
Minyak Naik, Gerak Saham Batu Bara kok Tak Seirama?

Jakarta, CNBC Indonesia - Emiten Batu bara cenderung tertekan di tengah tensi geopolitik AS-Iran dan harga batu bara (coal) yang tidak banyak mengalami perubahan.
Harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle kemarin ditutup menguat 0,51% dibanding posisi penutupan perdagangan sebelumnya. Harga batu bara menyentuh level US$ 69,65/ton. Harga batu bara seolah terjebak di zona nyamannya dan bergerak menyamping (sideways) di rentang US$ 66 - US$ 72 per ton.
Data bursa mencatat dari 19 emiten yang sahamnya aktif ditransaksikan di bursa, 9 diantaranya melemah, 7 saham stagnan dan hanya 3 saham yang menguat.
Saham paling menguat dicetak PT Alfa Energi Investama Tbk (FIRE) yang menyentuh auto reject dengan penguatan 24,56%, nilai transaksinya 48 juta unit senilai Rp 12,57 miliar.
Sedangkan saham paling anjlok diderita PT Borneo Olah Sarana Sukses Tbk (BOSS) dengan pelemahan 4,64%, sayang perdagangan sahamnya memang kurang ramai hanya 1,3 juta unit senilai Rp 244,9 juta.
Sementara emiten berkapitalisasi besar seperti PT Bukit Asam Tbk (PTBA) turun 2,21% ke level Rp 2.650/saham. Saham PT Adaro Energy Tbk (ADRO) juga melemah 0,97% pada harga Rp 1.510/saham. Saham PT Indo Tambangraya Megah Tbk (ITMG) turun 0,42% ke level Rp 11.800/saham.
Harga batu bara kontrak berjangka ICE Newcastle yang dijadikan acuan secara global cenderung stagnan karena aktivitas perdagangan batu bara di awal tahun dari beberapa negara konsumen belum menunjukkan geliatnya.
Berdasarkan data Refinitiv, persediaan batu bara di pelabuhan utama China bagian utara yaitu Caofeidian, Qinhuagndao dan Jingtang berada di posisi 154,51 juta ton per 3 Januari 2020. Jumlah tersebut jauh lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu sebesar 16,57 juta ton.
Impor batu bara China di beberapa hari awal tahun 2020 sudah naik menjadi 3,5 juta ton. Total impor tersebut masih lebih rendah dibanding periode yang sama tahun lalu yang mencapai 6,1 juta ton.
Sejauh ini belum ada katalis yang mampu mendorong harga batu bara. International Energy Agency (IEA) memprediksi permintaan batu bara masih akan stabil, karena di saat negara barat mengurangi konsumsinya, China dan India justru masih akan menjadi penopang permintaan kedepannya.
Pergerakan harga batu bara juga cenderung berbeda dengan minyak (oil) yang melesat karena tensi yang memanas antara Iran dengan Amerika Serikat (AS). Hal ini dikarenakan pasokan batu bara yang bisa dikatakan lancar dan hampir tanpa gangguan berarti.
Sedangkan minyak ada kekhawatiran pasokannya terganggu akibat konflik AS-Iran yang semakin memanas, di mana konflik tersebut masih berlangsung di wilayah Irak yang berpotensi menghambat infrastruktur dan fasilitas perminyakan di negara tersebut.
Situasi di Irak semakin memanas setelah Iran pada Rabu pagi (8/1/2020) dengan meluncurkan serangan roket ke pangkalan militer gabungan AS-Irak di Ayn Al Asad. Serangan balasan tersebut buntut dari kematian pimpinan militer kharismatik Jenderal Qassem Soleimani pekan kemarin.
Menteri Pertahanan Mark Esper mengatakan AS tidak mencari perang dengan Iran. "Kami tidak ingin memulai perang dengan Iran, tetapi kami siap untuk menyelesaikannya,".
TIM RISET CNBC INDONESIA
(yam/yam) Next Article Harga Sedang Turun, Saham Batu Bara Kok Beterbangan?