-3% pada 2020.
"Penguatan rupiah didorong pasokan valas dari para eksportir dan aliran modal asing sejalan prospek ekonomi Indonesia yang terjaga dan ketidakpastian global yang menurun," kata Perry, Kamis (23/1/2020).
"BI memandang penguatan rupiah sejalan dengan kondisi fundamental yang membaik, membaiknya mekanisme pasar, dan keyakinan pasar terhadap kebijakan BI dan pemerintah. Penguatan rupiah memberikan dampak positif terhadap momentum pertumbuhan ekonomi dan terjaganya stabilitas makroekonomi," papar Perry.
Rupiah memang sedang menjadi "kesayangan" para pelaku pasar, hal tersebut diungkapkan oleh analis Bank of America Merril Lynch, Rohit Garg, dalam sebuah wawancara dengan CNBC International Selasa (21/1/2020) kemarin.
"Salah satu mata uang yang saya sukai adalah rupiah, yang pastinya menjadi 'kesayangan' pasar, dan ada banyak alasan untuk itu," kata Garg. Dia menambahkan rupiah menjadi mata uang yang paling diuntungkan dari pemulihan ekonomi global serta kenaikan harga komoditas.
Bukti rupiah menjadi "kesayangan" pasar ditunjukkan Kamis kemarin, di saat mata uang utama Asia melemah akibat isu virus Corona, rupiah justru masih mampu menguat.
Kondisi dalam negeri yang membaik, serta perekonomian global yang diharapkan bangkit di tahun ini membuat aliran modal deras masuk ke Indonesia, yang menjadi penopang penguatan rupiah.
Hingga Kamis kemarin, di pasar saham, investor membukukan beli bersih Rp 2,26 triliun di all market secara year-to-date (ytd). Sementara di pasar obligasi pemerintah, investor asing memegang Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp 1.084,31 triliun. Bertambah Rp 22,45 triliun (2,11%) dibandingkan posisi akhir tahun lalu. Seperti disebutkan pada halaman sebelumnya, penguatan rupiah terjadi berkat kondisi dalam negeri yang membaik, serta harapan akan bangkitnya perekonomian global. Tetapi hal tersebut masih belum teruji. Data-data dari dalam negeri belakangan memang cukup bagus, tetapi secara global masih belum menunjukkan perubahan berarti.
Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) pada pekan lalu justru kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Penurunan proyeksi tersebut terjadi setelah adanya kesepakatan dagang fase I antara AS dengan China. Itu artinya IMF melihat kesepakatan tersebut belum cukup untuk memacu perekonomian global di tahun ini. IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini ke 3,3%, turun dibandingkan proyeksi yang diberikan Oktober lalu sebesar 3,4%.
Lembaga ini menyebut revisi ke bawah sebagian besar disebabkan oleh lebih rendahnya pertumbuhan di negara-negara berkembang, sementara negara-negara maju pertumbuhan ekonominya diprediksi stabil atau tidak jauh dari level saat ini.
"Pemulihan yang diproyeksikan (akan terjadi) dalam pertumbuhan global masih belum pasti. Itu terus bergantung pada pemulihan di negara-negara emerging markets yang tertekan dan berkinerja buruk, karena pertumbuhan di negara maju stabil di dekat level saat ini," kata kepala ekonom IMF Gita Gopinath dalam pernyataan tertulis, Selasa (21/1/2020).
Terdekat, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (30/1/2020) dini hari, yang bisa menentukan kemana langkah rupiah selanjutnya. Salah satu penyebab rupiah mampu menguat delapan pekan beruntun adalah The Fed yang menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga di tahun ini.
Jika Ketua The Fed, Jerome Powell, kembali menegaskan sikap tersebut atau bahkan memberikan sinyal suku bunga akan kembali diturunkan, tidak menutup kemungkinan rupiah akan terus melanjutkan penguatan.
Selain itu, data-data ekonomi dari ekstenal akan mempengaruhi sentimen pelaku pasar yang tentunya akan mempengaruhi pergerakan rupiah.
AS akan melaporkan data pembacaan pertama pertumbuhan ekomomi kuartal IV-2019 pada Kamis pekan depan. Hasil survei polling Reuters menunjukkan, ekonomi Paman Sam diprediksi tumbuh 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan, sama dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya.
Kemudian China merilis data purchasing managers' index (PMI) manufaktur di hari Jumat. Sektor manufaktur China sudah menunjukkan ekspanasi dua bulan beruntun, dan jika berlanjut di bulan ini, tentunya akan memberikan dampak positif ke pasar. Itu artinya pertumbuhan ekomomi China yang menyentuh level terlemah sejak 1990 mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan.
Namun, jika data tersebut kembali menunjukkan kontraksi, sentimen pelaku pasar akan kembali memburuk, yang bisa berdampak pada terhentinya penguatan rupiah di perdagangan terakhir bulan Januari.
Jika melihat sejarah dalam lima tahun terakhir, rupiah memang menunjukkan kinerja positif di bulan Januari, tetapi memasuki Februari rupiah dalam dua tahun terakhir tercatat melemah.
Pada Januari 2018 dan 2019, rupiah menguat cukup tajam masing-masing 1,31% dan 2,82%, kemudian pada bulan selanjutnya melemah masing-masing 2,64% dan 0,64%.
Sementara pada Januari 2016 dan 2017, rupiah menguat di bawah 1%, tetapi penguatan tersebut berlanjut di bulan Februari.
Penguatan tajam pada 2018 dan 2019 tentunya rentang memicu koreksi rupiah, dan bisa terulang kembali di tahun ini. Sepanjang Januari 2020, rupiah sudah menguat lebih dari 2%, dengan penguatan tajam tersebut ada risiko rupiah akan mulai terkoreksi di bulan Februari, kecuali data-data ekonomi dari dalam negeri nantinya kembali menunjukkan perbaikan.
Jika dilihat secara teknikal, penguatan rupiah terjadi setelah menembus ke bawah pola Descending Triangle, yang sebelumnya juga diikuti dengan munculnya pola Black Marubozu.
Pola Descending Triangle pada rupiah terbentuk sejak bulan Agustus 2019, yang artinya sudah berlangsung selama lima bulan sebelum batas bawah (support) Rp 13.885/US$ berhasil ditembus di awal bulan ini.
Sementara itu, pola Black Marubozu muncul pada Selasa (7/1/2020), rupiah saat itu membuka perdagangan di level Rp 13.930/US$, dan mengakhiri perdagangan di Rp 13.870/US$, atau menguat 0,47%.
Level pembukaan rupiah itu sekaligus menjadi titik terlemahnya, sementara level penutupan menjadi titik terkuat rupiah pada hari Selasa, secara teknikal pergerakan rupiah hari ini disebut Black Marubozu.
![]() |
Munculnya Black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrumen akan mengalami penurunan lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah.
Sejak saat itu penguatan rupiah belum tebendung. Jika melihat Descending Triangle, titik atas hingga ke support Rp 13.885/US$, dan jarak sebesar Rp 640.
Ketika pola Descending Triangle berhasil ditembus, maka target yang dituju juga sebesar titik atas hingga ke support. Dengan demikian, berdasarkan pola tersebut, secara teknikal rupiah masih memiliki ruang menguat hingga ke Rp 13.245/US$ dalam jangka menengah.
Area Rp 13.885/US$ kini menjadi resisten (tahanan atas), selama tidak menembus ke atas level tersebut, rupiah cenderung akan menguat menuju target Rp 13.245/US$.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article RI Kurangi Ketergantungan Dolar AS
Most Popular