Nilai tukar rupiah menguat melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (18/12/2019). Mengulangi pergerakan Selasa kemarin, penguatan rupiah baru terjadi di menit-menit akhir perdagangan.
mata uang terbaik di Asia, hari ini rupiah adalah rajanya.
Pergerakan rupiah hingga menjadi raja Asia tidak mulus. Rupiah langsung melemah 0,04% begitu perdagangan hari ini dibuka.
, melansir data Refinitiv. Level tersebut sekaligus menjadi yang terlemah, setelahnya Mata Uang Garuda terus bergerak dekat level psikologis Rp 14.000/US$, tetapi tetap di zona merah.
Rupiah baru bisa masuk ke zona hijau 30 menit sebelum perdagangan dalam negeri berakhir. Penguatan terakselerasi di menit-menit akhir menuju pukul 16:00 WIB, hingga akhirnya rupiah mampu mencatat penguatan 0,11% ke Rp 13.970/US$ yang menghantarkannya menjadi raja Asia.
Performa rupiah semakin impresif melihat mayoritas mata uang utama Asia yang melemah melawan dolar AS. Hingga pukul 16:50 WIB, won Korea Selatan menjadi mata uang terburuk setelah melemah 0,28%.
Berikut Pergerakan dolar AS melawan mata uang utama Benua Kuning hari ini.
Berada di dekat level psikologis Rp 14.000/dolar AS, rupiah perlu momentum yang besar untuk menguat lebih jauh. Apalagi jika melihat posisi saat ini, secara
year-to-date atau sepanjang tahun ini rupiah masih mencatat penguatan 2,71% melawan dolar AS.
Performa yang cukup apik jika melihat kondisi ekonomi global yang dipenuhi ketidakpastian akibat perang dagang AS dengan China, pelambatan ekonomi global, serta ancaman resesi di berbagai negara.
Perang dagang AS-China memang memasuki babak baru dengan kesepakatan dagang fase I pada Jumat (13/12/2019) lalu. Di awal pekan ini, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, dan Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence Kudlow kompak menyatakan jika kesepakatan fase I sudah sepenuhnya selesai, sebagaimana diwartakan
Reuters.
Lighthizer dalam acara
Face the Nation yang ditayangkan di
CBS mengungkapkan bahwa naskah kesepakatan damai dagang AS-China tinggal menunggu pemeriksaan yang sifatnya rutin saja. Tidak ada perubahan yang mendasar karena semua sudah disepakati.
Sementara Kudlow berharap Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping dari China akan menandatangani perjanjian tersebut pada awal Januari. Selepas itu, AS-China akan memulai negosiasi damai dagang fase II.
Meski demikian, kabar bagus tersebut belum memberikan momentum penguatan yang cukup bagi rupiah untuk menguat.
Dalam kesepakatan dagang fase I, tambahan bea masuk produk China--yang semula bakal berlaku pada 15 Desember--dibatalkan, dan AS juga menurunkan sebagian bea masuk importasi produk senilai US$ 120 miliar dari sebelumnya 15% menjadi 7,5%.
Sebagai gantinya, China dikatakan berkomitmen untuk membeli barang dan jasa AS senilai US$ 200 miliar dalam kurun waktu dua tahun ke depan. Negeri Tiongkok juga akan membeli produk pertanian AS senilai US$ 32 miliar. Selain itu, China juga akan melakukan pembelian produk pertanian senilai US$ 5 miliar di luar angka-angka tersebut.
Patut diingat, AS masih menerapkan bea masuk yang tinggi, yakni 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, begitu juga dengan China yang belum mencabut atau mengurangi bea masuk importasi produk dari AS. Sehingga pada dasarnya perang dagang masih berlangsung, hanya tidak tereskalasi lagi.
Karenanya, kabar bagus kesepakatan dagang fase I AS China belum memberikan momentum penguatan yang besar bagi rupiah, tetapi cukup membuat rupiah menguat hari ini.
Selain itu, rupiah juga cukup terbebani dengan dinamika yang terjadi di Inggris, yang membuatnya menghabiskan mayoritas perdagangan hari ini di zona merah.
Setelah Partai Konservatif pimpinan Perdana Menteri (PM) Boris Johnson memenangi Pemilihan Umum (Pemilu) dan meraih suara mayoritas di parlemen, kini Johnson dikabarkan akan merevisi undang-undang keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Withdrawal Agreement Bill).
CNBC International mengutip media local mewartakan PM Johnson akan merevisi undang-undang tersebut yang menghalangi diperpanjangnya masa transisi keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Dengan singkatnya masa transisi, tentunya pembahasan perjanjian dagang harus dipercepat PM Johnson dikatakan akan melakukan pendekatan yang lebih keras di masa transisi tersebut. Hal ini memicu kekhawatiran tidak akan ada kesepakatan dagang antara Inggris dan Uni Eropa alias
hard Brexit.
Kekhawatiran akan terjadinya
hard Brexit yang diprediksi dapat mengancam perekonomian Inggris membuat sentiment pelaku pasar sedikit memburuk.
Sementara itu dari dalam negeri, Sementara itu dari dalam negeri, Bank Indonesia (BI) akan mengumumkan kebijakan moneter pada Kamis (19/12/2019) besok, tentunya hal tersebut membuat pelaku pasar melakukan aksi
wait and see yang membatasi pergerakan rupiah.
Suku bunga acuan akan diumumkan esok hari, di mana konsensus yang dihimpun
CNBC Indonesia memperkirakan BI 7 Day Reverse Repo Rate bertahan di 5%. Putera Satria Sambijantoro, Ekonom Bahana Sekuritas, mengatakan memang ada godaan bagi BI untuk menurunkan suku bunga acuan. Misalnya, inflasi domestik yang relatif rendah.
"Bagi BI, godaan untuk menurunkan suku bunga acuan juga bisa datang dari keinginan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi. Apalagi ada perkembangan positif, di mana terjadi deeskalasi perang dagang AS-China," sebut Satria dalam risetnya.
Bahana Sekuritas memperkirakan BI akan menunggu sampai dampak dari penurunan suku bunga acuan dan Giro Wajib Minimum (GWM) benar-benar terasa di perekonomian sebelum kembali mengeksekusi penurunan suku bunga acuan tahun depan.
Sementara itu, Dody Budi Waluyo, Deputi Gubernur BI, menilai posisi (
stance) kebijakan bank sentral sudah bergeser. Sejak tahun lalu sampai semester I-2019, kebijakan moneter memang cenderung ketat.
"Namun mulai semester II-2019 sudah menuju ke akomodatif. Ini yang membuat stimulus BI sudah full, tinggal harapannya disambut oleh sektor riil dan perbankan," kata Dody kala berbincang dengan awak Detik Network di Gedung Transmedia, Jakarta, belum lama ini.
Apakah dengan begitu masih ada ruang untuk pelonggaran lebih lanjut? "Masih ada
room," ungkap Dody.
Namun, eksekusi pelonggaran moneter akan sangat tergantung kepada data (
data dependent). Menurut Dody, BI sudah beralih dari
forward guidance ke
data dependent dalam sekitar dua bulan terakhir, mengingat perkembangan perekonomian global dan domestik yang begitu dinamis.
"
Room ada tetapi
data dependent. Sejak dua RDG (Rapat Dewan Gubernur) terakhir, tergantung perkembangan," sebutnya.
TIM RISET CNBC INDONESIA