
Mohon Maaf Dolar AS, Rupiah Masih Terlalu Perkasa!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 January 2020 17:12

Seperti disebutkan sebelumnya, sejak perdagangan awal 2020, rupiah sudah menguat lebih 1,5% melawan dolar AS dan berada di level terkuat sejak Februari 2018, serta mencetak penguatan enam pekan beruntun.
Posisi tersebut tentunya menggiurkan bagi pelaku pasar untuk mencairkan keuntungan, dampaknya rupiah diterpa aksi ambil untung (profit taking) yang membuatnya melemah.
Tekanan bagi rupiah semakin besar setelah Bloomberg News melaporkan jika AS baru akan meninjau kembali dan menghilangkan bea importasi paling tidak 10 bulan ke depan.
Departemen Keuangan AS juga menegaskan hal tersebut, memang benar.
"Tidak ada kesepakatan untuk pengurangan tarif di masa depan. Setiap rumor yang bertentangan adalah palsu," kata Departemen Keuangan dan kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) dalam sebuah pernyataan bersama, Selasa (14/1/2020), sebagaimana dilaporkan AFP.
Setelah rilis tersebut, harapan pelaku pasar akan adanya kesepakatan dagang fase II antara AS dan China dalam waktu dekat menjadi pupus. Sentimen pelaku pasar menjadi sedikit memburuk, rupiah pun merosot hingga 0,51% ke level Rp 13.725/US$.
AS dan China hari ini akan menandatangani kesepakatan dagang fase I pada Rabu waktu Washington. Dalam kesepakatan dagang fase I, Presiden Trump mengatakan bahwa bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar nantinya akan dipangkas menjadi 7,5% saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu.
Sementara dari pihak China, Trump menyebut bahwa China akan segera memulai pembelian produk agrikultur asal AS yang jika ditotal akan mencapai US$ 50 miliar.
Kesepakatan dagang fase I tersebut menjadi salah satu pemicu penguatan rupiah belakangan ini, dan posisi rupiah saat ini sudah menakar (price in) terhadap kesepakatan tersebut. Sehingga ketika ada sedikit sentiment negatif, rupiah rentan mengalami koreksi.
Mata Uang Garuda perlahan bangkit dari tekanan hingga akhirnya berbalik menguat setelah rilis data ekonomi dari dalam negeri.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan realisasi ekspor selama 2019, mencapai US$ 167,53 miliar atau turun 6,94% dari 2018 lalu yang mencapai US$ 180,01 miliar. Sementara total impor selama 2019, tercatat US$ 178,72 miliar atau turun 9,53% dibandingkan di 2018 yang sebesar US$ 188,71 miliar.
Sehingga neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019 mengalami defisit US$ 3,2 miliar.
"Angka ini jauh lebih baik dari 2018 yang defisitnya US$ 8,6 miliar," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS, Rabu (15/1/2020).
Selain itu BPS juga melaporkan persentase penduduk miskin pada September 2019 sebesar 9,22%, angka ini menurun 0,19% poin terhadap Maret 2019 dan menurun 0,44% poin terhadap September 2018.
Tak cuma angka kemiskinan yang turun, pada September 2019 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio juga turun. Gini Ratio pada September 2019 sebesar 0,380, turun 0,002 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2019 yang sebesar 0,382 dan menurun 0,004 poin dibandingkan dengan Gini Ratio September 2018 yang sebesar 0,384.
Berkat data tersebut, rupiah kembali perkasa di hadapan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/tas)
Posisi tersebut tentunya menggiurkan bagi pelaku pasar untuk mencairkan keuntungan, dampaknya rupiah diterpa aksi ambil untung (profit taking) yang membuatnya melemah.
Tekanan bagi rupiah semakin besar setelah Bloomberg News melaporkan jika AS baru akan meninjau kembali dan menghilangkan bea importasi paling tidak 10 bulan ke depan.
"Tidak ada kesepakatan untuk pengurangan tarif di masa depan. Setiap rumor yang bertentangan adalah palsu," kata Departemen Keuangan dan kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) dalam sebuah pernyataan bersama, Selasa (14/1/2020), sebagaimana dilaporkan AFP.
Setelah rilis tersebut, harapan pelaku pasar akan adanya kesepakatan dagang fase II antara AS dan China dalam waktu dekat menjadi pupus. Sentimen pelaku pasar menjadi sedikit memburuk, rupiah pun merosot hingga 0,51% ke level Rp 13.725/US$.
AS dan China hari ini akan menandatangani kesepakatan dagang fase I pada Rabu waktu Washington. Dalam kesepakatan dagang fase I, Presiden Trump mengatakan bahwa bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar nantinya akan dipangkas menjadi 7,5% saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu.
Sementara dari pihak China, Trump menyebut bahwa China akan segera memulai pembelian produk agrikultur asal AS yang jika ditotal akan mencapai US$ 50 miliar.
Kesepakatan dagang fase I tersebut menjadi salah satu pemicu penguatan rupiah belakangan ini, dan posisi rupiah saat ini sudah menakar (price in) terhadap kesepakatan tersebut. Sehingga ketika ada sedikit sentiment negatif, rupiah rentan mengalami koreksi.
Mata Uang Garuda perlahan bangkit dari tekanan hingga akhirnya berbalik menguat setelah rilis data ekonomi dari dalam negeri.
Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan realisasi ekspor selama 2019, mencapai US$ 167,53 miliar atau turun 6,94% dari 2018 lalu yang mencapai US$ 180,01 miliar. Sementara total impor selama 2019, tercatat US$ 178,72 miliar atau turun 9,53% dibandingkan di 2018 yang sebesar US$ 188,71 miliar.
Sehingga neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019 mengalami defisit US$ 3,2 miliar.
"Angka ini jauh lebih baik dari 2018 yang defisitnya US$ 8,6 miliar," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS, Rabu (15/1/2020).
Selain itu BPS juga melaporkan persentase penduduk miskin pada September 2019 sebesar 9,22%, angka ini menurun 0,19% poin terhadap Maret 2019 dan menurun 0,44% poin terhadap September 2018.
Tak cuma angka kemiskinan yang turun, pada September 2019 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio juga turun. Gini Ratio pada September 2019 sebesar 0,380, turun 0,002 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2019 yang sebesar 0,382 dan menurun 0,004 poin dibandingkan dengan Gini Ratio September 2018 yang sebesar 0,384.
Berkat data tersebut, rupiah kembali perkasa di hadapan dolar AS.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/tas)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular