
Analisis
Safe Haven Sedang Tak Menarik, Kok Harga Emas Naik?
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
17 January 2020 15:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia menguat pada perdagangan Jumat (17/1/2020) padahal aset-aset aman (safe haven) sedang tak menarik. Sentimen pelaku pasar yang sedang membaik membuat investasi mengalir ke aset-aset berisiko, dampaknya bursa saham global menghijau.
Pada pukul 15:02 WIB, harga emas dunia diperdagangkan di level Rp 1.555,37/troy ons, menguat 0,18% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street bahkan kembali mencetak rekor tertinggi pada perdagangan Kamis kemarin, dan berimbas positif pada mayoritas bursa saham Asia hari ini. Dampaknya sejak kemarin hingga hari ini, mata uang yen Jepang dan franc Swiss yang merupakan aset safe haven melemah.
Sentimen pelaku pasar membaik setelah AS dan China akhirnya menandatangani kesepakatan dagang fase I pada Rabu (15/1/2020).
Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.
Selain itu, semua mengenai bea masuk kedua negara masih sama. AS masih mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, sementara China mengenakan bea masuk terhadap produk AS senilai US 110 miliar.
Meski damai dagang belum terjadi sepenuhnya, dengan adanya kesepakatan dagang fase I setidaknya mengecilkan potensi eskalasi perang dagang, pertumbuhan ekonomi diharapkan mampu bangkit di tahun ini. Dampaknya risk appetite pelaku pasar meningkat dan memburu aset-aset berisiko.
Dalam kondisi tersebut, emas seharusnya mengalami tekanan, tetapi nyatanya mampu melewati "ujian" tersebut. Apalagi, kesepakatan dagang fase II tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Presiden Trump sebelumnya sempat mengungkapkan hal tersebut baru akan dilakukan setelah Pemilu Presiden (Pilpres) pada bulan November nanti. Sehingga tekanan bagi emas relatif berkurang.
Kamis kemarin, logam mulia ini memang mengalami pelemahan, tetapi tidak terlalu signifikan dan akibat rilis data ekonomi AS yang apik.
Data penjualan ritel AS di bulan Agustus dilaporkan tumbuh 0,3% month-on-month (MoM) pada Desember, sesuai dengan prediksi Reuters dan lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tumbuh 0,2%.
Namun yang mengejutkan, penjualan ritel inti, yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan, tumbuh 0,7% MoM, jauh lebih tinggi dari prediksi Reuters 0,5% dan pertumbuhan bulan sebelumnya 0,1%.
Data tersebut menjadi data bagus pertama setelah sebelumnya data tenaga kerja dan inflasi dari AS dirilis mengecewakan.
Untuk diketahui data inflasi dan tenaga kerja merupakan dua acuan utama bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menetapkan suku bunga. Data tenaga kerja AS sudah dirilis pada Jumat (10/1/2020) pekan lalu, hasilnya juga mengecewakan.
Pada akhir tahun lalu, The Fed mengatakan tidak akan menaikkan suku bunga di tahun ini, setelah memangkas suku bunga sebanyak tiga kali di 2019. Sikap tersebut membuat emas mampu menguat di penghujung tahun hingga mengakhiri perdagangan di atas US$ 1.500/troy ons di penutupan perdagangan 2019, dan masih akan mempengaruhi pergerakan emas sepanjang tahun ini.
Jika The Fed kembali membuka peluang pemangkasan suku bunga, emas bisa terbang tinggi kembali.
Pada pukul 15:02 WIB, harga emas dunia diperdagangkan di level Rp 1.555,37/troy ons, menguat 0,18% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Bursa saham Amerika Serikat (AS) atau Wall Street bahkan kembali mencetak rekor tertinggi pada perdagangan Kamis kemarin, dan berimbas positif pada mayoritas bursa saham Asia hari ini. Dampaknya sejak kemarin hingga hari ini, mata uang yen Jepang dan franc Swiss yang merupakan aset safe haven melemah.
Sentimen pelaku pasar membaik setelah AS dan China akhirnya menandatangani kesepakatan dagang fase I pada Rabu (15/1/2020).
Dalam kesepakatan dagang fase I, AS menurunkan bea masuk impor dari sebelumnya 15% menjadi 7,5% terhadap produk China senilai US$ 120 miliar. Sementara China akan membeli produk AS senilai 200 miliar dalam dua tahun ke depan.
Selain itu, semua mengenai bea masuk kedua negara masih sama. AS masih mengenakan bea masuk sebesar 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, sementara China mengenakan bea masuk terhadap produk AS senilai US 110 miliar.
Meski damai dagang belum terjadi sepenuhnya, dengan adanya kesepakatan dagang fase I setidaknya mengecilkan potensi eskalasi perang dagang, pertumbuhan ekonomi diharapkan mampu bangkit di tahun ini. Dampaknya risk appetite pelaku pasar meningkat dan memburu aset-aset berisiko.
Dalam kondisi tersebut, emas seharusnya mengalami tekanan, tetapi nyatanya mampu melewati "ujian" tersebut. Apalagi, kesepakatan dagang fase II tidak akan terjadi dalam waktu dekat. Presiden Trump sebelumnya sempat mengungkapkan hal tersebut baru akan dilakukan setelah Pemilu Presiden (Pilpres) pada bulan November nanti. Sehingga tekanan bagi emas relatif berkurang.
Kamis kemarin, logam mulia ini memang mengalami pelemahan, tetapi tidak terlalu signifikan dan akibat rilis data ekonomi AS yang apik.
Data penjualan ritel AS di bulan Agustus dilaporkan tumbuh 0,3% month-on-month (MoM) pada Desember, sesuai dengan prediksi Reuters dan lebih tinggi dari bulan sebelumnya yang tumbuh 0,2%.
Namun yang mengejutkan, penjualan ritel inti, yang tidak memasukkan sektor otomotif dalam perhitungan, tumbuh 0,7% MoM, jauh lebih tinggi dari prediksi Reuters 0,5% dan pertumbuhan bulan sebelumnya 0,1%.
Data tersebut menjadi data bagus pertama setelah sebelumnya data tenaga kerja dan inflasi dari AS dirilis mengecewakan.
Untuk diketahui data inflasi dan tenaga kerja merupakan dua acuan utama bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menetapkan suku bunga. Data tenaga kerja AS sudah dirilis pada Jumat (10/1/2020) pekan lalu, hasilnya juga mengecewakan.
Pada akhir tahun lalu, The Fed mengatakan tidak akan menaikkan suku bunga di tahun ini, setelah memangkas suku bunga sebanyak tiga kali di 2019. Sikap tersebut membuat emas mampu menguat di penghujung tahun hingga mengakhiri perdagangan di atas US$ 1.500/troy ons di penutupan perdagangan 2019, dan masih akan mempengaruhi pergerakan emas sepanjang tahun ini.
Jika The Fed kembali membuka peluang pemangkasan suku bunga, emas bisa terbang tinggi kembali.
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular