Apresiasi Data Sosial Ekonomi, Rupiah Perlahan Bangkit Lagi

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
15 January 2020 13:13
Apresiasi Data Sosial Ekonomi, Rupiah Perlahan Bangkit Lagi
Foto: Ilustrasi Money Changer (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (15/1/2020), setelah menunjukkan performa impresif sejak awal 2020.

Sejak perdagangan awal 2020 pada Kamis (2/1/2020) hingga Selasa kemarin, rupiah sudah menguat 1,55% melawan dolar AS dan berada di level terkuat sejak Februari 2018. Bahkan jika dilihat lebih ke belakangan, rupiah sudah mencetak penguatan enam pekan beruntun.

Posisi tersebut tentunya menggiurkan bagi pelaku pasar untuk mencairkan keuntungan, sehingga rupiah diterpa aksi ambil untung (profit taking) yang membuatnya melemah. Tekanan bagi rupiah semakin besar setelah Bloomberg melaporkan jika AS baru akan meninjau kembali dan menghilangkan bea importasi paling tidak 10 bulan ke depan.



Departemen Keuangan AS juga menegaskan hal tersebut, memang benar. "Tidak ada kesepakatan untuk pengurangan tarif di masa depan. Setiap rumor yang bertentangan adalah palsu," kata Departemen Keuangan dan kantor Perwakilan Dagang AS (USTR) dalam sebuah pernyataan bersama, Selasa (14/1/2020), sebagaimana dilaporkan AFP.

Setelah rilis tersebut, harapan pelaku pasar akan adanya kesepakatan dagang fase II antara AS dan China dalam waktu dekat menjadi pupus. Sentimen pelaku pasar menjadi sedikit memburuk, rupiah pun merosot hingga 0,51% ke level Rp 13.725/US$.

AS dan China hari ini akan menandatangani kesepakatan dagang fase I pada Rabu waktu Washington. Dalam kesepakatan dagang fase I, Presiden Trump mengatakan bahwa bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar akan dipangkas menjadi 7,5% saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu.

Sementara dari pihak China, Trump menyebut bahwa China akan segera memulai pembelian produk agrikultur asal AS yang jika ditotal akan mencapai US$ 50 miliar.

Kesepakatan dagang fase I tersebut menjadi salah satu pemicu penguatan rupiah belakangan ini. Rupiah perlahan bangkit dari tekanan dan berada di level Rp 13.700/US$ setelah rilis data ekonomi dari dalam negeri.

Badan Pusat Statistik (BPS) telah mengumumkan realisasi ekspor selama 2019, mencapai US$ 167,53 miliar atau turun 6,94% dari 2018 lalu yang mencapai US$ 180,01 miliar. Sementara total impor selama 2019, tercatat US$ 178,72 miliar atau turun 9,53% dibandingkan di 2018 yang sebesar US$ 188,71 miliar.

Sehingga neraca perdagangan Indonesia sepanjang 2019 mengalami defisit US$ 3,2 miliar. "Angka ini jauh lebih baik dari 2018 yang defisitnya US$ 8,6 miliar," kata Kepala BPS Suhariyanto di Gedung BPS, siang ini.

Selain itu BPS juga melaporkan persentase penduduk miskin pada September 2019 sebesar 9,22%, angka ini menurun 0,19% poin terhadap Maret 2019 dan menurun 0,44% poin terhadap September 2018.


Tak cuma angka kemiskinan yang turun, pada September 2019 tingkat ketimpangan pengeluaran penduduk Indonesia yang diukur oleh Gini Ratio juga turun.

Gini Ratio pada September 2019 sebesar 0,38 turun 0,002 poin jika dibandingkan dengan Gini Ratio Maret 2019 yang sebesar 0,382 dan menurun 0,004 poin dibandingkan dengan Gini Ratio September 2018 yang sebesar 0,384.

Secara teknikal, tanda-tanda penguatan rupiah sudah muncul sejak Selasa (7/1/2020). Saat itu rupiah membuka perdagangan di level Rp 13.930/US$, dan mengakhiri perdagangan di Rp 13.870/US$, atau menguat 0,47%.

Level pembukaan rupiah itu sekaligus menjadi titik terlemahnya, sementara level penutupan menjadi titik terkuat rupiah pada hari Selasa. Dengan demikian, secara teknikal rupiah membentuk pola Black Marubozu.

Sambut Data Dalam Negeri, Rupiah Perlahan Bangkit LagiGrafik: Rupiah (USD/IDR) Harian
Sumber: Refinitiv

Grafik di atas menunjukkan pergerakan harian dolar AS vs rupiah (USD/IDR) dalam candlestick. Black Marubozu terjadi pada Selasa lalu, yang menjadi tanda jika dominannya para investor menjual dolar AS dan atau membeli rupiah.

Munculnya black Marubozu kerap dijadikan sinyal kuat jika harga suatu instrumen akan mengalami penurunan lebih lanjut. Dalam hal ini, nilai tukar dolar AS melemah melawan rupiah. Dengan kata lain, rupiah berpotensi melanjutkan penguatan.

Dominannya para investor menjual dolar AS dan atau membeli rupiah akhirnya terlihat lagi sejak Kamis (9/1/2020) setelah menahan diri akibat risiko perang antara AS dan Iran sehari sebelumnya.

Akibat penguatan tajam sejak awal 2020, indikator Stochastic berada di wilayah jenuh jual (oversold) dalam cukup lama, sehingga wajar jika dolar AS bangkit pada hari ini.

Stochastic merupakan leading indicator, atau indikator yang mengawali pergerakan harga. Ketika Stochastic mencapai wilayah jenuh jual, maka suatu harga suatu instrumen berpeluang menguat. Dalam hal ini, dolar AS yang berpeluang bangkit mengingat simbol perdagangan jika melawan rupiah adalah USD/IDR.  

Sambut Data Dalam Negeri, Rupiah Perlahan Bangkit LagiFoto: Refinitiv


Jika melihat grafik 1 jam, indikator Stochastic sudah memasuki wilayah jenuh beli (overbought) yang membuka peluang bagi rupiah untuk memangkas pelemahan. Rupiah saat ini berada di resisten (tahanan atas) terdekat berada di level Rp 13.700/US$.

Selama tertahan di bawah level tersebut, rupiah berpeluang memangkas pelemahan ke Rp 13.675/US$ atau bahkan menguat menuju Rp 13.640/US$. Sementara, jika menembus ke atas Rp 13.700/US$, rupiah berisiko melemah ke Rp 13.730/US$ sampai Rp 13.755/US$. 

TIM RISET CNBC INDONESIA


Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular