Lihat Nih, Bukti Keperkasaan Rupiah Sang Raja 3 Benua!

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
21 December 2019 12:49
Lihat Nih, Bukti Keperkasaan Rupiah Sang Raja 3 Benua!
Foto: CNBC Indonesia/Muhammad Sabki
Jakarta, CNBC Indonesia - Menjelang berakhirnya tahun 2019, nilai tukar rupiah mengalami pasang surut melawan dolar Amerika Serikat (AS).

Rupiah perkasa di kuartal I-2019 sempat menguat 3,41% ke level Rp 13.885/US$ di awal Februari. Lantas dari level tersebut Mata Uang Garuda terus mengalami koreksi hingga berbalik melemah di kuartal II-2019. Pada 22 Mei rupiah tercatat berada di level Rp 14.525/US$, melemah 1,04% di pasar spot, berdasarkan data Refinitiv.

Dua level tersebut sekaligus menjadi yang terkuat dan terlemah bagi rupiah sepanjang tahun ini.

Memasuki awal semester II, rupiah kembali perkasa, dan mampu dipertahankan hingga penghujung tahun ini.

Data dari Bank Indonesia (BI), pada 18 Desember 2019, Rupiah menguat 0,93% (ptp) dibandingkan dengan level November 2019 sehingga sejak awal tahun menguat 2,90% atau secara year-to-date (ytd) menggunakan kurs tengah bank sentral.

Di pasar spot sesuai data Refinitiv, per 20 Desember 2019 rupiah menguat 2,82% dari Rp 14.375/US$ ke Rp 13.970/US$. Penguatan tersebut menobatkan rupiah menjadi salah satu best performer currency di antara negara emerging market.

Di Asia rupiah menjadi mata uang terbaik ke-tiga setelah bath Thailand, dan peso Filipina.



Selain kondisi fundamental, baik eksternal maupun internal, salah satu faktor yang membuat rupiah menunjukkan performa impresif tersebut adalah BI yang selalu aktif di pasar.

CNBC Indonesia mengkonfirmasi ke Nanang Hendarsah yang merupakan Direktur Eksekutif Operasi Moneter Bank Indonesa (BI).

Menurut Nanang, BI memang tidak pernah lengah untuk memastikan Rupiah tetap bergerak dalam fluktuasi yang manageable.

"Kami memantau dinamika global 24 jam dan merespon setiap tekanan sejak pembukaan pasar pukul 08.00 WIB," ungkap Nanang kepada CNBC Indonesia, Jumat (20/12/2019).

"Triple intervention melalui tiga kombinasi instrument tetap menjadi andalan dalam upaya menekan volatilitas kurs Rupiah," imbuhnya.

Tahun ini BI mengandalkan intervensi di instrument Domestic Non-Delivery Forward (DNDF) dan stabilisasi di pasar Surat Berharga Negara (SBN). Sementara di pasar spot, intervensi dilakukan untuk memastikan supply dan demand berimbang.

Berkat invisible hand tersebut, rupiah tidak hanya menguat melawan dolar AS, tetapi juga terhadap mata uang utama, dan mata uang regional. (NEXT)



Keperkasaan rupiah di tahun 2019 terlihat dari kinerjanya melawan mata uang utama dunia. Seperti disebutkan sebelumnya, rupiah mampu mencatat penguatan 2,82% melawan dolar AS di pasar spot. 

Ternyata penguatan tersebut masih terlihat kecil jika melihat performa rupiah melawan mata uang 19 negara dari Eropa, euro. 

Berdasarkan data Refinitiv, sejak akhir tahun lalu, hingga 20 Desember kemarin, rupiah tercatat menguat 6,03% melawan euro. Sementara tetangga dekatnya, poundsterling juga dibuat melemah nyaris 1%. 



Masih belum cukup menaklukan benua Amerika dan Eropa, rupiah juga menundukkan mata uang utama Asia, yakni yen Jepang. Rupiah sukses membuat mata uang Negeri Matahari Terbit melemah 2,69%.

Tidak hanya melawan mata uang utama, rupiah juga cukup digdaya melawan mata uang regional Asia. Dari sepuluh mata uang Benua Kuning, termasuk yen, rupiah hanya kalah dari bath Thailand dan peso Filipina. 

Won Korea Selatan paling merana di hadapan rupiah, mata uang Negeri K-Pop ini tercatat melemah 6,52%. Rupee India serta yuan China melengkapi tiga besar mata uang Asia yang berhasil ditaklukan rupiah. 


Sinar rupiah di tahun depan masih belum akan meredup, itulah yang diramal oleh salah satu bank investasi ternama Goldman Sachs. 

Zach Pandl, co-head mata uang global, suku bunga, dan strategi negara berkembang di Goldman Sachs melihat "peluang yang besar" bagi rupiah di tahun 2020. 

"Jika investor berinvestasi, anda tahu aset di Indonesia memiliki yield cukup tinggi, dengan kondisi makroekonomi dan pertumbuhan global yang relatif stabil, kami pikir ini [aset di Indonesia] cukup menarik untuk dimainkan" kata Pandl, sebagaimana dilansir CNBC International, Rabu (11/12/2019).



Dari sisi domestik, Pandl mengatakan Indonesia merupakan "sebuah cerita mengenai stabilitas". 

"Anda memiliki pertumbuhan yang stabil. Anda memiliki gambaran pemerintahan yang cukup bagus dan anda memiliki bank sentral yang terus mencoba mempertahankan nilai tukar mata uang agar tetap stabil" ujarnya.

Pandl juga mengatakan Indonesia berpeluang mendapat kenaikan peringkat kredit di tahun 2020, sehingga akan lebih menarik lagi dijadikan tujuan investasi. 

"Itu [kenaikan peringkat utang] belum kami perhitungkan dan kami tetap berpikir untuk mengambil posisi beli (long) terhadap rupiah Indonesia, didanai dengan aset ber-yield rendah seperti dolar Taiwan atau euro, berinvestasi di rupiah bisa memberikan peluang return 10% atau sedikit lebih tinggi pada tahun depan" tegas Pandl.

Jika berbicara investasi, pelaku pasar tentunya melihat berapa imbal hasil atau yield yang diberikan. Seperti pernyataan Pandl, yield surat utang Indonesia memang relatif tinggi yang tentunya bisa menarik investor. 

Berdasarkan data Refinitiv, yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun pada akhir perdagangan Jumat kemarin berada di level 7,185%, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Filipina menjadi negara dengan yield obligasi yang paling dekat dengan Indonesia, yakni di level 4,47%. Kemudian ada Malaysia dengan yield 3,393%. 

Thailand dan Taiwan memberikan yield obligasi tenor 10 tahun yang cukup rendah yakni 1,57% dan 0,68%. Bahkan yield obligasi Indonesia masih lebih tinggi dari India yang yield-nya sebesar 6,598%. 

Melihat riil return dari obligasi tentunya tidak bisa melihat dari segi yield, inflasi di masing-masing negara juga harus diperhitungkan untuk mengetahui berapa riil return yang didapat.

Yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun memang menjadi yang tertinggi, tetapi inflasi RI jika dibandingkan negara lain juga relatif tinggi. Data terakhir menunjukkan inflasi di Indonesia berada di level 3% year-on-year (YoY), relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara lainnya yang disebutkan di atas. 

Berdasarkan data Trading Economics, inflasi Filipina hanya sebesar 1,3% YoY, kemudian Malaysia beada di level 1,1% YoY. Thailand dan Taiwan bahkan di hanya di level 0,21% dan 0,59% YoY. 

Sementara inflasi India lebih tinggi dari Indonesia, sebesar 4,61% YoY. 

Jika melihat selisih antara yield obligasi dengan inflasi tersebut, Indonesia jauh lebih tinggi yakni sebesar 4,185%. Dengan demikian, jika melihat riil return yang diberikan, maka memang terlihat berinvestasi rupiah memang lebih menguntungkan. 

Selain itu, pertumbuhan ekonomi Indonesia juga diprediksi akan membaik di 2020, yang tentunya bisa menambah daya tarik investasi.

Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 ada di 5,08%, sementara proyeksi BI adalah 5,1%. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi 2018 yang sebesar 5,17%.

Untuk tahun depan, Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mengasumsikan pertumbuhan ekonomi di angka 5,3%. Sementara BI memberikan proyeksi sebesar 5,1-5,5%

Selain itu, defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian diprediksi akan membaik. Di tiga kuartal tahun ini, CAD belum pernah menyentuh 3% dari produk domestik bruto (PDB). Bank Dunia memperkirakan defisit transaksi berjalan sepanjang 2019 sebesar 2,8% PDB dan tahun depan turun jadi 2,5% PDB.


TIM RISET CNBC INDONESIA 

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular