Jiwasraya Kacau Balau, Apakah Sistemik dan Perlu Bailout?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 December 2019 16:29
Sudah Bertahun-Tahun, Menahun!
Foto: Korban Jiwasraya di Kementerian BUMN. (CNBC Indonesia/Choirul Anwar)

Dalam dokumen Periode Penyehatan Jiwasraya yang diperoleh CNBC Indonesia, disebutkan bahwa periode penyehatan Jiwasraya terbagi dalam lima periode, yakni Periode I 2006-2008, Periode II 2009-2010, Periode III 2011-2012, Periode IV 2013-2017, dan Periode V 2018-sekarang.

Pada Periode I, terungkap bahwa Jiwasraya mengalami defisit senilai Rp 3,29 triliun di tahun 2006.

"Isu utama perusahaan adalah adanya defisit yang disebabkan jumlah aset perusahaan yang jauh lebih rendah dari kewajibannya. Pada 2006, diketahui defisit perusahaan menembus Rp 3,29 triliun," tulis dokumen tersebut.

Adapun defisit Jiwasraya kemudian semakin membengkak di tahun-tahun berikutnya. Pada tahun 2008, defisit secara internal dihitung mencapai Rp 5,7 triliun, di bawah angka yang diberikan aktuaris independen yang memperkirakan defisit pada tahun 2008 mencapai Rp 8-10 triliun.

Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) lalu melakukan audit kepada Jiwasraya untuk laporan keuangan tahun 2006 dan 2007, dengan pendapat Disclaimer. Hal ini dikarenakan akuntansi Jiwasraya tidak dapat diandalkan untuk mendukung kewajiban manfaat polis (cadangan). Artinya, penyajian informasi cadangan tidak dapat diyakini kebenarannya.

Selain itu, terungkap juga 12 persoalan utama yang memicu perusahaan mengalami kesulitan keuangan dan gagal bayar polis yang jatuh tempo.

Permasalahan utama perusahaan meliputi:

  •       Produk-produk yang merugi (negative spread dan underpricing).
  •       Kinerja pengelolaan aset yang rendah.
  •       Kualitas aset investasi dan non-investasi yang kurang likuid.
  •       Sistem pengendalian perusahaan yang masih lemah.
  •       Tata Kelola perusahaan yang kurang baik.
  •       Sistem informasi yang tidak andal
  •       Kantor cabang yang tidak produktif.
  •       Biaya operasional yang tidak efisien
  •       Akses permodalan yang terbatas.
  •       Kurangnya inovasi di bidang produk dan layanan.
  •       Kualitas SDM asuransi yang terbatas dan budaya kerja.
  •       Sarana dan prasarana kerja yang belum modern.
(ank/tas)
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular