Mau Tahu Modus Beli Saham Gorengan di Skandal Jiwasraya?

tahir saleh, CNBC Indonesia
19 December 2019 08:07
Mau Tahu Modus Beli Saham Gorengan di Skandal Jiwasraya?
Foto: Jiwasraya (CNBC Indonesia/Ranny Virginia Utami)

Jakarta, CNBC Indonesia - Skandal Jiwasraya mulai terkuak dan terang benderang! Kejaksaan Agung (Kejagung) bahkan menyebutkan ada dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana investasi PT Asuransi Jiwasraya (Persero). Kejaksaan sudah menerbitkan Surat Perintah Penyidikan (Sprindik) pada 17 Desember 2019.

Jaksa Agung ST Burhanuddin mengatakan penyidikan tersebut dilakukan untuk memperoleh fakta adanya kegiatan investasi di 13 perusahaan yang melanggar tata kelola perusahaan yang baik (GCG), dalam hal ini perusahaan investasi yang mengelola produk JS Saving Plan milik Jiwasraya.

"Potensi kerugian tersebut timbul karena adanya tindakan yang melanggar prinsip tata kelola, yakni terkait pengelolaan dana yang dihimpun dalam program Savings Plan," kata Burhanuddin, dalam konferensi pers di Gedung Kejaksaan, Rabu (18/12/2019).

PAGI-Mau Tahu Modus Beli Saham Gorengan di Skandal Jiwasraya?Foto: Korban Jiwasraya di Kementerian BUMN. (CNBC Indonesia/Choirul Anwar)


Bagaimana sebetulnya 'modus' yang dilakukan manajemen lama Jiwasraya dalam mengutakatik investasi agar bisa memenuhi komitmen returnyang ditawarkan kepada investor?

Berdasarkan Dokumen Penyelamatan Jiwasraya yang diterima CNBC Indonesia, ada empat hal yang disoroti, pertama, terjadi kesalahan dalam pembentukkan harga produk tersebut alias mispricing.

Produk Saving Plan yang ditawarkan melalui bancassurance itu ternyata dijanjikan memiliki guaranted return sebesar 9-13% per tahan selama 2013-2018 dengan periode pencairan setiap tahun.

Return 
yang dihasilkan dari Saving Plan ternyata lebih besar dibandingkan dengan tingkat deposito full year2018 antara 5,2-7% per tahun.

Tingkat imbal hasil ini ini juga lebih besar dari obligasi korporasi dengan rating singleA (idA) hingga tripleA (AAA) antara 8-9,5% per tahun, dan returnJiwasraya juga bahkan lebih tinggi dari kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selama tahun 2018 yakni 2,3%.

"Dengan guaranted return yang ditawarkan dan saat ini lebih tinggi dari pertumbuhan IHSG dan yield obligasi serta dapat dicairkan setiap tahun, Jiwasraya terus terkena risiko pasar," tulis dokumen tersebut, dikutip CNBC Indonesia, Kamis (19/12/2019).

JS Saving Plan adalah produk asuransi jiwa berbalut investasi yang ditawarkan melalui bank (bancassurance). Produk Saving Plan ini mengawinkan produk asuransi dengan investasi seperti halnya unit link. Bedanya, di Saving Plan risiko investasi ditanggung oleh perusahaan asuransi, sementara risiko investasi unit link di tangan pemegang polis.

Sorotan kedua yakni lemahnya prinsip kehati-hatian dalam berinvestasi.

Berdasarkan rincian aset investasi, sebut dokumen itu, Jiwasraya banyak melakukan investasi-investasi pada high risk assetuntuk mengejar high return.

Berikut adalah rincian aset investasi Jiwasraya sepanjang 2018.

- Saham
Porsinya investasi sebesar 22,4% atau sebanyak Rp 7 triliun, dari jumlah aset finansial. Pada investasi ini dialokasikan 5% berisi saham-saham di Indeks LQ45 (45 saham unggulan dan paling likuid di Bursa Efek Indonesia), sementara sisanya di luar LQ45.

- Reksa dana
Porsi alokasi reksa dana ditetapkan sebesar 59,1%, cukup dominan, atau senilai Rp 14,9 triliun dari jumlah aset finansial. Dari jumlah ini, hanya 2% yang dikelola oleh top tier perusahaan manajer investasi (MI), sementara sisanya di luar perusahaan MI lainnya.

- Perusahaan tidak menerapkan portofolio manajemen.
Tidal adanya portofolio guidelineyang mengatur alokasi investasi maksimum pada high risk assetsehingga dengan kondisi pasar saat ini, mayoritas aset investasi tidak dapat diperjualbelikan alias tidak likuid.

PAGI-Mau Tahu Modus Beli Saham Gorengan di Skandal Jiwasraya?Foto: RDP Jiwasraya dan Komisi VI Terbuka dan Terutup./Sandi Ferry



Sebagai informasi, total polis jatuh tempo atas produk JS Saving Plan pada Oktober-Desember 2019 ialah sebesar Rp 12,4 triliun. Manajemen baru Jiwasraya menegaskan tidak akan sanggup membayar polis nasabah yang mencapai triliunan itu karena adanya kesulitan keuangan ini disebabkan kesalahan investasi yang dilakukan oleh manajemen lama Jiwasraya.

Sorotan ketiga dalam dokumen tersebut adalah rekayasa harga saham (window dressing).

Menurut Investoword, window dresssing biasanya diasosiasikan dengan manuver yang seringkali dilakukan oleh perusahaan terbuka (emiten), bank, pengelola reksa dana, serta perusahaan finansial lainnya untuk memoles portofolio mereka. Misalnya,beberapa pengelola reksa dana, saham yang melemah dijual dan saham yang sedang menguat dibeli, untuk mengesankan mereka telah memegang saham yang berkinerja baik.

Window dressing juga bisa diartikan sebagai upaya mempercantik laporan keuangan, dengan trik akuntansi untuk membuat neraca perusahaan dan laporan laba rugi tampak lebih baik dari sebenarnya.

Dalam dokumen Jiwasraya itu, rekayasa harga saham dilakukan yakni, misalnya, jual-beli saham dengan dressing reksa dana.

Foto: Korban Jiwasraya di Kementerian BUMN. (CNBC Indonesia/Choirul Anwar)


Modusnya dilakukan dengan cara saham yang overprice (kemahalan), dibeli oleh Jiwasraya, kemudian dijual pada harga negosiasi (di atas harga perolehan) kepada perusahaan manajer investasi (MI) untuk kemudian dibeli kembali oleh Jiwasraya.

"Hal ini dibuktikan dengan aset investasi Jiwasraya yang dominan pada saham dan reksa dana saham yang underlying asset-nya sama dengan portofolio saham langsung," tulis dokumen tersebut.

Adapun sorotan keempat ialah tekanan likuiditas dari produk Saving Plan. Tekanan ini terjadi arena penurunan kepercayaan nasabah terhadap produk Saving Plan menyebabkan penurunan penjualan produk ini.

Selain itu, tidak ada backup asset yang cukup untuk memenuhi kewajiban, dan tekanan ini membuat terjadi gagal bayar polis JS Saving Plan senilai Rop 12,4 triliun saat ini.

"Disebabkan oleh penurunan kepercayaan nasabah, lapse rate [klaim] secara signifikan meningkat ke 51% dan terus meningkat hingga 85%. Hal tersebut menyebabkan tekanan likuiditas pada Jiwasraya."

Kondisi ini, sebut dokumen itu, menyebabkan terjadinya dua hal di Jiwasraya.

Pertama, tekanan likuiditas karena mayoritas aset investasi yang dimiliki perseroan saat ini tidak memiliki nilai dan likuiditas. "Menurunnya pendapatan premi, menurunnya pendapatan investasi, dan meningkatnya nilai klaim dan manfaat," tulis dokumen itu.


Kondisi kedua, melemahnya solvabilitas atau kemampuan melunasi kewajiban, di mana nilai aset tidak sesuai dengan nilai pasar (harus dilakukan impairment asset). Impairment adalah penurunan nilai aset karena nilai tercatat aset (carrying amount) melebihi nilai yang akan dipulihkan.

Adapun terjadi ekuitas negatif sebesar Rp 20,2 triliun dan rasio kecukupan modal atau risk based capital (RBC) Jiwasraya minus hingga 664,4% per Juni 2019. "Tambahan admitted assetuntuk mencapai rasio RBC minimal," tulis dokumen itu.

Sebelumnya, Direktur Utama Jiwasraya yang baru, Hexana Tri Sasongko mengungkapkan merahnya wajah laporan keuangan perusahaan karena gagal mengelola aset yang dimiliki, di antaranya dalam memilih instrumen investasi khususnya saham.

"Seharusnya maksimal mengalokasikan untuk saham sebesar 20%, itu pun [harus saham] blue chips [saham unggulan], government bond [surat utang negara], instrumen BI minimal 30%," kata Hexana, dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi VI DPR RI, Senin (16/12/2019).

Alhasil dengan kondisi ini, RBC (risk based capital, rasio kecukupan modal) minus 805%. Padahal, aturan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) menetapkan bahwa modal minimum yang harus dipenuhi oleh perusahaan asuransi baik umum atau jiwa adalah 120%. RBC adalah salah satu metode pengukuran batas tingkat solvabilitas perusahaan asuransi.

"Untuk menuju 120% dalam hal ini menyelamatkan perusahaan dibutuhkan dana Rp 32,89 triliun," kata Hexana.


Ini skenario penyelamatan Jiwasraya

[Gambas:Video CNBC]

Pages

Tags


Related Articles
Recommendation
Most Popular