
Internasional
Waspada Pertumbuhan Jepang Mulai Loyo
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
23 December 2019 11:57

Jakarta, CNBC Indonesia - Pertumbuhan ekonomiĀ Jepang mengalami perlambatan akibat perang dagang antara Amerika Serikat (AS) dengan China. Selain itu, perlambatan juga dipicu oleh menurunnya permintaan global, yang menyebar ke berbagai sektor ekonomi, termasuk menekan ekspor.
Analis beranggapan ini menandakan program stimulus yang diluncurkan Perdana Menteri Shinzo Abe, atau yang dikenal dengan 'Abenomics' sudah kurang bertaji. Banyak yang memperkirakan pemerintah dan bank sentral Bank of Japan, bakal mencari cara baru untuk merangsang pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu di 2020.
Meski potensi kontraksi ekonomi di Jepang pada kuartal keempat belum akan terjadi, analis tetap melihat ada tanda-tanda perlambatan pada ekonomi. Hal itu, terancam menghancurkan tujuan Abe yang ingin membangkitkan ekonomi Jepang, dengan konsolidasi fiskal melalui campuran kebijakan pelonggaran moneter, pengeluaran yang fleksibel dan reformasi struktural.
Para pembuat kebijakan memang berpendapat bahwa ekonomi domestik masih tetap terlindungi dari tekanan berat yang terjadi pada sektor ekspor dan aktivitas manufaktur akibat permintaan eksternal. Tapi, para analis masih meragukan ketahanan sektor manufaktur dan ekonomi secara keseluruhan.
"Selalu ada hubungan antara ekonomi manufaktur dan ekonomi domestik. Pada akhirnya, kelemahan satu akan meluas ke yang lain," kata Steve Cichrane, kepala ekonom APAC di Moody's Analytics.
Menurut laporan, kebijakan reflationary Abe telah membantu meningkatkan produk domestik bruto (PDB) Jepang menjadi 540 triliun yen (US$ 4,9 triliun). Angka itu naik 8,6% dari pertumbuhan di tahun 2012.
Kenaikan ini didorong oleh pelemahan yen yang mengakibatkan peningkatan laba eksportir dan harga saham. Namun begitu, serangkaian data menunjukkan bahwa permintaan domestik melemah dan kondisi pasar tenaga kerja melambat.
Penjualan department store juga turun jauh lebih dari yang diproyeksikan pada Oktober. Itu terjadi setelah kenaikan pajak nasional yang diterapkan pada bulan itu. Penurunan itu 1,5 kali lebih besar dari pada bulan kenaikan pajak sebelumnya, pada April 2014.
"Ini akan menjadi lampu merah (untuk ekonomi) jika pertumbuhan kuartal pertama buruk," kata pejabat itu.
Lebih lanjut, penjualan mobil juga masih kesulitan mencatatkan pertumbuhan akibat adanya kenaikan permintaan pajak pasca-penjualan pada bulan November. Penjualan mobil turun 13% dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun sebelumnya.
Pelemahan permintaan baik di dalam maupun luar negeri telah membuat produksi pabrik menurun, mencapai laju tercepatnya dalam hampir dua tahun pada Oktober.
Menurut hasil survei 'tankan' Bank of Japan pada Desember, penurunan produksi telah mengarah pada mendinginnya pasar tenaga kerja untuk produsen. Oleh karenanya, seorang pejabat pemerintah berpendapat bahwa hal ini bisa mengarah pada perlambatan pertumbuhan upah dan menurunnya pengeluaran konsumen.
Analis beranggapan ini menandakan program stimulus yang diluncurkan Perdana Menteri Shinzo Abe, atau yang dikenal dengan 'Abenomics' sudah kurang bertaji. Banyak yang memperkirakan pemerintah dan bank sentral Bank of Japan, bakal mencari cara baru untuk merangsang pertumbuhan ekonomi terbesar ketiga di dunia itu di 2020.
Meski potensi kontraksi ekonomi di Jepang pada kuartal keempat belum akan terjadi, analis tetap melihat ada tanda-tanda perlambatan pada ekonomi. Hal itu, terancam menghancurkan tujuan Abe yang ingin membangkitkan ekonomi Jepang, dengan konsolidasi fiskal melalui campuran kebijakan pelonggaran moneter, pengeluaran yang fleksibel dan reformasi struktural.
"Selalu ada hubungan antara ekonomi manufaktur dan ekonomi domestik. Pada akhirnya, kelemahan satu akan meluas ke yang lain," kata Steve Cichrane, kepala ekonom APAC di Moody's Analytics.
Menurut laporan, kebijakan reflationary Abe telah membantu meningkatkan produk domestik bruto (PDB) Jepang menjadi 540 triliun yen (US$ 4,9 triliun). Angka itu naik 8,6% dari pertumbuhan di tahun 2012.
Kenaikan ini didorong oleh pelemahan yen yang mengakibatkan peningkatan laba eksportir dan harga saham. Namun begitu, serangkaian data menunjukkan bahwa permintaan domestik melemah dan kondisi pasar tenaga kerja melambat.
Penjualan department store juga turun jauh lebih dari yang diproyeksikan pada Oktober. Itu terjadi setelah kenaikan pajak nasional yang diterapkan pada bulan itu. Penurunan itu 1,5 kali lebih besar dari pada bulan kenaikan pajak sebelumnya, pada April 2014.
"Ini akan menjadi lampu merah (untuk ekonomi) jika pertumbuhan kuartal pertama buruk," kata pejabat itu.
Lebih lanjut, penjualan mobil juga masih kesulitan mencatatkan pertumbuhan akibat adanya kenaikan permintaan pajak pasca-penjualan pada bulan November. Penjualan mobil turun 13% dibandingkan dengan bulan yang sama di tahun sebelumnya.
Pelemahan permintaan baik di dalam maupun luar negeri telah membuat produksi pabrik menurun, mencapai laju tercepatnya dalam hampir dua tahun pada Oktober.
Menurut hasil survei 'tankan' Bank of Japan pada Desember, penurunan produksi telah mengarah pada mendinginnya pasar tenaga kerja untuk produsen. Oleh karenanya, seorang pejabat pemerintah berpendapat bahwa hal ini bisa mengarah pada perlambatan pertumbuhan upah dan menurunnya pengeluaran konsumen.
Next Page
Moody's
Pages
Most Popular