
Analisis
Rupiah Masih Betah Naik Turun di Kisaran Rp 14.000/US$
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
17 December 2019 13:13

Jakarta, CNBC Indonesia Nilai tukar rupiah kembali melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Selasa (17/12/2019), melanjutkan kinerja negatif Senin kemarin.
Rupiah sebenarnya cukup bagus mengawali perdagangan hari ini, menguat 0,07% ke Rp 13.990/US$. Tetapi sayangnya penguatan tersebut hanya sesaat, rupiah berbalik melemah hingga 0,1% ke Rp 14.014/US$.
Pelemahan rupiah terjadi saat Amerika Serikat (AS) dan China sudah mencapai kesepakatan dagang fase I.
Pada Jumat (13/13/209), setelah perdagangan dalam negeri ditutup, AS dan China mengumumkan mencapai kesepakatan dagang fase I. Presiden AS, Donald Trump juga mengumumkan kesepakatan tersebut melalui akun Twitternya.
"Kami telah menyetujui kesepakatan fase I yang begitu besar dengan China. Mereka sepakat untuk melakukan berbagai perubahan struktural dan pembelian besar-besaran terhadap produk pertanian, energi, dan manufaktur AS. Bea masuk dengan tarif 25% tetap tidak berubah, tetapi sisanya (turun) menjadi 7,5%.
Presiden AS ke-45 ini juga mengatakan bea masuk importasi produk dari China yang seharusnya berlaku pada 15 Desember resmi dibatalkan.
"Rencana pengenaan bea masuk baru pada 15 Desember tidak akan terjadi karena pada kenyataannya kami sudah membuat kesepakatan. Kami akan memulai negosiasi untuk fase II sesegera mungkin, tidak menunggu setelah Pemilu 2020. Ini adalah kesepakatan yang luar biasa bagi kita semua. Terima kasih!" cuit Trump dalam utas (thread) di Twitter.
Kabar terbaru yang diwartakan Reuters, Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, dan Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence Kudlow kompak menyatakan jika kesepakatan fase I sudah sepenuhnya selesai.
Lighthizer dalam acara Face the Nation yang ditayangkan di CBS mengungkapkan bahwa naskah kesepakatan damai dagang AS-China tinggal menunggu pemeriksaan yang sifatnya rutin saja. Tidak ada perubahan yang mendasar karena semua sudah disepakati.
Sementara Kudlow berharap Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping dari China akan menandatangani perjanjian tersebut pada awal Januari. Selepas itu, AS-China akan memulai negosiasi damai dagang fase II.
Pelaku pasar yang sebelumnya sempat ragu kesepakatan fase I akan segera ditandatangani kini menjadi semakin yakin.
Kabar tersebut seharusnya bisa menjadi sentimen positif bagi rupiah, tetapi nyatanya sejak awal pekan rupiah malah tertekan.
Jika kesepakatan dagang AS-China sudah ditandatangani, artinya perang dagang hampir berakhir, atau setidaknya tidak ada lagi eskalasi perang dagang. Perekonomian AS bisa semakin terakselerasi, dan dolar bisa jadi perkasa.
Di sisi lain, rupiah sudah mencapai Rp 14.000/US$ yang merupakan level psikologis. Tentunya perlu momentum besar untuk bisa menguat menjauhi level tersebut. Sayangnya data terbaru dari dalam negeri tidak mampu memberikan momentum tersebut.
Senin kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca dagang RI mengalami defisit di bulan November. Ekspor dilaporkan mengalami penurunan 5,67% year-on-year (YoY) menjadi US$ 14,01 miliar. Sedangkan untuk impor mencapai US$ 15,34 miliar atau turun 9,24% YoY. Dampaknya, neraca dagang November menjadi defisit US$ 1,33 miliar, padahal di bulan Oktober mencatat surplus US$ 170 juta.
Defisit tersebut lebih besar dari konsensus pasar yang dikumpulkan CNBC Indonesia. Berdasarkan konsensus tersebut, ekspor diprediksi terkontraksi atau tumbuh negatif 2,05% YoY. Kemudian impor juga mengalami kontraksi 13,41% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 132 juta.
Rupiah sebenarnya cukup bagus mengawali perdagangan hari ini, menguat 0,07% ke Rp 13.990/US$. Tetapi sayangnya penguatan tersebut hanya sesaat, rupiah berbalik melemah hingga 0,1% ke Rp 14.014/US$.
Pelemahan rupiah terjadi saat Amerika Serikat (AS) dan China sudah mencapai kesepakatan dagang fase I.
"Kami telah menyetujui kesepakatan fase I yang begitu besar dengan China. Mereka sepakat untuk melakukan berbagai perubahan struktural dan pembelian besar-besaran terhadap produk pertanian, energi, dan manufaktur AS. Bea masuk dengan tarif 25% tetap tidak berubah, tetapi sisanya (turun) menjadi 7,5%.
Presiden AS ke-45 ini juga mengatakan bea masuk importasi produk dari China yang seharusnya berlaku pada 15 Desember resmi dibatalkan.
"Rencana pengenaan bea masuk baru pada 15 Desember tidak akan terjadi karena pada kenyataannya kami sudah membuat kesepakatan. Kami akan memulai negosiasi untuk fase II sesegera mungkin, tidak menunggu setelah Pemilu 2020. Ini adalah kesepakatan yang luar biasa bagi kita semua. Terima kasih!" cuit Trump dalam utas (thread) di Twitter.
Kabar terbaru yang diwartakan Reuters, Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer, dan Penasihat Ekonomi Gedung Putih Lawrence Kudlow kompak menyatakan jika kesepakatan fase I sudah sepenuhnya selesai.
Lighthizer dalam acara Face the Nation yang ditayangkan di CBS mengungkapkan bahwa naskah kesepakatan damai dagang AS-China tinggal menunggu pemeriksaan yang sifatnya rutin saja. Tidak ada perubahan yang mendasar karena semua sudah disepakati.
Sementara Kudlow berharap Presiden Trump dan Presiden Xi Jinping dari China akan menandatangani perjanjian tersebut pada awal Januari. Selepas itu, AS-China akan memulai negosiasi damai dagang fase II.
Pelaku pasar yang sebelumnya sempat ragu kesepakatan fase I akan segera ditandatangani kini menjadi semakin yakin.
Kabar tersebut seharusnya bisa menjadi sentimen positif bagi rupiah, tetapi nyatanya sejak awal pekan rupiah malah tertekan.
Jika kesepakatan dagang AS-China sudah ditandatangani, artinya perang dagang hampir berakhir, atau setidaknya tidak ada lagi eskalasi perang dagang. Perekonomian AS bisa semakin terakselerasi, dan dolar bisa jadi perkasa.
Di sisi lain, rupiah sudah mencapai Rp 14.000/US$ yang merupakan level psikologis. Tentunya perlu momentum besar untuk bisa menguat menjauhi level tersebut. Sayangnya data terbaru dari dalam negeri tidak mampu memberikan momentum tersebut.
Senin kemarin, Badan Pusat Statistik (BPS) melaporkan neraca dagang RI mengalami defisit di bulan November. Ekspor dilaporkan mengalami penurunan 5,67% year-on-year (YoY) menjadi US$ 14,01 miliar. Sedangkan untuk impor mencapai US$ 15,34 miliar atau turun 9,24% YoY. Dampaknya, neraca dagang November menjadi defisit US$ 1,33 miliar, padahal di bulan Oktober mencatat surplus US$ 170 juta.
Defisit tersebut lebih besar dari konsensus pasar yang dikumpulkan CNBC Indonesia. Berdasarkan konsensus tersebut, ekspor diprediksi terkontraksi atau tumbuh negatif 2,05% YoY. Kemudian impor juga mengalami kontraksi 13,41% YoY, dan neraca perdagangan defisit US$ 132 juta.
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular