
Harga Minyak Melejit, Ini Sektor Saham yang Bisa Terimbas
Anthony Kevin, CNBC Indonesia
07 January 2020 16:14

Sebagai catatan, harga minyak mentah melejit dalam periode 3-6 Januari 2020 seiring dengan memanasnya tensi antara AS dengan Iran yang dikhawatirkan akan menggangu pasokan, bukan karena tingginya permintaan.
Kalau harga minyak melejit karena perekonomian sedang ‘panas’ (permintaan atas minyak tinggi), seharusnya ada peluang harga saham perbankan akan menguat.
Pasalnya, sektor jasa keuangan, utamanya perbankan, memang begitu krusial bagi perekonomian tanah air, seiring dengan sifatnya sebagai intermediasi keuangan (menyalurkan dana dari pihak yang kelebihan ke pihak yang membutuhkan).
Ketika perekonomain sedang ‘panas’, penyaluran kredit perbankan berpotensi terkerek naik dan membuat valuasinya lebih tinggi (harga sahamnya naik).
Kini, perekonomian Indonesia bisa dibilang sedang loyo. Untuk diketahui, pada tahun 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Namun di tahun 2019, laju perekonomian begitu lesu.
Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan. Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.
Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.
Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan.
Lantas, laju pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 hampir mustahil untuk menyamai capaian tahun 2018 yang sebesar 5,17%.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, melejitnya harga minyak mentah dalam periode 3-6 Januari 2019 dipicu oleh memanasnya tensi antara AS dengan Iran yang dikhawatirkan akan menggangu pasokan.
Berbicara mengenai memanasnya tensi antara AS dengan Iran yang yang dikhawatirkan akan menggangu pasokan, ada kekhawatiran yang besar bahwa AS akan kembali berperang melawan negara Timur Tengah.
Jika ini yang terjadi, perputaran roda perekonomian AS akan menjadi lebih lambat. Mengingat AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, pastilah tekanan terhadap perekonomian AS akan memperngaruhi laju perekonomian negara-negara lain dengan signifikan, termasuk Indonesia.
Saat ini saja, penyaluran kredit perbankan sudah lemah. Per akhir kuartal III-2018, penyaluran kredit dari Bank Mandiri, BRI, dan BNI tercatat tumbuh masing-masing sebesar 13,8%, 16,5%, dan 15,6% jika dibandingkan dengan posisi per akhir kuartal III-2017. Per akhir kuartal III-2019, pertumbuhannya menyusut menjadi masing-masing sebesar 7,8%, 11,6%, dan 14,7% (dibandingkan posisi per akhir kuartal III-2018).
Seiring dengan lesunya penyaluran kredit, laba bersih pun tertekan. Pada sembilan bulan pertama tahun 2019, laba bersih dari Bank Mandiri, BRI, dan BNI memang masih tumbuh jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun sebelumnya, yakni masing-masing sebesar 11,9%, 5,4%, dan 4,7%.
Namun, pertumbuhannya jauh menipis jika dibandingkan pertumbuhan pada periode sembilan bulan pertama tahun 2018. Pada sembilan bulan pertama tahun 2018, laba bersih Bank Mandiri melesat 20,1% secara tahunan, laba bersih BRI melejit 14,6%, dan laba bersih BNI melonjak 12,6%.
Jika lesunya laju perekonomian akibat perang dikombinasikan dengan tingginya harga minyak mentah yang merupakan sumber energi utama, tentu laju perekonomian bisa menjadi semakin loyo.
Ujung-ujungnya, saham-saham perbankan bisa terus dilego pelaku pasar dan membebani IHSG.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Kalau harga minyak melejit karena perekonomian sedang ‘panas’ (permintaan atas minyak tinggi), seharusnya ada peluang harga saham perbankan akan menguat.
Pasalnya, sektor jasa keuangan, utamanya perbankan, memang begitu krusial bagi perekonomian tanah air, seiring dengan sifatnya sebagai intermediasi keuangan (menyalurkan dana dari pihak yang kelebihan ke pihak yang membutuhkan).
Kini, perekonomian Indonesia bisa dibilang sedang loyo. Untuk diketahui, pada tahun 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Namun di tahun 2019, laju perekonomian begitu lesu.
Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan. Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.
Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.
Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan.
Lantas, laju pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 hampir mustahil untuk menyamai capaian tahun 2018 yang sebesar 5,17%.
Seperti yang sudah disebutkan di atas, melejitnya harga minyak mentah dalam periode 3-6 Januari 2019 dipicu oleh memanasnya tensi antara AS dengan Iran yang dikhawatirkan akan menggangu pasokan.
Berbicara mengenai memanasnya tensi antara AS dengan Iran yang yang dikhawatirkan akan menggangu pasokan, ada kekhawatiran yang besar bahwa AS akan kembali berperang melawan negara Timur Tengah.
Jika ini yang terjadi, perputaran roda perekonomian AS akan menjadi lebih lambat. Mengingat AS merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia, pastilah tekanan terhadap perekonomian AS akan memperngaruhi laju perekonomian negara-negara lain dengan signifikan, termasuk Indonesia.
Saat ini saja, penyaluran kredit perbankan sudah lemah. Per akhir kuartal III-2018, penyaluran kredit dari Bank Mandiri, BRI, dan BNI tercatat tumbuh masing-masing sebesar 13,8%, 16,5%, dan 15,6% jika dibandingkan dengan posisi per akhir kuartal III-2017. Per akhir kuartal III-2019, pertumbuhannya menyusut menjadi masing-masing sebesar 7,8%, 11,6%, dan 14,7% (dibandingkan posisi per akhir kuartal III-2018).
Seiring dengan lesunya penyaluran kredit, laba bersih pun tertekan. Pada sembilan bulan pertama tahun 2019, laba bersih dari Bank Mandiri, BRI, dan BNI memang masih tumbuh jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun sebelumnya, yakni masing-masing sebesar 11,9%, 5,4%, dan 4,7%.
Namun, pertumbuhannya jauh menipis jika dibandingkan pertumbuhan pada periode sembilan bulan pertama tahun 2018. Pada sembilan bulan pertama tahun 2018, laba bersih Bank Mandiri melesat 20,1% secara tahunan, laba bersih BRI melejit 14,6%, dan laba bersih BNI melonjak 12,6%.
Jika lesunya laju perekonomian akibat perang dikombinasikan dengan tingginya harga minyak mentah yang merupakan sumber energi utama, tentu laju perekonomian bisa menjadi semakin loyo.
Ujung-ujungnya, saham-saham perbankan bisa terus dilego pelaku pasar dan membebani IHSG.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/ank)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular