
Penguatan Rupiah "Sudah Kebangetan", tapi Tetap Masih Garang
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
27 December 2019 11:58

Jakarta CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah kembali menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada Jumat (27/12/2019) setelah berhasil membukukan penguatan pada Kamis.
Penguatan tersebut didapat dengan tidak mudah, Mata Uang Garuda harus melemah terlebih dahulu akibat aksi ambil untung (profit taking) setelah membukukan penguatan yang signifikan alias kebangetan.
Sebelum libur Natal, rupiah sudah mencatat penguatan 1% sepanjang bulan Desember, di tengah isu kesepakatan dagang fase I AS-China, yang kala itu masih belum jelas kapan akan ditandatangani. Sementara sejak awal tahun hingga 23 Desember, rupiah tercatat menguat 2,9%.
Kini dengan kesepakatan dagang fase I yang semakin jelas, rupiah menjadi lebih garang lagi. Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan stagnan di level Rp 13.950/US$, setelahnya sempat melemah 0,05% ke Rp 13.957/US$. Namun sebelum tengah hari, rupiah sudah berbalik menguat 0,06% ke Rp 13.942/US$.
Kabar bagus dari kesepakatan dagang fase I terus berhembus sejak pekan lalu, dan semakin menguat di pekan ini. Pada hari Senin (23/12/2019), CNBC International melaporkan China akan menurunkan bea masuk terhadap 850 produk AS mulai 1 Januari.
Sehari setelah itu Presiden AS Donald Trump menyebut kesepakatan dagang fase I sudah hampir selesai, dan akan ada upacara penandatanganan dengan Presiden China Xi Jinping. "Ya, kami akan mengadakan upacara penandatanganan," kata Trump kepada wartawan, seperti dilansir dari Reuters.
China juga mengonfirmasi hal tersebut, pada Rabu (25/12/2019). Pemerintah Beijing mengatakan sedang melakukan pembicaraan mengenai upacara penandatangan kesepakatan dagang fase I dengan Washington.
Dengan makin kuatnya sinyal kesepakatan dagang fase I, pelaku pasar pun ceria, dan masuk ke aset-aset berisiko seperti saham dan obligasi pemerintah di negara berkembang seperti Indonesia. Akibatnya, rupiah pun mendapat rezeki.
Dengan adanya kesepakatan dagang fase I dan akan berlanjut ke negosiasi fase II, eskalasi perang dagang antara AS-China pun berkurang setelah berlangsung selama 18 bulan dan membuat perekonomian AS-China melambat, serta menyeret turun pertumbuhan ekonomi global.
Dengan berakhirnya perang dagang, pertumbuhan ekonomi global diharapkan bisa bangkit di tahun depan, dan aset-aset berisiko serta berimbal hasil tinggi, seperti rupiah, akan menjadi target investasi pelaku pasar.
Penguatan tersebut didapat dengan tidak mudah, Mata Uang Garuda harus melemah terlebih dahulu akibat aksi ambil untung (profit taking) setelah membukukan penguatan yang signifikan alias kebangetan.
Sebelum libur Natal, rupiah sudah mencatat penguatan 1% sepanjang bulan Desember, di tengah isu kesepakatan dagang fase I AS-China, yang kala itu masih belum jelas kapan akan ditandatangani. Sementara sejak awal tahun hingga 23 Desember, rupiah tercatat menguat 2,9%.
Kini dengan kesepakatan dagang fase I yang semakin jelas, rupiah menjadi lebih garang lagi. Rupiah membuka perdagangan hari ini dengan stagnan di level Rp 13.950/US$, setelahnya sempat melemah 0,05% ke Rp 13.957/US$. Namun sebelum tengah hari, rupiah sudah berbalik menguat 0,06% ke Rp 13.942/US$.
Kabar bagus dari kesepakatan dagang fase I terus berhembus sejak pekan lalu, dan semakin menguat di pekan ini. Pada hari Senin (23/12/2019), CNBC International melaporkan China akan menurunkan bea masuk terhadap 850 produk AS mulai 1 Januari.
Sehari setelah itu Presiden AS Donald Trump menyebut kesepakatan dagang fase I sudah hampir selesai, dan akan ada upacara penandatanganan dengan Presiden China Xi Jinping. "Ya, kami akan mengadakan upacara penandatanganan," kata Trump kepada wartawan, seperti dilansir dari Reuters.
China juga mengonfirmasi hal tersebut, pada Rabu (25/12/2019). Pemerintah Beijing mengatakan sedang melakukan pembicaraan mengenai upacara penandatangan kesepakatan dagang fase I dengan Washington.
Dengan makin kuatnya sinyal kesepakatan dagang fase I, pelaku pasar pun ceria, dan masuk ke aset-aset berisiko seperti saham dan obligasi pemerintah di negara berkembang seperti Indonesia. Akibatnya, rupiah pun mendapat rezeki.
Dengan adanya kesepakatan dagang fase I dan akan berlanjut ke negosiasi fase II, eskalasi perang dagang antara AS-China pun berkurang setelah berlangsung selama 18 bulan dan membuat perekonomian AS-China melambat, serta menyeret turun pertumbuhan ekonomi global.
Dengan berakhirnya perang dagang, pertumbuhan ekonomi global diharapkan bisa bangkit di tahun depan, dan aset-aset berisiko serta berimbal hasil tinggi, seperti rupiah, akan menjadi target investasi pelaku pasar.
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Most Popular