Newsletter

Trump Beri Kado Tahun Baru, IHSG-Rupiah Siap Melesat Lagi?

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
02 January 2020 06:37
Trump Beri Kado Tahun Baru, IHSG-Rupiah Siap Melesat Lagi?
Foto: Donald J. Trump
Jakarta, CNBC Indonesia - Pasar finansial dalam negeri mengakhiri tahun 2019 dengan bervariasi. Indeks harga saham gabungan (IHSG) berakhir melemah, sementara rupiah trengginas hingga menyentuh level terkuat dalam satu setengah tahun, sementara obligasi Indonesia tenor 10 tahun berakhir stagnan.

Sebagai informasi, IHSG mengakhiri tahun lebih awal pada Senin (30/12/2019), sementara rupiah dan obligasi sehari setelahnya.

IHSG berakhir melemah 0,47% ke level 6.299,54 pada perdagangan Senin, sementara sepanjang tahun ini, bursa kebanggaan Tanah Air membukukan penguatan 1,7%.



Reli di bulan Desember menjadi penyelamat bursa kebanggaan Tanah Air. Total IHSG melesat 4,79%, sementara sepanjang Januari-November mengalami koreksi 2,95%.

Sepanjang tahun ini, terjadi net buy asing di semua pasar Rp 44,63 triliun, terdiri dari pasar reguler net sell Rp 23,39 triliun dan pasar nego dan tunai net buy Rp 68,02 triliun.

Sementara rupiah pada Selasa (31/12/2019) rupiah menguat 0,29% ke level Rp 13.880/US$ yang merupakan level terkuat sejak 7 Juni 2018.

Sepanjang 2019, rupiah berhasil menguat 3,44% ke level Rp 13.880/US$ di pasar spot melansir data Refinitiv. Dengan penguatan tersebut rupiah menjadi mata uang terbaik ketiga di Asia, hanya kalah dari baht Thailand yang menguat 7,95%, dan peso Filipina dengan penguatan 3,47%.

Jika dilihat mulai awal tahun rupiah sebenarnya sudah menunjukkan kinerja yang apik. Di awal Februari, rupiah sudah menyentuh level Rp 13.885/US$, level tersebut sekaligus menjadi yang terkuat sepanjang tahun, sebelum berhasil dipecahkan pada perdagangan terakhir 2019 Selasa (31/12/2019) kemarin.



Setelah mencapai Rp 13.885/US$, rupiah perlahan memangkas penguatan dan akhirnya melemah di bulan Mei. Tetapi, rupiah tidak berlama-lama di zona merah, hanya dua pekan, di akhir Mei Sang Garuda kembali perkasa setelah S&P 500 menaikkan peringkat surat utang Indonesia menjadi BBB dari sebelumnya BBB-. Sejak saat itu Sang Garuda tidak pernah lagi merasakan zona merah secara year to date.



Dari pasar obligasi, yield harga surat utang negara (SUN) tenor 10 tahun stagnan menjadi 7,098%.

Sejak akhir 2018 hingga 31 Desember 2019, yield SUN tenor 10 tahun tahun mengalami penurunan 88,2 basis poin (bps).

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Data yang dipublikasikan oleh Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, di sepanjang tahun 2019 (hingga perdagangan hari Kamis, 26/12/2019) investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 171,59 triliun atas obligasi terbitan pemerintah Indonesia.

Kesepakatan dagang fase I antara AS dengan China yang akan ditandatangani dalam waktu dekat masih menjadi penggerak utama pasar finansial dalam negeri menuju di akhir 2019.

Dengan adanya kesepakatan dagang fase I dan akan berlanjut ke negosiasi fase II, perang dagang antara AS-China sudah mendekati akhir, dan pertumbuhan ekonomi global diharapkan bisa bangkit, sentimen pelaku pasar pun membaik.

[Gambas:Video CNBC]



Bursa saham AS (Wall Street) menguat di perdagangan terakhir 2019 Selasa (31/12/2019). Indeks S&P 500 menguat 0,29% ke level 3230,78, Dow Jones dan Nasdaq naik 0,27% dan 0,3% ke level 28538,44 dan 8.972,60. 

Sebagai kiblat bursa saham dunia, Wall Street berkali-kali mencetak rekor tertinggi sepanjang masa di tahun ini. Sepanjang 2019, indeks S&P 500 melesat 28,9%, menjadi kenaikan tahunan terbesar sejak tahun 2013. 

Indeks Dow Jones tercatat melesat 22,3%, menjadi kenaikan terbesar sejak 2017, sementara Nasdaq memimpin penguatan tahun ini yakni sebesar 35,2%, terbaik dalam enam tahun terakhir. 




Sepanjang tahun ini, eskalasi hubungan AS dengan China sebenarnya menjadi sentiment negatif bagi Wall Street. Sebelum mencapai kesepakatan dagang fase I, kedua negara beberapa kali menaikkan bea masuk importasi produk. 

Dampaknya perekonomian kedua negara mengalami pelambatan di tahun ini, bahkan AS sempat diterpa isu resesi. Bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akhirnya menurunkan suku bunga sebanyak tiga kali di tahun ini, yang menjadi salah satu alasan Wall Street mampu mencetak rekor tertinggi sepanjang masa. 

Stimulus moneter dari The Fed, didukung oleh kesepakatan dagang fase I yang dicapai pada pertengahan Oktober lalu. Meski hingga saat ini kesepakatan dagang fase I masih belum diteken kedua negara, tetapi sentiment pelaku pasar langsung membaik.

Kabar kesepakatan dagang akan ditandatangani dalam waktu dekat mulai beredar sejak pekan lalu yang membuat Wall Street terus mencetak rekor tertinggi sepanjang masa.



Pada hari Senin (23/12/2019), CNBC International melaporkan China akan menurunkan bea masuk terhadap 850 produk dari AS mulai 1 Januari. Sehari setelah itu Presiden AS, Donald Trump, menyebut kesepakatan dagang fase I sudah hampir selesai, dan akan ada upacara penandatanganan dengan Presiden China Xi Jinping.

"Ya, kami akan mengadakan upacara penandatanganan," kata Trump kepada wartawan, seperti dilansir dari Reuters.

China juga mengkonfirmasi hal tersebut, pada hari Rabu (25/12/2019). Pemerintah Beijing mengatakan sedang melakukan pembicaraan mengenai upacara penandatangan kesepakatan dagang fase I dengan Washington.

Selain kesepakatan dagang fase I, Santa Claus Rally juga turut mendongkrak kinerja Wall Street. 


Wall Street yang menutup tahun 2019 di zona hijau tentunya memberikan hawa positif ke pasar finansial dalam negeri di perdagangan pertama 2020, Kamis (2/1/2019). Santa Claus rally masih tersisa dua hari lagi, dan IHSG berpeluang menunjukkan kinerja positif di awal 2020. 

Santa Claus rally merupakan sebuah reli di pasar saham AS yang terjadi pada lima perdagangan terakhir di bulan Desember hingga dua perdagangan pertama di bulan Januari.

Ada beberapa penjelasan di balik fenomena Santa Claus rally, seperti optimisme menyambut tahun baru dan investasi dari bonus musim liburan misalnya. Selain itu, ada juga teori yang mengatakan bahwa beberapa investor institusi besar yang cenderung lebih pesimistis terhadap pasar saham sedang berlibur pada periode ini, sehingga pasar didominasi oleh investor ritel yang cenderung lebih optimistis.

Bagaimanapun juga, Santa Claus Rally sejauh ini masih terbukti di tahun ini, dan IHSG bisa terkerek naik lagi.



Selain itu, kabar yang dinanti-nanti pelaku pasar akhirnya datang juga. Tepat sebelum tahun baru Presiden AS, Donald Trump, mengumumkan kesepakatan dagang fase I akan diteken pada 15 Januari.

Hal tersebut diungkapkan melalui akun Twitternya. 



"Saya akan menandatangani perjanjian Fase I yang sangat besar dan komprehensif dengan China pada 15 Januari. Seremoni akan dilakukan di Gedung Putih. Delegasi tingkat tinggi dari China akan datang. Selepas itu, saya akan datang ke Beijing dan memulai pembicaraan Fase II," cuit Trump di Twitter.

Setelah ada kejelasan kapan kesepakatan dagang akan diteken, pelaku pasar tentunya semakin lega, perang dagang kedua negara akan segera berakhir, paling tidak risiko tereskalasi lagi sudah mengecil. Pertumbuhan ekonomi global diharapkan bisa bangkit, dan sentimen pelaku pasar tentunya semakin membaik lagi. 

Di saat sentimen membaik, aset-aset berisiko serta berimbal hasil tinggi akan menjadi target investasi. Rupiah memiliki peluang menguat lebih jauh lagi. Sang Garuda juga bisa memanfaatkan dolar AS yang sedang loyo. Indeks dolar, yang mengukur kekuatan mata uang Paman Sam pada perdagangan Selasa lalu merosot 0,36% dan menyentuh level terlemah dalam enam bulan terakhir. 



Kesepakatan dagang fase I AS-China bukannya memberikan tenaga untuk menguat tetapi justru membuat dolar AS tidak menarik. Ketika perang dagang tengah berkecamuk, dolar AS menjadi salah satu target investasi akibat statusnya sebagai aset aman (safe haven). Di saat damai dagang di depan mata, mata uang utama lainnya yang sebelumnya tertekan akhirnya mulai bangkit kembali, indeks dolar AS menjadi terus tertekan.

Rilis data ekonomi dari China juga bisa membuat sentimen pelaku pasar semakin berseri-seri. China akan melaporkan data purchasing managers' index (PMI) sektor manufaktur versi Caixin pagi ini. Selasa lalu, China sudah melaporkan data yang sama versi pemerintah dan menunjukkan ekspansi sektor pengolahan dalam dua bulan beruntun. 

Rilis data dari Caixin, jika menunjukkan peningkatan ekspansi tentunya membuat pelaku pasar semakin yakin perekonomian terbesar kedua di dunia mulai bangkit dari pelambatan.


 
Selain itu, rilis data inflasi Indonesia juga dapat mempengaruhi pergerakan pasar finansial hari ini. Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi Desember adalah 0,51% secara month-on-month (MoM).

Sementara inflasi tahunan (year-on-year/YoY) adalah 2,93% dan inflasi inti tahunan adalah 3,125%. Pada Desember, inflasi tahunan sama dengan tahun kalender atau year-to-date. Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa inflasi sepanjang 2019 diramal 2,93%.

Jika inflasi 2019 benar-benar 2,93%, maka akan menjadi yang terendah dalam 10 tahun terakhir. 

Rendahnya inflasi salah satunya disebabkan kestabilan pemerintah dalam mengendalikan harga pangan. Ketika inflasi berhasil dikendalikan, maka daya beli masyarakat bisa lebih baik. Namun, ada juga yang menyebutkan rendahnya inflasi justru karena daya beli masyarakat yang melemah. 

Inflasi yang rendah, sejauh ini memberikan ruang bagi Bank Indonesia (BI) untuk menurunkan suku bunga acuan, yang diharapkan dapat merangsang perekonomian agar bisa lebih terakselerasi. 


Berikut adalah peristiwa yang akan terjadi pada hari ini:

  • Rilis data aktivitas manufaktur Korea Selatan (7:30 WIB)
  • Rilis data aktivitas manufaktur China versi Caixin (8:45 WIB)
  • Rilis data inflasi Indonesia (11:00 WIB) 

Berikut sejumlah indikator perekonomian nasional:

IndikatorTingkat
Pertumbuhan ekonomi (Kuartal III-2019)5,02% YoY
Inflasi (November 2019)3% YoY
BI 7-Day Reverse Repo Rate (Desember 2019)5%
Defisit anggaran (APBN 2019)-1,84% PDB
Transaksi berjalan (Kuartal III-2019)-2,66% PDB
Neraca pembayaran (Kuartal III-2019)-US$ 46 juta
Cadangan devisa (November 2019)US$ 126,6 miliar


TIM RISET CNBC INDONESIA 
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular