Jakarta, CNBC Indonesia - Rupiah membukukan kinerja solid sepanjang 2020, setelah konsisten menguat pada 3 pekan pertama perdagangan sebesar 2,26% terhadap dolar Amerika Serikat (AS) ke Rp 13.630/US$. Sepanjang tahun berjalan (year to date/YTD), rupiah menguat sebesar 1,8%.
Penguatan itu tetap terjadi, meski Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengingatkan semua pihak, terutama Bank Indonesia (BI), bahwa penguatan yang terjadi saat ini terlalu cepat dan bisa merugikan eksportir.
Koreksi sepanjang pekan ini hanya terjadi pada Jumat kemarin ketika Mata Uang Garuda melemah lima perak (0,04%) dari Rp 13.625 per dolar AS. Selama sepekan, rupiah terhitung menguat 0,91%, melanjutkan reli yang terbentuk dua pekan sebelumnya, masing-masing sebesar 1,19% dan 0,18%.
Penguatan tersebut terjadi karena pasar patuh pada mekanisme yang berlaku, di mana sentimen positif global akan mendorong selera risiko (risk appetite) investor, dengan membeli aset-aset di negara berkembang yang pada gilirannya mengangkat kurs setempat.
Penandatanganan kesepakatan dagang fase satu, selang sepekan setelah pemerintah menerbitkan global bond, memberikan harapan bahwa eskalasi perang dagang akan menurun dan ekonomi membaik. Ketika ekonomi membaik, investor global meninggalkan aset aman (safe heaven) demi berburu aset dengan return tinggi di negara berkembang seperti SBN.
Pada Rabu (08/02/2020), pemerintah menerbitkan obligasi global dalam mata uang dolar AS senilai US$ 2 miliar dan dalam mata uang euro senilai €1 miliar. Dengan emisi tersebut, aliran dana berdenominasi asing masuk ke sistem keuangan Indonesia, sehingga pasokan valas bertambah sehingga berujung pada penguatan rupiah.
Ditambah kesepakatan dagang AS-China, investor asing kian yakin mengejar obligasi Indonesia.
Masuknya aliran dana ke pasar modal Indonesia terlihat di pasar saham maupun obligasi. Nilai inflow ke bursa saham sepekan ini setara dengan US$ 55,8 juta, sedangkan inflow sepanjang tahun berjalan senilai US$ 342,4 juta.
Di antara bursa utama Asia, inflow sepekan ke Indonesia ini merupakan yang terbesar ketiga, setelah Taiwan (US$ 102,5 juta) dan Korea Selatan (US$ 390,2 juta). Sebaliknya, Thailand mencatatkan outflow yang terburuk di kawasan, dengan nilai US$ 225,6 juta.
Di pasar obligasi, indikasi inflow terlihat dari pelemahan imbal hasil (yield) Surat Berharga Negara (SBN) tenor 10 tahun yang dibarengi kenaikan kepemilikan asing di SBN menjadi Rp 1.084 triliun pada Jumar kemarin. Yield acuan pasar tersebut melemah 0,044 poin persen menjadi 6,825%. Pelemahan yield mengindikasikan kenaikan harga akibat aksi beli.
Yield sempat berbalik menguat pada Rabu, saat investor sempat khawatir bahwa detil kesepakatan dagang akan jauh dari ekspektasi pasar. Penandatanganan kesepakatan dagang AS-China berlangsung di Washington pada Rabu pagi waktu setempat atau Rabu malam waktu Indonesia.
Namun setelah naskah kesepakatan dagang itu diteken dan kesepakatannya diketahui oleh pasar, investor global pun kembali optimistis dengan prospek ekonomi dunia dan bergairah untuk masuk ke aset-aset berimbal hasil tinggi seperti obligasi di Indonesia. Yield pun kembali melemah karena investor masuk pada Kamis (16/02/2020).
Secara bersamaan pada Kamis, aliran valas bertambah dengan penerbitan junior global bond PT Bank Tabungan Negara (Persero) Tbk (Bank BTN) senilai US$ 300 juta atau setara Rp 4 triliun. Investor memburu obligasi ini sehingga mencatatkan kelebihan permintaan hingga US$ 3,6 miliar (Rp 50 triliun), atau oversubscribed hingga 12,3 kali.
Di tengah kondisi demikian, Bank Indonesia (BI) merilis data cadangan devisa Desember 2019 yang naik menjadi US$ 129,18 miliar, dibandingkan bulan sebelumnya US$ 126,63 miliar. Bagi investor asing, cadangan tertinggi sejak Januari 2018 itu memberikan keyakinan bahwa BI memiliki kapasitas yang lebih besar untuk menstabilkan kurs.
Meski sepanjang 2019 ekonomi China tumbuh 6,1%--pertumbuhan paling lambat dalam nyaris tiga dekade terakhir akibat perang dagang, produksi industri Negeri Panda dilaporkan tumbuh 6,9% secara year-on-year (YoY) pada Desember, lebih tinggi dari bulan sebelumnya 6,2%.
Ini memberikan dorongan tambahan bagi investor mengoleksi aset investasi berbasis rupiah karena ekspektasi perekonomian Indonesia akan tetap terjaga, mengingat China merupakan mitra dagang terbesar untuk Indonesia.
TIM RISET CNBC INDONESIA