
Jiwasraya Kacau Balau, Apakah Sistemik dan Perlu Bailout?

Kini, salah satu pertanyaan yang mencuat adalah terkait dampak yang bisa dihasilkan jika Jiwasraya dibiarkan ‘berdarah-darah’ seperti saat, apakah akan sistemik bagi sistem keuangan atau tidak?
Untuk diketahui, berdampak sistemik berarti tekanan terhadap kinerja keuangan Jiwasraya akan berdampak signifikan terhadap sistem keuangan Indonesia.
Seharusnya, tekanan keuangan terhadap kinerja keuangan Jiwasraya tidak akan berdampak sistemik terhadap sistem keuangan Indonesia. Pasalnya, sistem keuangan Indonesia masih didominasi oleh perbankan dan bukan perusahaan asuransi.
Melansir Statistik Perbankan Indonesia (SPI) periode September 2019 yang dipublikasikan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), total aset bank umum di Indonesia mencapai Rp 8.318,28 triliun.
Sementara itu, melansir Statistik Asuransi periode Oktober 2019 yang juga dipublikasikan oleh OJK, total aset industri asuransi di Indonesia hanya mencapai Rp 733,57 triliun.
Pengelolaan investasi yang buruk yang dilakukan oleh Jiwasraya (yang pada akhirnya membuatnya merugi) bisa dipastikan tak akan membuat likuiditas di sistem keuangan Indonesia menjadi kering.
Lebih lanjut, sebuah lembaga keuangan bisa juga dikatakan memiliki dampak sistemik jika kegagalannya akan membuat penarikan dana secara besar-besaran di lembaga keuangan serupa lainnya. Namun, biasanya hal ini didapati pada perbankan dan bukan perusahaan asuransi.
Ketika sebuah bank, utamanya bank besar mengalami kesulitan keuangan, ada kecenderungan bahwa nasabah di bank-bank yang lain akan menarik secara besar-besaran dana yang disimpan di sana. Hal ini dilandasi kekhawatiran bahwa kesulitan keuangan di sebuah bank akan menekan likuiditas di bank-bank lainnya.
Penarikan dana secara besar-besaran (rush) di bank-bank lain yang dipicu oleh kesulitan keuangan di sebuah bank dikenal dengan istilah bank rush.
Hal ini sangat beralasan. Pasalnya, di dunia perbankan ada yang disebut dengan Pasar Uang Antar Bank (PUAB) yakni platform yang memperbolehkan sebuah bank untuk meminjam dana dari bank yang lain, biasanya dalam jangka pendek untuk memenuhi kewajiban kliring.
Biasanya, pihak yang meminjam kepada bank lain di PUAB merupakan pihak yang ‘kalah kliring’. ‘Kalah kliring’ terjadi kala dana yang mengalir keluar dari sebuah bank lebih besar ketimbang dana yang mengalir masuk ke bank tersebut. Selisih dari dana yang keluar dengan dana yang masuk harus dinolkan dan PUAB menjadi tempat bagi bank untuk mencari pendanaan secara instan.
Ketika sebuah bank, utamanya bank besar mengalami kesulitan keuangan, ada kemungkinan kewajibannya di PUAB tak bisa dipenuhi yang pada akhirnya akan membebani kinerja keuangan dari bank yang menjadi kreditornya.
Kalau diingat, kekhawatiran bahwa kegagalan dari Bank Century akan berdampak sistemik menjadi faktor yang membuat Sri Mulyani Indrawati selaku menteri keuangan memberikan bailout pada tahun 2008 silam.
Jika berbicara mengenai perusahaan asuransi, selama ini kesulitan keuangan di sebuah perusahaan asuransi biasanya tak menyebabkan penarikan dana secara besar-besaran di perusahaan asuransi lainnya.
Bahkan kini pascakasus Jiwasraya sudah mencuat, hawa-hawa penarikan dana secara besar-besaran di perusahaan asuransi lainnya belum juga terasa.
Lantas, kegagalan dari Jiwasraya memang tak bisa dikatakan berdampak sistemik terhadap industri keuangan Tanah Air.
Berbicara mengenai bailout, langkah paling tepat yang bisa diambil sejatinya adalah mencari investor untuk membantu penyehatan Jiwasraya. Hal ini sejatinya tengah diusahakan oleh perusahaan.
Direktur Utama Jiwasraya Hexana Tri Sasongko menyebut sudah menjajaki peluang kerja sama dengan empat investor luar negeri dan satu investor dalam negeri untuk menyuntikkan dananya ke perusahaan asuransi pelat merah tersebut.
"Saya harus kejar management presentation. Kita dengar mereka. Saya presentasi mereka," ujarnya usai saat Rapat Dengar Pendapat dengan Komisi VI DPR RI, Senin (16/12/2019).
Akan tetapi, Hexana mengakui bahwa dana dari investor (jika berhasil diraup) tidak akan mencukupi untuk menutup semua defisit perusahaan.
"Belum, ini tidak bisa diselesaikan dengan single solution namun harus melalui beberapa tahapan. Yang penting ada harapan untuk penyelesaian," jawabnya ketika ditanya apa semua klaim nasabah bisa tertutupi dengan datangnya beberapa investor.
Sebelumnya, Kementerian BUMN menegaskan valuasi anak usaha Jiwasraya yakni PT Jiwasraya Putra bernilai sekitar Rp 9 triliun dan akan dilepas kepada sejumlah investor strategis guna menyelamatkan perusahaan warisan Belanda yang telah berdiri sejak 31 Desember 1859 silam tersebut.
Kementerian BUMN menyatakan tengah melakukan uji tuntas (due diligence) dengan 8 investor asing yang berpotensi membeli anak usaha terbaru Jiwasraya tersebut.
Jika benar dana dari investor tak cukup untuk menutup semua defisit perusahaan seperti yang diungkapkan oleh manajemen, rasanya tak ada pilihan lain bagi pemerintah selain turun tangan.
Pasalnya, seperti yang sudah disebutkan sebelumnya, Jiwasraya merupakan perusahaan asuransi pelat merah. Kalau sampai pemerintah tak turun tangan ketika tak ada jalan lain untuk menyelesaikan permasalahan yang membelit Jiwasraya, tentu itu akan menjadi preseden buruk bagi pemerintah itu sendiri.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/tas)
