
Analisis
Situasi Tak Kondusif, Rupiah Terlalu Bandel Jika Menguat Lagi
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 January 2020 13:04

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada awal perdagangan Selasa (21/1/2020), tetapi masih belum jauh dari level terkuat sejak Februari 2018.
Rupiah membuka perdagangan dengan melemah tipis 0,04% ke Rp 13.630/US$. Pelemahan tersebut terus bertambah hingga 0,26% di level Rp 13.660/US$ pada pukul 12:00 WIB. Senin kemarin, Mata Uang Garuda juga melemah di awal perdagangan, bahkan nyaris sepanjang perdagangan. Namun saat penutupan, rupiah justru menguat tipis 0,04%.
Seandainya pada hari ini mengulang pergerakan Senin kemarin, rupiah bisa dikatakan "keterlaluan". Selain sudah menguat signifikan, sentimen pelaku pasar yang sedang kurang bagus pada hari ini yang seharusnya memberikan tekanan bagi Mata Uang Garuda.
Sejak perdagangan tahun 2020 dibuka hingga Senin kemarin, rupiah sudah menguat 1,85%, dan sejauh ini menjadi mata uang dengan performa terbaik di dunia. Penguatan tersebut tentunya menggoda pelaku pasar untuk mencairkan cuan, sehingga memicu aksi ambil untung (profit taking) yang membuat rupiah melemah.
Sementara itu, sentimen pelaku pasar hari ini memburuk setelah Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) yang kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Penurunan proyeksi tersebut terjadi setelah adanya kesepakatan dagang fase I antara AS dengan China. Itu artinya IMF melihat kesepakatan tersebut belum cukup untuk memacu perekonomian global di tahun ini. IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini ke 3,3%, turun dibandingkan proyeksi yang diberikan Oktober lalu sebesar 3,4%.
Lembaga ini menyebut revisi ke bawah sebagian besar disebabkan oleh lebih rendahnya pertumbuhan di negara-negara berkembang, sementara negara-negara maju pertumbuhan ekonominya diprediksi stabil atau tidak jauh dari level saat ini.
"Pemulihan yang diproyeksikan (akan terjadi) dalam pertumbuhan global masih belum pasti. Itu terus bergantung pada pemulihan di negara-negara emerging markets yang tertekan dan berkinerja buruk, karena pertumbuhan di negara maju stabil di dekat level saat ini," kata kepala ekonom IMF Gita Gopinath dalam pernyataan tertulis, Selasa (21/1/2020).
Namun demikian, IMF menyebut bahwa beberapa ketidakpastian ekonomi terbesar, yang menjadi momok pada bulan Oktober, telah menghilang. "Beberapa risiko sebagian telah surut akibat pengumuman kesepakatan perdagangan Fase I AS-China dan lebih rendahnya kemungkinan terjadinya Brexit tanpa kesepakatan (no-deal Brexit)," kata Gopinath.
Proyeksi dari IMF tersebut membuat sentimen pelaku pasar memburuk dan untuk sementara keluar dari aset-aset berisiko yang tercermin dari bergugurannya bursa saham Asia, rupiah juga turut tertekan.
Rupiah membuka perdagangan dengan melemah tipis 0,04% ke Rp 13.630/US$. Pelemahan tersebut terus bertambah hingga 0,26% di level Rp 13.660/US$ pada pukul 12:00 WIB. Senin kemarin, Mata Uang Garuda juga melemah di awal perdagangan, bahkan nyaris sepanjang perdagangan. Namun saat penutupan, rupiah justru menguat tipis 0,04%.
Seandainya pada hari ini mengulang pergerakan Senin kemarin, rupiah bisa dikatakan "keterlaluan". Selain sudah menguat signifikan, sentimen pelaku pasar yang sedang kurang bagus pada hari ini yang seharusnya memberikan tekanan bagi Mata Uang Garuda.
Sejak perdagangan tahun 2020 dibuka hingga Senin kemarin, rupiah sudah menguat 1,85%, dan sejauh ini menjadi mata uang dengan performa terbaik di dunia. Penguatan tersebut tentunya menggoda pelaku pasar untuk mencairkan cuan, sehingga memicu aksi ambil untung (profit taking) yang membuat rupiah melemah.
Sementara itu, sentimen pelaku pasar hari ini memburuk setelah Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) yang kembali memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi tahun ini.
Penurunan proyeksi tersebut terjadi setelah adanya kesepakatan dagang fase I antara AS dengan China. Itu artinya IMF melihat kesepakatan tersebut belum cukup untuk memacu perekonomian global di tahun ini. IMF memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global tahun ini ke 3,3%, turun dibandingkan proyeksi yang diberikan Oktober lalu sebesar 3,4%.
Lembaga ini menyebut revisi ke bawah sebagian besar disebabkan oleh lebih rendahnya pertumbuhan di negara-negara berkembang, sementara negara-negara maju pertumbuhan ekonominya diprediksi stabil atau tidak jauh dari level saat ini.
"Pemulihan yang diproyeksikan (akan terjadi) dalam pertumbuhan global masih belum pasti. Itu terus bergantung pada pemulihan di negara-negara emerging markets yang tertekan dan berkinerja buruk, karena pertumbuhan di negara maju stabil di dekat level saat ini," kata kepala ekonom IMF Gita Gopinath dalam pernyataan tertulis, Selasa (21/1/2020).
Namun demikian, IMF menyebut bahwa beberapa ketidakpastian ekonomi terbesar, yang menjadi momok pada bulan Oktober, telah menghilang. "Beberapa risiko sebagian telah surut akibat pengumuman kesepakatan perdagangan Fase I AS-China dan lebih rendahnya kemungkinan terjadinya Brexit tanpa kesepakatan (no-deal Brexit)," kata Gopinath.
Proyeksi dari IMF tersebut membuat sentimen pelaku pasar memburuk dan untuk sementara keluar dari aset-aset berisiko yang tercermin dari bergugurannya bursa saham Asia, rupiah juga turut tertekan.
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular