'Direstui' BI, Rupiah Mau Menguat Sampai Kapan?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
24 January 2020 14:10
Rupiah Bisa Menguat Sampai Kapan?
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Luthfi Rahman
Seperti disebutkan pada halaman sebelumnya, penguatan rupiah terjadi berkat kondisi dalam negeri yang membaik, serta harapan akan bangkitnya perekonomian global. Tetapi hal tersebut masih belum teruji. Data-data dari dalam negeri belakangan memang cukup bagus, tetapi secara global masih belum menunjukkan perubahan berarti. 

Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) pada pekan lalu justru kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini.

Penurunan proyeksi tersebut terjadi setelah adanya kesepakatan dagang fase I antara AS dengan China. Itu artinya IMF melihat kesepakatan tersebut belum cukup untuk memacu perekonomian global di tahun ini. IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini ke 3,3%, turun dibandingkan proyeksi yang diberikan Oktober lalu sebesar 3,4%.

Lembaga ini menyebut revisi ke bawah sebagian besar disebabkan oleh lebih rendahnya pertumbuhan di negara-negara berkembang, sementara negara-negara maju pertumbuhan ekonominya diprediksi stabil atau tidak jauh dari level saat ini.

"Pemulihan yang diproyeksikan (akan terjadi) dalam pertumbuhan global masih belum pasti. Itu terus bergantung pada pemulihan di negara-negara emerging markets yang tertekan dan berkinerja buruk, karena pertumbuhan di negara maju stabil di dekat level saat ini," kata kepala ekonom IMF Gita Gopinath dalam pernyataan tertulis, Selasa (21/1/2020).



Terdekat, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (30/1/2020) dini hari, yang bisa menentukan kemana langkah rupiah selanjutnya. Salah satu penyebab rupiah mampu menguat delapan pekan beruntun adalah The Fed yang menegaskan tidak akan menaikkan suku bunga di tahun ini. 



Jika Ketua The Fed, Jerome Powell, kembali menegaskan sikap tersebut atau bahkan memberikan sinyal suku bunga akan kembali diturunkan, tidak menutup kemungkinan rupiah akan terus melanjutkan penguatan. 

Selain itu, data-data ekonomi dari ekstenal akan mempengaruhi sentimen pelaku pasar yang tentunya akan mempengaruhi pergerakan rupiah. 

AS akan melaporkan data pembacaan pertama pertumbuhan ekomomi kuartal IV-2019 pada Kamis pekan depan. Hasil survei polling Reuters menunjukkan, ekonomi Paman Sam diprediksi tumbuh 2,1% secara kuartalan yang disetahunkan, sama dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya. 

Kemudian China merilis data purchasing managers' index (PMI) manufaktur di hari Jumat. Sektor manufaktur China sudah menunjukkan ekspanasi dua bulan beruntun, dan jika berlanjut di bulan ini, tentunya akan memberikan dampak positif ke pasar. Itu artinya pertumbuhan ekomomi China yang menyentuh level terlemah sejak 1990 mulai menunjukkan tanda-tanda kebangkitan. 

Namun, jika data tersebut kembali menunjukkan kontraksi, sentimen pelaku pasar akan kembali memburuk, yang bisa berdampak pada terhentinya penguatan rupiah di perdagangan terakhir bulan Januari. 



Jika melihat sejarah dalam lima tahun terakhir, rupiah memang menunjukkan kinerja positif di bulan Januari, tetapi memasuki Februari rupiah dalam dua tahun terakhir tercatat melemah. 

Pada Januari 2018 dan 2019, rupiah menguat cukup tajam masing-masing 1,31% dan 2,82%, kemudian pada bulan selanjutnya melemah masing-masing 2,64% dan 0,64%. 

Sementara pada Januari 2016 dan 2017, rupiah menguat di bawah 1%, tetapi penguatan tersebut berlanjut di bulan Februari. 

Penguatan tajam pada 2018 dan 2019 tentunya rentang memicu koreksi rupiah, dan bisa terulang kembali di tahun ini. Sepanjang Januari 2020, rupiah sudah menguat lebih dari 2%, dengan penguatan tajam tersebut ada risiko rupiah akan mulai terkoreksi di bulan Februari, kecuali data-data ekonomi dari dalam negeri nantinya kembali menunjukkan perbaikan. 

(pap/pap)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular