AS-Iran Panas, Ini Deretan Saham yang Banjir Cuan

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
14 January 2020 14:39
AS-Iran Panas, Ini Deretan Saham yang Banjir Cuan
Foto: Lockheed Martin F-35 (Foto: REUTERS/Axel Schmidt -/File Photo)
Jakarta, CNBC Indonesia - Awal tahun 2020 merupakan periode yang tak mudah bagi pelaku pasar saham dunia.

Bayangkan saja, awal tahun yang seharusnya diwarnai optimisme justru diwarnai oleh kekhawatirkan terkait meletusnya perang dunia ketiga.

Pada awal tahun 2020, AS menembak mati petinggi pasukan militer Iran Jenderal Qassim Soleimani yang merupakan pemimpin dari Quds Force selaku satuan pasukan khusus yang dimiliki Revolutionary Guards (salah satu bagian dari pasukan bersenjata Iran). Soleimani tewas dalam serangan udara yang diluncurkan oleh AS di Baghdad.

Selain itu, Abu Mahdi al-Muhandis yang merupakan wakil komandan dari Popular Mobilization Forces selaku kelompok milisi Irak yang dibekingi oleh Iran, juga meninggal dunia.

"Atas arahan Presiden, militer AS telah mengambil tindakan defensif yang diperlukan untuk melindungi personil AS di luar negeri dengan membunuh Qasem Soleimani," tulis Pentagon dalam keterangan resmi pasca serangan.

"Jenderal Soleimani secara aktif mengembangkan rencana untuk menyerang para diplomat dan personel militer AS di Irak dan seluruh kawasan regional," jelas Pentagon.

"Soleimani dan pasukan Quds beratnggung jawab atas kematian ratusan masyarakat AS dan personel militer koalisi, serta telah melukai ribuan lainnya."

Iran pun tak tinggal diam. Dalam pernyataanya, Menteri Luar Negeri Iran Mohammad Javad Zarif mengutuk keras tindakan AS. Dirinya menyatakan bahwa Iran tidak takut untuk membalas AS.

"AS bertanggung jawab atas semua konsekuensi dari keputusan jahatnya," tegasnya melalui akun Twitter sebagaimana dikutip Reuters, Jumat (3/1/2019).

Hal senada juga ditegaskan tokoh militer Iran Mohsen Rezaei. Dirinya menegaskan bahwa Iran akan melakukan balas dendam terhadap AS.

"Dia (Soleimani) bergabung dengan saudara-saudara lain yang syahid. Tetapi kita tetap akan membalas dendam ke AS," katanya, juga melalui akun Twitter.

Soleimani sendiri telah disanksi oleh AS sejak tahun 2007 dan pada Mei 2019, Washington memutuskan untuk melabeli Revolutionary Guards, beserta dengan seluruh bagiannya, sebagai organisasi teroris, menandai kali pertama label tersebut diberikan terhadap lembaga militer resmi dari sebuah negara.

Serangan udara yang diluncurkan oleh AS di Baghdad merupakan eskalasi dari hubungan AS-Iran yang sudah panas dalam beberapa waktu sebelumnya. Pada akhir 2019, seorang kontraktor asal AS diketahui tewas dalam serangan roket di markas militer Irak di Kirkuk.

Pembunuhan terhadap kontraktor asal AS tersebut kemudian direspons AS dengan menyerang pasukan militer yang dibekingi Iran di Irak. Selepas itu, kedutaan besar AS di Irak
diserang oleh Kataeb Hezbollah, kelompok milisi yang dibekingi oleh Iran.

Memanasnya tensi antara AS dan Iran bukan hanya diperbincangkan oleh pelaku pasar, namun juga masyrakat secara umum. Pada awal tahun 2020 kala AS resmi mengeksekusi Soleimani, "World War 3" dan "WWIII" sempat kompak menjadi trending topic di media sosial Twitter selama seharian penuh.

Sebagai balasan dari pembunuhan Soleimani, Iran menembakkan misil ke dua markas militer AS di Irak. Diketahui, lebih dari selusin misil balistik diluncurkan oleh Iran ke dua markas militer AS tersebut.

"Jelas bahwa rudal ini diluncurkan dari Iran dan menargetkan setidaknya dua pangkalan militer Irak yang menampung personel militer dan koalisi AS di Al-Assad dan Irbil," kata juru bicara Pentagon pasca serangan.

Melansir CNBC International, setelah serangan Iran terjadi Presiden AS Donald Trump mengadakan pertemuan dengan para penasihat utamanya di Gedung Putih. Pertemuan tersebut dihadiri Wakil Presiden Mike Pence, Menteri Pertahanan Mark Esper, Menteri Luar Negeri Mike Pompeo, dan Jenderal Angkatan Darat Mark Milley.

Dalam konferensi pers terkait dengan serangan yang diluncurkan oleh Iran, Trump mendinginkan suasana dengan membantah klaim pemerintah Iran yang mengatakan bahwa ada sebanyak 80 tentara AS yang tewas dalam serangan tersebut. Dirinya pun menyakini bahwa serangan tersebut merupakan serangan terakhir dari Iran.

"Tidak ada warga AS yang terluka dalam serangan rudal Iran," ujar Trump di Gedung Putih sebagaimana dilansir dari AFP, Kamis (9/1/2020).

"Iran tampaknya akan mundur, yang mana ini baik untuk semua pihak terkait," katanya.

Trump menegaskan tidak akan menyerang balik Iran. Menurutnya, meski memiliki kekuatan militer terbaik di dunia, AS tak selamanya harus menggunakan itu.

"Fakta bahwa kita memiliki militer dan peralatan terbaik tidak berarti membuat kita harus menggunakannya."

Trump lantas memilih untuk menjatuhkan sanksi ekonomi baru terhadap Iran. Sanksi yang tidak dijelaskan secara detail ini, disebut Trump, nantinya akan berlaku sampai Iran mengubah perilakunya, terutama soal pengembangan nuklir.

"Iran harus meninggalkan ambisi nuklirnya dan mengakhiri dukungannya untuk terorisme," sebut Trump.

[Gambas:Video CNBC]


Namun, situasi antara AS dan Iran kemudian kembali memanas. Pada hari Minggu (12/1/2020), sebuah rudal diketahui kembali menyerang markas militer AS di Irak. Meski belum ada pengakuan resmi dari Iran, AS menuding serangan dilakukan kelompok milisi yang didukung Iran di Irak.

"(AS) marah dengan laporan serangan roket lain di pangkalan udara di Irak," kata Menteri Luar Negeri AS Mike Pompeo, seperti dikutip dari AFP.

"Ini pelanggaran terus-menerus atas kedaulatan Irak oleh kelompok-kelompok yang tidak loyal ... harus berakhir."

Roket jenis Katyusha tersebut mendarat di pangkalan udara Al-Balad. Pangkalan udara ini merupakan rumah bagi pesawat F-16.

Saat peristiwa terjadi, di Al-Balad tengah diadakan acara yang dihadiri kontingen kecil Angkatan Udara AS serta sejumlah kontraktor pemeliharaan pesawat militer. Peristiwa ini melukai 4 orang, di antaranya dua perwira Irak dan dua penerbang.
Walaupun tensi antara AS dan Iran memanas belakangan ini, ternyata ada saham-saham yang bisa membukukan kinerja yang oke. Saham-saham tersebut adalah saham dari emiten yang bergerak di sektor pertahanan.

Terhitung sejak awal tahun 2020 kala tensi antara AS dan Iran memanas hingga penutupan perdagangan kemarin (13/1/2020), harga saham Lockheed Martin misalnya, telah melejit 7,61%.

Lockeed Martin sendiri merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertahanan dengan melakukan riset, mendesain, mengembangkan, dan memproduksi peralatan yang digunakan kala sebuah negara berperang, jet tempur misalnya.

Lebih lanjut, harga saham dari emiten-emiten lain yang juga bergerak di bidang pertahanan ikut membukukan kenaikan yang signifikan. Terhitung sejak awal 2020 hingga penutupan perdagangan kemarin, harga saham Huntington Ingalls melesat 9,54%, General Dynamics menguat 2,71%, TransDigm Group naik 7,96%, Raytheon terapresiasi 3,37%, dan Northrop Grumman bertambah 9,55%.



Sebagai catatan, deretan saham-saham perusahaan yang bergerak di bidang pertahanan tersebut tercatat di AS dan merupakan anggota dari indeks S&P 500 yang merupakan indeks saham terbaik guna merepresentasikan kinerja bursa saham AS.

Imbal hasil dari saham perusahaan-perusahaan yang bergerak di bidang pertahanan jauh mengalahkan imbal hasil indeks S&P 500. Terhitung sejak awal 2020 hingga penutupan perdagangan kemarin, indeks S&P 500 hanya membukukan imbal hasil sebesar 1,78%.

Jika ditarik lebih jauh, tensi antara AS dan Iran sejatinya sudah panas sejak tahun 2018 silam kala AS menarik diri dari kesepakatan internasional yang bertujuan untuk membatasi ruang gerak Iran dalam mengembangkan senjata nuklir. Menurut Trump, kesepakatan tersebut tak cukup dalam membatasi ruang gerak Iran. AS pun pada akhirnya kembali mengenakan sanksi ekonomi bagi Tehran.

Wajar jika memanasnya tensi antara AS dan Iran memantik kekhawatiran bahwa perang dunia ketiga akan segera meletus.

Apalagi, panasnya tensi antara AS dan Iran sudah memakan korban sampingan. Pada hari Sabtu (11/1/2020), Angkatan Bersenjata Iran mengakui telah secara tidak sengaja menembak pesawat milik Ukraine International Airlines yang jatuh pada hari Rabu (8/1/2020).

Dilansir dari AFP, Iran menyebutkan hal tersebut disebabkan karena adanya human error dan fakta bahwa pesawat tersebut terbang di wilayah yang berdekatan dengan lokasi militer sensitif. Pihak Angkatan Bersenjata Iran mengira pesawat komersial tersebut sebagai pesawat musuh.

Untuk diketahui, sebelumnya Iran telah membantah tuduhan negara barat yang menyebutkan pesawat tersebut jatuh karena serangan rudal Iran. Iran menegaskan bahwa ada koordinasi yang erat antara otoritas pertahanan udara dengan departemen penerbangan sipil.

Diketahui, pesawat milik Ukraine International Airlines mengangkut sebanyak 176 penumpang yang semuanya meninggal dalam insiden tersebut. Jika sampai terdapat gesekan antara AS dan Iran lantaran insiden tersebut, lagi-lagi dunia dihadapkan dengan potensi meletusnya perang dunia ketiga.

Saat perang meletus, pemesanan peralatan tempur seperti senjata tentu akan meningkat. Walaupun perang akan berdampak negatif terhadap perekonomian secara umum, perusahaan-perusahaan yang memproduksi peralatan yang digunakan saat perang seperti Lockheed Martin bisa menggenjot penjualannya. Otomatis, laba bersih akan ikut terkerek, beserta juga dengan valuasi sahamnya.

Pasca tensi antara AS dan Iran memanas, para analis beramai-ramai menaikkan target harga mereka atas saham-saham dari produsen peralatan tempur. Untuk Lockheed Martin misalnya, median target harga untuk sahamnya berada di level US$ 400/unit per tanggal 14 Desember 2019, seperti dilansir dari Refinitiv. Kini, mediannya naik ke angka US$ 420/unit.



TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular