Internasional

Waspada Pertumbuhan Jepang Mulai Loyo

Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
23 December 2019 11:57
Waspada Pertumbuhan Jepang Mulai Loyo
Foto: Bendera Jepang Terlihat di Atas Bank of Japan di Tokyo, Jepang pada 21 September 2016 (REUTERS/Toru Hanai)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomiĀ Jepang mengalami perlambatan akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Selain itu, perlambatan juga dipicu oleh menurunnya permintaan global, yang menyebar ke berbagai sektor ekonomi, termasuk menekan ekspor.

Analis beranggapan ini menandakan program stimulus yang diluncurkan Perdana Menteri Shinzo Abe, atau yang dikenal dengan 'Abenomics' sudah kurang bertaji. Banyak yang memperkirakan pemerintah dan bank sentral Bank of Japan, bakal mencari cara baru untuk merangsang pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu di 2020.


Meski potensi kontraksi ekonomi di Jepang pada kuartal keempat belum akan terjadi, analis tetap melihat ada tanda-tanda perlambatan pada ekonomi. Hal itu, terancam menghancurkan tujuan Abe yang ingin membangkitkan ekonomi Jepang, dengan konsolidasi fiskal melalui campuran kebijakan pelonggaran moneter, pengeluaran yang fleksibel dan reformasi struktural.

Para pembuat kebijakan memang berpendapat bahwa ekonomi domestik masih tetap terlindungi dari tekanan berat yang terjadi pada sektor ekspor dan aktivitas manufaktur akibat permintaan eksternal. Tapi, para analis masih meragukan ketahanan sektor manufaktur dan ekonomi secara keseluruhan.

"Selalu ada hubungan antara ekonomi manufaktur dan ekonomi domestik. Pada akhirnya, kelemahan satu akan meluas ke yang lain," kata Steve Cichrane, kepala ekonom APAC di Moody's Analytics.

Menurut laporan, kebijakan reflationary Abe telah membantu meningkatkan produk domestik bruto (PDB) Jepang menjadi 540 triliun yen (US$ 4,9 triliun). Angka itu naik 8,6% dari pertumbuhan di tahun 2012.

Kenaikan ini didorong oleh pelemahan yen yang mengakibatkan peningkatan laba eksportir dan harga saham. Namun begitu, serangkaian data menunjukkan bahwa permintaan domestik melemah dan kondisi pasar tenaga kerja melambat.

Penjualan department store juga turun jauh lebih dari yang diproyeksikan pada Oktober. Itu terjadi setelah kenaikan pajak nasional yang diterapkan pada bulan itu. Penurunan itu 1,5 kali lebih besar dari pada bulan kenaikan pajak sebelumnya, pada April 2014.

"Ini akan menjadi lampu merah (untuk ekonomi) jika pertumbuhan kuartal pertama buruk," kata pejabat itu.

Lebih lanjut, penjualan mobil juga masih kesulitan mencatatkan pertumbuhan akibat adanya kenaikan permintaan pajak pasca-penjualan pada bulan November. Penjualan mobil turun 13% dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun sebelumnya.

Pelemahan permintaan baik di dalam maupun luar negeri telah membuat produksi pabrik menurun, mencapai laju tercepatnya dalam hampir dua tahun pada Oktober.

Menurut hasil survei 'tankan' Bank of Japan pada Desember, penurunan produksi telah mengarah pada mendinginnya pasar tenaga kerja untuk produsen. Oleh karenanya, seorang pejabat pemerintah berpendapat bahwa hal ini bisa mengarah pada perlambatan pertumbuhan upah dan menurunnya pengeluaran konsumen.

[Gambas:Video CNBC]

Moody's juga berpendapat bahwa pelemahan pada ekonomi bisa berdampak pada keuangan negara yang sudah dalam keadaan kacau saat ini. Hal ini telah menyebabkan proyeksi resmi penerimaan pajak diturunkan, setelah tujuh tahun mencatatkan pertumbuhan.

Saat ini pajak penjualan mengalami kenaikan dan kenaikan dalam pendapatan pajak hampir 30% dari level 2012 menjadi lebih dari 60 triliun yen. Namun, para pejabat mengatakan Abe tidak akan berhasil mencapai target pendapatan terbarunya.

Hal itu akan menandai kemunduran strateginya, yang mengandalkan kenaikan pendapatan pajak serta kebijakan suku bunga rendah BOJ untuk mengendalikan utang yang tumbuh lebih dari dua kali ukuran ekonomi Jepang. Saat ini ekonomi Jepang bernilai US$ 5 triliun.

Tetapi, lembaga pemeringkat kredit Moody's Investors Service mengatakan, hilangnya kemampuan untuk meningkatkan pengeluaran dan mengurangi hutang dan peringatan penurunan peringkat kredit akan semakin memperparah prospek stimulus Abe.

"Indikasi bahwa pemerintah tidak dapat mengambil langkah-langkah yang akan mengurangi biaya ekonomi dan fiskal jangka panjang terkait dengan masyarakat yang menua kemungkinan akan mendorong penurunan peringkat," kata lembaga itu dalam sebuah laporan bulan lalu.

Namun begitu, mantan menteri ekonomi Yoshimasa Hayashi mengatakan yakin bahwa penurunan penerimaan pajak hanya terjadi sekali ini saja. Anggota Partai Demokrat Liberal itu juga mengatakan pendapatan pajak harusnya bisa kembali mencatatkan pertumbuhan yang stabil dalam waktu dekat.

"Kita harus berusaha untuk mencapai pertumbuhan ekonomi dan reformasi fiskal pada saat yang bersamaan," katanya, kepada Reuters.

"Itulah satu-satunya cara kita dapat mencapai reformasi fiskal."

Sebelumnya PDB Jepang tercatat 0,4% (QoQ) di kuartal III-2019. Sebelumnya di kuartal II-2019 PDB Jepang tercatat 0,5% sedangkan di kuartal III-2019, PDB Jepang 0,6%.
(sef/sef) Next Article Pajak Baru Bikin Warga Borong, Q3 Jepang di Atas Ekspektasi

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular