Mau Dimakzulkan, Begini Pengaruh Trump ke Pasar Saham Dunia

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemakzulan Presiden AS Donald Trump menjadi isu yang begitu hangat dibicarakan belakangan ini, bukan hanya oleh pelaku pasar keuangan, namun juga masyarakat umum.
Tiga bulan sudah DPR AS melakukan investigasi terkait kepemimpinan Trump dan kemarin waktu Indonesia (19/12/2019) atau hari Rabu malam waktu setempat (18/12/2019), DPR AS resmi memutuskan untuk memakzulkan Trump.
Kemarin pagi waktu Indonesia, mayoritas anggota DPR AS memberikan persetujuan untuk mencopot Trump dari posisinya sebagai orang nomor satu di AS.
Ada dua alasan yang membuat anggota DPR AS memutuskan untuk melengserkan Trump. Pertama, Trump didakwa telah menyalahgunakan kekuasaannya ketika menahan bantuan pendanaan bagi Ukraina guna mendorong Ukraina meluncurkan investigasi terhadap lawan politiknya, Joe Biden.
Kedua, Trump juga didakwa karena dianggap menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya. Hal ini dilakukan oleh Trump dengan melarang para pembantunya di Gedung Putih untuk memberikan kesaksian di sidang penyelidikan Trump.
Anggota DPR AS menggolkan pasal penyalahgunaan kekuasaan dengan skor 230-197. Sementara itu, pasal kedua yang menyebut bahwa Trump telah menghalangi Kongres dalam melakukan penyelidikan terhadap dirinya, digolkan dengan skor 229-198.
Sebelum DPR AS melakukan pemungutan suara yang pada akhirnya memutuskan untuk memakzulkannya, Trump mengirim surat sepanjang enam halaman kepada Ketua DPR AS Nancy Pelosi.
Dalam suratnya, Trump memprotes keras upaya pemakzulan yang digagas Partai Demokrat terhadap dirinya.
"Pemakzulan ini menunjukkan hal yang belum pernah terjadi sebelumnya dan penyalahgunaan kekuasaan yang tidak konstitusional oleh para anggota Demokrat, tak tertandingi di 250 tahun sejarah legislatif di AS," tulis Trump dalam surat yang dipublikasikan di halaman whitehouse.gov.
Pasca DPR AS resmi menyetujui pemakzulan, Trump yang tengah berkampanye di Michigan memposting sebuah foto di akun Twitternya, @realDonaldTrump. Di postingannya itu, ia memuat fotonya dalam background hitam putih seraya mengacungkan jari telunjuk ke depan.
Di gambar tersebut, dimuat kalimat "Dalam realita yang ada, mereka tidak sedang menargetkan saya, mereka sedang menargetkan Anda. Saya hanya berada di antaranya."
Apapaun alazan pemakzulannya, kita semua harus mengakui bahwa Trump merupakan ‘juru selamat’ bagi pasar saham dunia. Bagaimana tidak, semenjak dirinya resmi menjabat sebagai Presiden pada 20 Januari 2017 silam, kinerja bursa saham AS alias Wall Street terbilang sangat oke.
Untuk diketahui, ada tiga indeks saham utama yang dicermati pelaku pasar saham dunia jika berbicara mengenai pasar saham AS. Ketiga indeks saham tersebut adalah Dow Jones, S&P 500, dan Nasdaq Composite.
Kini, mari bandingkan kinerja Wall Street di pemerintahan Presiden Barack Obama (periode dua) dengan pemerintahan Presiden Trump. Sebagai catatan, data di periode dua Obama dipilih lantaran di periode pertamanya (2009-2012), pasar keuangan dunia mencoba bangkit pasca dilanda tekanan jual yang begitu dahsyat, seiring dengan kehadiran krisis keuangan global pada tahun 2008.
Jika dihitung semenjak Presiden Obama dilantik (20 Januari 2013) untuk menjalani periode duanya hingga tanggal 18 Desember 2015, indeks Dow Jones, indeks S&P 500, dan indeks Nasdaq Composite menguat masing-masing sebesar 25,49%, 34,96%, dan 57,05%.
Kini, bandingkan dengan kinerja Wall Street di era Presiden Trump. Semenjak Presiden Trump dilantik (20 Januari 2017) hingga tanggal 18 Desember 2019, apresiasi indeks Dow Jones, indeks S&P 500, dan indeks Nasdaq Composite adalah masing-masing sebesar 43,11%, 40,97%, dan 59,34%.
Apresiasi dari tiga indeks saham utama di AS di era Presiden Trump lebih baik ketimbang di era Presiden Obama.
Menariknya, apresiasi tersebut dicapai oleh Trump kala The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS tengah agresif melakukan normalisasi tingkat suku bunga acuan. Seperti yang diketahui, pasca AS dilanda kirisis keuangan pada tahun 2008 silam, The Fed menurunkan tingkat suku bunga acuan hingga ke rentang 0%-0,25% guna menstimulasi laju perekonomian.
Terhitung dalam periode Desember 2008 hingga November 2015, federal funds rate dipatok di rentang 0%-0,25%. Kala tingkat suku bunga acuan dipatok di level yang sangat rendah seperti itu, bank akan terdorong untuk mematok tingkat suku bunga kredit di level yang rendah pula sehingga memacu dunia usaha untuk melakukan ekspansi. Selain itu, masyarakat juga akan terdorong untuk meningkatkan konsumsinya.
Pada akhirnya, roda perekonomian akan berputar dengan kencang dan akan terefleksikan di pasar saham (pasar saham menguat).
Namun, di era pemerintahan Presiden Trump, The Fed justru cukup gencar melakukan normalisasi. Per Desember 2016 atau sebelum Presiden Trump dilantik, federal funds rate dipatok di rentang 0,5%-0,75% oleh The Fed. Di tahun 2017, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,25%-1,5%.
Kemudian di tahun 2018, The Fed menaikkan tingkat suku bunga acuan sebesar 100 bps, membawanya ke rentang 2,25%-2,5%. Beralih ke tahun 2019, The Fed melonggarkan tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps, membawanya ke rentang 1,5%-1,75%.
Walaupun sudah dilonggarkan, tetap saja Presiden Obama menikmati era di mana tingkat suku bunga acuan berada di level yang sangat rendah. Jadi, bisa dikatakan bahwa sebenarnya The Fed berperan besar dalam mendongkrak kinerja Wall Street di periode dua Presiden Obama.
Bisa dikatakan, Presiden Trump merupakan sosok yang jenius. Tahu betul bahwa The Fed sedang tak berada di pihaknya, Presiden Trump meluncurkan kebijakan fiskal dengan agresivitas yang jauh melampaui Presiden Obama.
Di akhir tahun 2017, Presiden Trump resmi memangkas tingkat pajak, baik untuk orang pribadi maupun korporasi. Tingkat pajak korporasi dipangkas dari 35% menjadi 21% dalam undang-undang yang dinamakan 2017 Tax Cuts and Jobs Act (TCJA).
Hasilnya, perusahaan beramai-ramai membagikan bonus bagi karyawannya yang pada akhirnya mendongkrak konsumsi serta mendorong laju perekonomian secara umum. Ingat, lebih dari 50% perekonomian AS dibentuk oleh konsumsi rumah tangga sehingga kebijakan yang berdampak positif bagi konsumsi rumah tangga akan mendorong laju perekonomian secara umum dengan signifikan.
Sementara itu, tingkat pajak perorangan dipangkas sesuai dengan besaran pendapatan mereka setiap tahunnya. Analisis dari Tax Policy Center menunjukkan bahwa secara rata-rata, rumah tangga di AS menghemat sekitar US$ 1.300 dalam pembayaran pajak individu pada tahun 2018 jika dibandingkan dengan yang harus mereka bayarkan di bawah undang-undang sebelumnya (sebelum 2017 TCJA disahkan).
![]() |
Hasil dari suntikan insentif fiskal oleh Presiden Trump begitu terasa. Secara rata-rata pada tahun 2013-2015 (tiga tahun pertama di periode dua pemerintahan Presiden Obama), perekonomian AS tumbuh sebesar 2,43%.
Sementara itu, secara rata-rata pada tahun 2017-2019 (tiga tahun pertama pemerintahan Presiden Trump), perekonomian AS tumbuh sebesar 2,55%. Sebagai catatan, angka pertumbuhan ekonomi yang digunakan untuk periode 2019 menggunakan angka proyeksi dari International Monetary Fund (IMF).
Pada tahun 2018, merespons suntikan insentif fiskal oleh Presiden Trump, perekonomian AS tumbuh sebesar 2,927%, menandai laju pertumbuhan ekonomi tertinggi di dekade ini.
Untuk tahun 2019, IMF memproyeksikan perekonomian AS tumbuh di level 2,35%. Jika berkaca kepada sejarah, pertumbuhan ekonomi di level 2,35% terbilang cukup tinggi bagi AS, apalagi kini perekonomiannya sudah dipengaruhi oleh yang namanya high-base effect lantaran pertumbuhan ekonomi di tahun 2018 nyaris mencapai 3%.
Ingat, laju pertumbuhan ekonomi yang begitu kencang di era Trump dicapainya tanpa ‘bantuan’ dari The Fed.
Lebih lanjut, selain karena laju pertumbuhan ekonomi yang begitu kencang, kinclongnya kinerja Wall Street di era Presiden Trump juga didukung oleh perang dagang yang dimulainya dengan China.
Sekedar mengingatkan, perang dagang AS dengan China pada awalnya dipicu oleh kekesalan Trump terhadap besarnya defisit neraca perdagangan AS dengan China. Kemudian, komplain AS terkait pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam semakin mengeskalasi perang dagang antar keduanya.
Sejauh ini, AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.
Memang, sejauh ini perang dagang dengan China telah secara signifikan menekan perekonomian AS. Kalau tak ada perang dagang dengan China, kemungkinan besar IMF tak akan menaruh proyeksi untuk pertumbuhan ekonomi AS di level 2,35% untuk tahun 2020, namun lebih tinggi lagi.
Namun begitu, pelaku pasar saham AS memandang positif dinamika perang dagang AS dengan China. Pasalnya, sebenarnya bukan hanya AS, tapi negara-negara Uni Eropa yang merupakan sekutu dari AS pun setuju bahwa praktek-praktek ekonomi yang dilakukan oleh China selama ini merugikan mereka.
Tetapi, sejauh ini hanya AS yang berani mengambil langkah tegas terhadap China. Kini, langkah tegas yang sejatinya sempat membuat pelaku pasar saham AS was-was tersebut, mulai terlihat berbuah manis.
Menjelang akhir pekan kemarin, AS dan China mengumumkan bahwa mereka telah berhasil mencapai kesepakatan dagang tahap satu.
Dengan adanya kesepakatan dagang tahap satu tersebut, Presiden AS Donald Trump membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk tambahan terhadap produk impor asal China pada tanggal 15 Desember. Untuk diketahui, nilai produk impor asal China yang akan terdampak oleh kebijakan ini sejatinya mencapai US$ 160 miliar.
Tak sampai di situ, Trump mengatakan bahwa bea masuk sebesar 15% terhadap produk impor asal China senilai US$ 120 miliar nantinya akan dipangkas menjadi 7,5% saja sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu. Di sisi lain, China membatalkan rencana untuk mengenakan bea masuk balasan yang disiapkan guna membalas bea masuk dari AS pada hari Minggu.
Masih sebagai bagian dari kesepakatan dagang tahap satu, China akan meningkatkan pembelian produk agrikultur asal AS secara signifikan. Trump menyebut bahwa China akan segera memulai pembelian produk agrikultur asal AS yang jika ditotal akan mencapai US$ 50 miliar.
Lebih lanjut, kesepakatan dagang tahap satu AS-China juga akan membereskan komplain dari AS terkait pencurian hak kekayaan intelektual dan transfer teknologi secara paksa yang sering dialami oleh perusahaan-perusahaan asal Negeri Paman Sam.
Sebagai catatan, hingga kini teks kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China belum ditandatangani. Menurut Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, kedua negara berencana untuk memformalisasi kesepakatan dagang tahap satu tersebut pada pekan pertama Januari 2020.
Jika kesepakatan dagang tahap satu dengan China benar diteken nantinya, laju perekonomian AS di tahun-tahun mendatang bisa terus dipertahankan di level yang relatif tinggi. Simpelnya, perang dagang dengan China (jika pada akhirnya bisa diselesaikan) dipandang sebagai ‘mengorbankan’ perekonomian dalam jangka pendek untuk mendapatkan keuntungan yang besar di masa depan.
Apapaun alazan yang digunakan oleh Partai Demokrat untuk kini memakzulkan Presiden Trump, harus diakui bahwa dirinya merupakan ‘juru selamat’ bagi pasar saham dunia.
Kalau yang menjadi presiden bukan Trump, mungkin tak ada ceritanya perekonomian AS tumbuh di level yang tinggi seperti saat ini, mengingat kebijakan The Fed dalam beberapa waktu terakhir sedang tidak suportif untuk menggenjot perekonomian.
Mengingat Wall Street merupakan kiblat dari pasar saham dunia, bahkan pasar keuangan dunia, pada akhirnya Trump juga menjadi ‘juru selamat’ bagi pasar saham Indonesia.
Jika dihitung semenjak Presiden Obama dilantik (20 Januari 2013) untuk menjalani periode duanya hingga tanggal 18 Desember 2015, Indeks Harga Saham gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan di Indonesia hanya naik tipis 0,07% atau nyaris tak ada imbal hasilnya.
Kini, bandingkan dengan kinerja IHSG di era Presiden Trump. Semenjak Presiden Trump dilantik (20 Januari 2017) hingga tanggal 18 Desember 2019, apresiasi IHSG mencapai 18,65%.
Sejauh ini, probabilitas bahwa Trump akan benar-benar dicopot dari posisinya terbilang kecil. Pasalnya, AS mengadopsi sistem parlemen dua kamar yang terdiri dari DPR (House of Representatives) dan Senat (Senate).
Segala rancangan undang-undang di AS, jika ingin digolkan menjadi undang-undang, harus mendapatkan persetujuan baik dari DPR maupun Senat. Hal serupa juga berlaku dalam urusan memakzulkan presiden.
Sebagai informasi, Senat AS diisi oleh sebanyak 100 senator. Dari sebanyak 100 senator yang membentuk Senat AS, sebanyak 53 senator berasal dari Partai Republik, sementara 47 berasal dari Partai Demokrat.
Trump sendiri merupakan anggota Partai Republik, sehingga bisa dikatakan bahwa Senat AS dikuasai oleh kubunya.
Berbeda dengan pemungutan suara di DPR AS yang hanya memerlukan suara sebanyak minimum 51% untuk memakzulkan presiden, pemungutan suara di Senat AS mengharuskan suara sebanyak minimum 2/3 (67%) guna memakzulkan presiden.
Berarti, harus ada sebanyak 67 senator yang mendukung pemakzulan Trump untuk benar-benar ‘menendang’ mantan pengusaha kelas kakap tersebut dari posisinya saat ini. Dengan asumsi bahwa seluruh senator yang berasal dari Partai Demokrat mendukung pemakzulan Trump, masih dibutuhkan minimum 20 senator asal Partai Republik yang membelot guna benar-benar melengserkan Trump.
Melansir CNBC International, hingga saat ini belum ada satupun senator asal Partai Republik yang memberikan sinyal bahwa mereka akan mendukung pemakzulan Trump.
Tapi, kalau pun nantinya Trump benar-benar dicopot, bisa dipastikan bahwa suami dari mantan model Melania Trump ini akan sangat dirindukan oleh pelaku pasar saham dunia.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(ank/ank) Next Article Wall Street Diramal Akan Liar Beberapa Hari ke Depan
