
Dinanti Seluruh Dunia! Ini Penggerak Utama Pasar Pekan Depan
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 January 2020 17:25

Pekan depan, tepatnya Rabu (15/1/2020) Amerika Serikat (AS) dan China rencananya akan menandatangani kesepakatan dagang fase I. Seluruh dunia menanti hal tersebut, perang dagang kedua negara yang sudah berlangsung sejak pertengahan 2018 akhirnya selesai, atau setidaknya risiko tereskalasi kembali mengecil.
Perang dagang kedua negara telah membuat perekonomian global melambat. Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) pada pertengahan Oktober lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3% di tahun 2019, dibandingkan proyeksi yang diberikan pada bulan Juli sebesar 3,2%. Proyeksi tersebut merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir.
Dalam kesepakatan dagang fase I, Presiden Trump mengatakan bahwa bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar nantinya akan dipangkas menjadi 7,5% saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu.
Sementara dari pihak China, Trump menyebut bahwa China akan segera memulai pembelian produk agrikultur asal AS yang jika ditotal akan mencapai US$ 50 miliar.
Ketika perang dagang AS-China tidak lagi tereskalasi, laju pertumbuhan ekonomi global diharapkan akan lebih terakselerasi. Dalam kondisi tersebut sentimen pelaku pasar akan membuncah, dan masuk ke aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi.
Pasar finansial dalam negeri siap "menampung" aliran modal dari para investor.
Di awal pekan, rilis data tenaga kerja AS yang mengecewakan pada hari Jumat akan mempengaruhi pasar finansial dalam negeri. Data tersebut dirilis pada Jumat malam saat pasar Indonesia sudah ditutup, sehingga baru akan berdampak pada perdagangan Senin (13/1/2020) besok.
Departemen Tenaga Kerja AS Jumat lalu melaporkan sepanjang bulan Desember perekonomian negeri Paman Sam menyerap 145.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian, atau yang dikenal dengan istilah non-farm payroll. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dari bulan sebelumnya sebanyak 256.000 tenaga kerja.
Data lain yang tidak kalah mengecewakan adalah rata-rata upah per jam yang hanya naik 0,1% month-on-month (MoM), lebih rendah dibandingkan kenaikan bulan sebelumnya 0,3%. Rendahnya kenaikan rata-rata upah tentunya akan berdampak pada daya beli masyarakat, dan tentunya mempengaruhi prospek inflasi.
Data ini bisa memberikan sentiment negatif juga positif, tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Bursa saham AS (Wall Street) mengakhiri perdagangan Jumat di zona merah, yang bisa mengirim sentiment negatif ke IHSG Senin besok. Tetapi data tenaga kerja AS tidak bisa menjadi "kambing hitam" atas melemahnya Wall Street.
Sebelum berbalik melemah, indeks Dow Jones sempat menyentuh level 29.000 untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Posisi tersebut tentunya menggiurkan pagi pelaku pasar untuk mencairkan cuan, sehingga terjadi aksi ambil untung (profit taking). Jika kasusnya seperti ini, memerahnya Wall Street bisa dikesampingkan terlebih dahulu.
Di sisi lain, buruknya data tenaga kerja AS bisa memberikan sentimen positif ke pasar finansial. Untuk diketahui, data tenaga kerja dan inflasi merupakan dua acuan utama bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menentukan suku bunga. The Fed akhir tahun lalu yang menyatakan suku bunga tidak akan dinaikkan di tahun ini.
Data inflasi AS akan dirilis pada Selasa (14/1/2020), hasil polling Reuters menunjukkan kenaikan harga di AS bulan Desember tersebut diprediksi tumbuh 0,3% sama dengan pertumbuhan bulan sebelumnya. Inflasi inti, yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan diperkirakan tumbuh 0,2% sama dengan bulan November.
Jika data inflasi kembali mengecewakan, dengan kata lain pertumbuhannya lebih rendah dari prediksi, tentunya memperkuat sikap The Fed untuk tidak menaikkan suku bunga untuk memberikan stimulus ke perekonomian. Selain itu, bisa jadi probabilitas The Fed kembali memangkas suku bunga di tahun ini akan semakin tinggi, pelaku pasar sekali lagi akan menyambut baik pemangkasan suku bunga tersebut.
Pada perdagangan terakhir pekan depan, Jumat (17/1/2020) China akan melaporkan data pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019. Hasil polling Reuters menunjukkan produk domestik bruto (PDB) Negeri Tiongkok diprediksi tumbuh 6%, sama dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya.
Untuk diketahui, angka 6% merupakan pertumbuhan ekonomi terendah China sejak 1992. Jika data tersebut dirilis sedikit saja di atas prediksi, misalnya 6,1%, sentimen pelaku pasar tentunya akan kembali membuncah, dan semakin percaya diri masuk ke aset berisiko. Rilis PDB China yang lebih tinggi dari 6% berarti perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut mulai bangkit, dan bisa mengerek pertumbuhan ekonomi mitra-mitra utamanya.
Sementara itu dari dalam negeri, data neraca perdagangan Indonesia yang dirilis pada Rabu (15/1/2020) juga akan mempengaruhi sentiment pelaku pasar. Konsensus yang dihimpun Trading Economics menunjukkan defisit neraca perdagangan RI diperkirakan akan membaik menjadi US$ 130 juta di bulan Desember, dari bulan sebelumnya defisit US$ 1,33 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Perang dagang kedua negara telah membuat perekonomian global melambat. Dana Moneter International (International Monetary Fund/IMF) pada pertengahan Oktober lalu memangkas proyeksi pertumbuhan ekonomi global menjadi 3% di tahun 2019, dibandingkan proyeksi yang diberikan pada bulan Juli sebesar 3,2%. Proyeksi tersebut merupakan yang terendah dalam satu dekade terakhir.
Dalam kesepakatan dagang fase I, Presiden Trump mengatakan bahwa bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar nantinya akan dipangkas menjadi 7,5% saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu.
Ketika perang dagang AS-China tidak lagi tereskalasi, laju pertumbuhan ekonomi global diharapkan akan lebih terakselerasi. Dalam kondisi tersebut sentimen pelaku pasar akan membuncah, dan masuk ke aset-aset berisiko dengan imbal hasil tinggi.
Pasar finansial dalam negeri siap "menampung" aliran modal dari para investor.
Di awal pekan, rilis data tenaga kerja AS yang mengecewakan pada hari Jumat akan mempengaruhi pasar finansial dalam negeri. Data tersebut dirilis pada Jumat malam saat pasar Indonesia sudah ditutup, sehingga baru akan berdampak pada perdagangan Senin (13/1/2020) besok.
Departemen Tenaga Kerja AS Jumat lalu melaporkan sepanjang bulan Desember perekonomian negeri Paman Sam menyerap 145.000 tenaga kerja di luar sektor pertanian, atau yang dikenal dengan istilah non-farm payroll. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dari bulan sebelumnya sebanyak 256.000 tenaga kerja.
Data lain yang tidak kalah mengecewakan adalah rata-rata upah per jam yang hanya naik 0,1% month-on-month (MoM), lebih rendah dibandingkan kenaikan bulan sebelumnya 0,3%. Rendahnya kenaikan rata-rata upah tentunya akan berdampak pada daya beli masyarakat, dan tentunya mempengaruhi prospek inflasi.
Data ini bisa memberikan sentiment negatif juga positif, tergantung dari sudut pandang mana melihatnya. Bursa saham AS (Wall Street) mengakhiri perdagangan Jumat di zona merah, yang bisa mengirim sentiment negatif ke IHSG Senin besok. Tetapi data tenaga kerja AS tidak bisa menjadi "kambing hitam" atas melemahnya Wall Street.
Sebelum berbalik melemah, indeks Dow Jones sempat menyentuh level 29.000 untuk pertama kalinya sepanjang sejarah. Posisi tersebut tentunya menggiurkan pagi pelaku pasar untuk mencairkan cuan, sehingga terjadi aksi ambil untung (profit taking). Jika kasusnya seperti ini, memerahnya Wall Street bisa dikesampingkan terlebih dahulu.
Di sisi lain, buruknya data tenaga kerja AS bisa memberikan sentimen positif ke pasar finansial. Untuk diketahui, data tenaga kerja dan inflasi merupakan dua acuan utama bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) dalam menentukan suku bunga. The Fed akhir tahun lalu yang menyatakan suku bunga tidak akan dinaikkan di tahun ini.
Data inflasi AS akan dirilis pada Selasa (14/1/2020), hasil polling Reuters menunjukkan kenaikan harga di AS bulan Desember tersebut diprediksi tumbuh 0,3% sama dengan pertumbuhan bulan sebelumnya. Inflasi inti, yang tidak memasukkan sektor makanan dan energi dalam perhitungan diperkirakan tumbuh 0,2% sama dengan bulan November.
Jika data inflasi kembali mengecewakan, dengan kata lain pertumbuhannya lebih rendah dari prediksi, tentunya memperkuat sikap The Fed untuk tidak menaikkan suku bunga untuk memberikan stimulus ke perekonomian. Selain itu, bisa jadi probabilitas The Fed kembali memangkas suku bunga di tahun ini akan semakin tinggi, pelaku pasar sekali lagi akan menyambut baik pemangkasan suku bunga tersebut.
Pada perdagangan terakhir pekan depan, Jumat (17/1/2020) China akan melaporkan data pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019. Hasil polling Reuters menunjukkan produk domestik bruto (PDB) Negeri Tiongkok diprediksi tumbuh 6%, sama dengan pertumbuhan kuartal sebelumnya.
Untuk diketahui, angka 6% merupakan pertumbuhan ekonomi terendah China sejak 1992. Jika data tersebut dirilis sedikit saja di atas prediksi, misalnya 6,1%, sentimen pelaku pasar tentunya akan kembali membuncah, dan semakin percaya diri masuk ke aset berisiko. Rilis PDB China yang lebih tinggi dari 6% berarti perekonomian terbesar kedua di dunia tersebut mulai bangkit, dan bisa mengerek pertumbuhan ekonomi mitra-mitra utamanya.
Sementara itu dari dalam negeri, data neraca perdagangan Indonesia yang dirilis pada Rabu (15/1/2020) juga akan mempengaruhi sentiment pelaku pasar. Konsensus yang dihimpun Trading Economics menunjukkan defisit neraca perdagangan RI diperkirakan akan membaik menjadi US$ 130 juta di bulan Desember, dari bulan sebelumnya defisit US$ 1,33 miliar.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Pages
Most Popular