Rangkuman Bursa Saham 2019

Nyaris Terburuk di Asia, IHSG Menanggung Beban Berat di 2019

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
31 December 2019 12:13
Nyaris Terburuk di Asia, IHSG Menanggung Beban Berat di 2019
Foto: Ilustrasi Bursa Efek Indonesia (CNBC Indonesia/Muhammad Sabki)
Jakarta, CNBC Indonesia - Tahun 2019 terbukti menjadi tahun yang berat bagi pasar saham Tanah Air.

Jika dihitung sejak akhir 2018 hingga akhir November 2019, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia masih membukukan koreksi sebesar 2,95%.

Namun, kinerja IHSG terdongkrak dengan signifikan di bulan Desember. Di sepanjang bulan Desember, IHSG meroket hingga 4,79%. Seiring dengan terdongraknya IHSG di bulan Desember, imbal hasil untuk keseluruhan tahun 2019 berbalik menjadi positif, tepatnya sebesar 1,7%.



Walaupun imbal hasil untuk keseluruhan tahun 2019 berbalik menjadi positif, apresiasi yang hanya sebesar 1,7% tersebut nyaris menempatkan IHSG sebagai indeks saham teburuk di kawasan Asia.

Berdasarkan data 10 indeks saham di kawasan Asia yang kami kumpulkan termasuk IHSG, hingga penutupan perdagangan tanggal 30 Desember 2019, hampir seluruhnya membukukan apresiasi. Indeks KLCI (Malaysia) tercatat sebagai satu-satunya yang melemah di sepanjang tahun 2019.

Jika diurutkan, IHSG berada di posisi ketujuh. Kinerja IHSG di sepanjang tahun 2019 hanya lebih baik dari indeks KLCI yang jatuh 4,43% dan indeks SETi (Thailand) yang menguat 1,02%.



Kinerja IHSG terbilang mengecewakan ketika kinerja bursa saham AS alias Wall Street selaku kiblat bursa saham dunia begitu menggembirakan. Di sepanjang tahun 2019 (hingga penutupan perdagangan hari Senin, 30/12/2019), indeks Dow Jones sudah melejit 22,01%, indeks S&P 500 meroket 28,5%, dan indeks Nasdaq Composite terapresiasi 34,82%.

Sosok Presiden AS Donald Trump terbukti masih mampu untuk mendongkrak kinerja Wall Street secara signifikan melalui kebijakan-kebijakannya yang pro terhadap pertumbuhan ekonomi.

Melansir CNBC International yang mengutip data dari Bespoke Investment Group, secara rata-rata di tahun ketiga presiden, indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 12,8%. Data yang digunakan oleh Bespoke Investment Group adalah data sejak tahun 1928.

Lantas, imbal hasil indeks S&P 500 yang sudah mencapai 28,5% hingga penutupan perdagangan kemarin menempatkan Trump di posisi yang sangat superior jika dibandingkan dengan presiden-presiden sebelumnya.

Jangankan di tahun ketiga, di tahun pertama pun Trump sudah jauh meninggalkan presiden-presiden AS lainnya jika berbicara mengenai kinerja pasar saham. Di tahun pertamanya sebagai presiden AS (2017), indeks S&P 500 membukukan imbal hasil sebesar 19,42%. Padahal, secara rata-rata di tahun pertama presiden, indeks S&P 500 hanya naik tipis 5,7%.

Memang, di tahun kedua Trump (2018) indeks S&P 500 terkoreksi sebesar 6,24%, lebih buruk dibandingkan dengan rata-rata di tahun kedua presiden yakni apresiasi sebesar 4,5%. Namun, dengan melihat kinerja di tahun pertama dan ketiga yang begitu superior dibandingkan para pendahulunya, jelas bahwa Trump terbilang lebih 'ramah' bagi pasar saham AS.

Laju perekonomian yang begitu lesu menjadi faktor utama yang membuat IHSG kurang bertenaga di tahun 2019.

Untuk diketahui, pada tahun 2018 Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,17%. Namun di tahun 2019, laju perekonomian begitu lesu.

Sepanjang kuartal III-2019, BPS mencatat bahwa perekonomian Indonesia hanya tumbuh 5,02% secara tahunan. Angka pertumbuhan ekonomi yang hanya mencapai 5,02% tersebut lantas berada di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.

Untuk diketahui, pada kuartal I-2019 perekonomian Indonesia tercatat tumbuh sebesar 5,07% secara tahunan, sementara pada kuartal II-2019 perekonomian Indonesia tumbuh sebesar 5,05% secara tahunan.

Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, perekonomian Indonesia hanya mampu tumbuh sebesar 5,04% secara tahunan.

Lantas, laju perekonomian untuk keseluruhan tahun 2019 hampir mustahil untuk tumbuh sesuai dengan outlook yang dipatok pemerintah di level 5,2%. Bahkan, hampir pasti bahwa pertumbuhan ekonomi untuk keseluruhan tahun 2019 akan lebih rendah dari capaian tahun 2018 yang mencapai 5,17%.

Dampak dari lesunya laju perekonomian kemudian terefleksikan di kinerja keuangan dari perusahaan-perusahaan yang melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), salah satunya yang bergerak di bidang perbankan.

Pada sembilan bulan pertama tahun 2019, laba bersih dari PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), dan PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI) memang masih tumbuh jika dibandingkan dengan capaian periode yang sama tahun sebelumnya, yakni masing-masing sebesar 11,9%, 5,4%, dan 4,7%.

Namun, pertumbuhannya jauh menipis jika dibandingkan pertumbuhan pada periode sembilan bulan pertama tahun 2018. Pada sembilan bulan pertama tahun 2018, laba bersih Bank Mandiri melesat 20,1% secara tahunan, laba bersih BRI melejit 14,6%, dan laba bersih BNI melonjak 12,6%.



Menipisnya pertumbuhan laba bersih dari ketiga bank pelat merah tersebut salah satunya dipicu oleh perlambatan pertumbuhan di pos pendapatan bunga bersih/net interest income yang merupakan pos pendapatan utama mereka.

Pada sembilan bulan pertama tahun 2019, pendapatan bunga bersih dari BRI dan BNI tercatat tumbuh masing-masing sebesar 4,6%, dan 3,3% jika dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya. Pertumbuhan tersebut jauh melambat jika dibandingkan dengan pertumbuhan pada periode sembilan bulan pertama tahun 2018.

Pada sembilan bulan pertama tahun 2018, pendapatan bunga bersih dari BRI dan BNI tumbuh di level 6,6% dan 10,6%.

Tercatat, hanya Bank Mandiri yang mampu membukukan kenaikan pertumbuhan pendapatan bunga bersih pada sembilan bulan pertama tahun ini, yakni menjadi 8,9%, dari yang sebelumnya 3,9% pada sembilan bulan pertama tahun 2018. Namun tetap saja, lonjakan pertumbuhan pendapatan bunga bersih nyatanya tak mampu mengerek pertumbuhan laba bersih Bank Mandiri.



Tak heran jika pendapatan bunga bersih dari BRI dan BNI melorot. Pasalnya, marjin bunga bersih/net interest margin (NIM) dari keduanya begitu tertekan pada tahun ini. Sepanjang sembilan bulan pertama tahun 2019, NIM BRI jatuh hingga 60 basis poin (bps) jika dibandingkan dengan periode yang sama tahun lalu, sementara NIM dari BNI turun 40 bps.

Sebagai informasi, NIM merupakan selisih dari bunga yang didapatkan perbankan dengan bunga yang dibayarkan kepada nasabah, dibagi dengan total aset yang menghasilkan bunga. Semakin besar NIM, maka tingkat profitabilitas sebuah bank akan semakin besar.

Tak berlebihan jika NIM dikatakan sebagai 'nyawa' dari operasional sebuah bank. Dengan NIM yang lebih besar, sebuah bank bisa mendapatkan keuntungan yang lebih tinggi kala menyalurkan kredit dalam besaran yang sama.



Sudah marjin menipis, seperti yang sudah disebutkan di atas, perbankan dihadapkan dengan kondisi perekonomian yang lesu yang membuat penyaluran kredit tertekan. Per akhir kuartal III-2018, penyaluran kredit dari Bank Mandiri, BRI, dan BNI tercatat tumbuh masing-masing sebesar 13,8%, 16,5%, dan 15,6% jika dibandingkan dengan posisi per akhir kuartal III-2017. Per akhir kuartal III-2019, pertumbuhannya menyusut menjadi masing-masing sebesar 7,8%, 11,6%, dan 14,7% (dibandingkan posisi per akhir kuartal III-2018).



Untuk diketahui, sektor jasa keuangan (yang didominasi oleh emiten-emiten perbankan) membentuk lebih dari 40% kapitalisasi pasar IHSG. Di sepanjang tahun 2019, harga saham BBNI tercatat ambruk 10,8%, sementara harga saham BMRI hanya mampu naik 4,07%. Untuk saham BBRI, harganya melonjak sebesar 20,22% pada tahun ini.

Pada akhirnya, pergerakan saham-saham perbankan yang secara keseluruhan bisa dikatakan kurang menggembirakan berkontribusi signifikan dalam menekan kinerja bursa saham Tanah Air di sepanjang tahun 2019.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular