
Garang Lagi di Menit-Menit Terakhir, Rupiah Juara Asia!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
18 December 2019 17:55

Berada di dekat level psikologis Rp 14.000/dolar AS, rupiah perlu momentum yang besar untuk menguat lebih jauh. Apalagi jika melihat posisi saat ini, secara year-to-date atau sepanjang tahun ini rupiah masih mencatat penguatan 2,71% melawan dolar AS.
Performa yang cukup apik jika melihat kondisi ekonomi global yang dipenuhi ketidakpastian akibat perang dagang AS dengan China, pelambatan ekonomi global, serta ancaman resesi di berbagai negara.
Perang dagang AS-China memang memasuki babak baru dengan kesepakatan dagang fase I pada Jumat (13/12/2019) lalu. Di awal pekan ini, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, dan Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence Kudlow kompak menyatakan jika kesepakatan fase I sudah sepenuhnya selesai, sebagaimana diwartakan Reuters.
Lighthizer dalam acara Face the Nation yang ditayangkan di CBS mengungkapkan bahwa naskah kesepakatan damai dagang AS-China tinggal menunggu pemeriksaan yang sifatnya rutin saja. Tidak ada perubahan yang mendasar karena semua sudah disepakati.
Sementara Kudlow berharap Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping dari China akan menandatangani perjanjian tersebut pada awal Januari. Selepas itu, AS-China akan memulai negosiasi damai dagang fase II.
Meski demikian, kabar bagus tersebut belum memberikan momentum penguatan yang cukup bagi rupiah untuk menguat.
Dalam kesepakatan dagang fase I, tambahan bea masuk produk China--yang semula bakal berlaku pada 15 Desember--dibatalkan, dan AS juga menurunkan sebagian bea masuk importasi produk senilai US$ 120 miliar dari sebelumnya 15% menjadi 7,5%.
Sebagai gantinya, China dikatakan berkomitmen untuk membeli barang dan jasa AS senilai US$ 200 miliar dalam kurun waktu dua tahun ke depan. Negeri Tiongkok juga akan membeli produk pertanian AS senilai US$ 32 miliar. Selain itu, China juga akan melakukan pembelian produk pertanian senilai US$ 5 miliar di luar angka-angka tersebut.
Patut diingat, AS masih menerapkan bea masuk yang tinggi, yakni 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, begitu juga dengan China yang belum mencabut atau mengurangi bea masuk importasi produk dari AS. Sehingga pada dasarnya perang dagang masih berlangsung, hanya tidak tereskalasi lagi.
Karenanya, kabar bagus kesepakatan dagang fase I AS China belum memberikan momentum penguatan yang besar bagi rupiah, tetapi cukup membuat rupiah menguat hari ini.
Selain itu, rupiah juga cukup terbebani dengan dinamika yang terjadi di Inggris, yang membuatnya menghabiskan mayoritas perdagangan hari ini di zona merah.
Setelah Partai Konservatif pimpinan Perdana Menteri (PM) Boris Johnson memenangi Pemilihan Umum (Pemilu) dan meraih suara mayoritas di parlemen, kini Johnson dikabarkan akan merevisi undang-undang keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Withdrawal Agreement Bill).
CNBC International mengutip media local mewartakan PM Johnson akan merevisi undang-undang tersebut yang menghalangi diperpanjangnya masa transisi keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Dengan singkatnya masa transisi, tentunya pembahasan perjanjian dagang harus dipercepat PM Johnson dikatakan akan melakukan pendekatan yang lebih keras di masa transisi tersebut. Hal ini memicu kekhawatiran tidak akan ada kesepakatan dagang antara Inggris dan Uni Eropa alias hard Brexit.
Kekhawatiran akan terjadinya hard Brexit yang diprediksi dapat mengancam perekonomian Inggris membuat sentiment pelaku pasar sedikit memburuk.
(pap/pap)
Performa yang cukup apik jika melihat kondisi ekonomi global yang dipenuhi ketidakpastian akibat perang dagang AS dengan China, pelambatan ekonomi global, serta ancaman resesi di berbagai negara.
Perang dagang AS-China memang memasuki babak baru dengan kesepakatan dagang fase I pada Jumat (13/12/2019) lalu. Di awal pekan ini, Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, dan Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence Kudlow kompak menyatakan jika kesepakatan fase I sudah sepenuhnya selesai, sebagaimana diwartakan Reuters.
Sementara Kudlow berharap Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping dari China akan menandatangani perjanjian tersebut pada awal Januari. Selepas itu, AS-China akan memulai negosiasi damai dagang fase II.
Meski demikian, kabar bagus tersebut belum memberikan momentum penguatan yang cukup bagi rupiah untuk menguat.
Dalam kesepakatan dagang fase I, tambahan bea masuk produk China--yang semula bakal berlaku pada 15 Desember--dibatalkan, dan AS juga menurunkan sebagian bea masuk importasi produk senilai US$ 120 miliar dari sebelumnya 15% menjadi 7,5%.
Sebagai gantinya, China dikatakan berkomitmen untuk membeli barang dan jasa AS senilai US$ 200 miliar dalam kurun waktu dua tahun ke depan. Negeri Tiongkok juga akan membeli produk pertanian AS senilai US$ 32 miliar. Selain itu, China juga akan melakukan pembelian produk pertanian senilai US$ 5 miliar di luar angka-angka tersebut.
Patut diingat, AS masih menerapkan bea masuk yang tinggi, yakni 25% terhadap produk China senilai US$ 250 miliar, begitu juga dengan China yang belum mencabut atau mengurangi bea masuk importasi produk dari AS. Sehingga pada dasarnya perang dagang masih berlangsung, hanya tidak tereskalasi lagi.
Karenanya, kabar bagus kesepakatan dagang fase I AS China belum memberikan momentum penguatan yang besar bagi rupiah, tetapi cukup membuat rupiah menguat hari ini.
Selain itu, rupiah juga cukup terbebani dengan dinamika yang terjadi di Inggris, yang membuatnya menghabiskan mayoritas perdagangan hari ini di zona merah.
Setelah Partai Konservatif pimpinan Perdana Menteri (PM) Boris Johnson memenangi Pemilihan Umum (Pemilu) dan meraih suara mayoritas di parlemen, kini Johnson dikabarkan akan merevisi undang-undang keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Withdrawal Agreement Bill).
CNBC International mengutip media local mewartakan PM Johnson akan merevisi undang-undang tersebut yang menghalangi diperpanjangnya masa transisi keluarnya Inggris dari Uni Eropa (Brexit).
Dengan singkatnya masa transisi, tentunya pembahasan perjanjian dagang harus dipercepat PM Johnson dikatakan akan melakukan pendekatan yang lebih keras di masa transisi tersebut. Hal ini memicu kekhawatiran tidak akan ada kesepakatan dagang antara Inggris dan Uni Eropa alias hard Brexit.
Kekhawatiran akan terjadinya hard Brexit yang diprediksi dapat mengancam perekonomian Inggris membuat sentiment pelaku pasar sedikit memburuk.
(pap/pap)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular