
Internasional
Ramai Negara 'Buang' Dolar, Ini Pembelaan AS
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
16 December 2019 14:51

Jakarta, CNBC Indonesia - Aksi 'buang dolar' atau dedolarisasi ramai diberitakan dilakukan sejumlah negara. Salah satu alasannya karena pemerintahan Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump sengaja menggunakan dolar untuk menekan negara lain, termasuk pemberian sanksi.
Tuduhan itu tentu membuat AS naik pitam. Bahkan hal ini langsung dibantah Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin.
"Biar saya perjelas, kami tidak menggunakan dolar AS sebagai senjata," kata Mnuchin kepada Hadley Gamble dari CNBC International di Forum Doha di Qatar, akhir pekan lalu.
"Jika ada, saya justru ingin mengatakan sebaliknya. Saya menjamin, orang menggunakan dolar (karena) sebagai mata uang cadangan dunia dan (karena) dolar cukup kuat. Bahkan, kadang-kadang presiden (Trump) mengatakan dolar terlalu kuat."
Ia pun menambahkan, ada beberapa alasan mengapa dolar AS sangat kuat. Antara lain karena ekonomi AS yang baik dan keamanannya yang terjamin.
"Jadi karena ini (keamanan dolar yang terjamin), (sementara soal sanksi) kami menerapkan sanksi dengan tanggung jawab yang sangat serius," tegasnya lagi.
Sebelumnya, China dan Eropa telah secara aktif mempromosikan mata uang mereka sebagai pengganti dolar sebagai cadangan devisa dan untuk digunakan dalam bertransaksi. Apalagi saat sanksi AS semakin meluas dan kebijakan perdagangan proteksionis seperti tarif impor oleh Gedung Putih terus meningkat.
Seperti diketahui, pemerintahan Trump telah memberlakukan sanksi besar pada berbagai negara termasuk Iran dan Korea Utara. Sanksi dijatuhkan karena AS menganggap negara-negara ini menjalankan sesuatu yang dianggap AS tidak sesuai jalurnya dan bertentangan dengan kepentingannya.
Sanksi yang dijatuhkan AS ke Iran telah membuat sekutunya, Eropa dan negara lainnya kesulitan berdagang dengan Iran. Ini dikarenakan AS juga mengancam akan menjatuhkan sanksi pada negara yang melakukan transaksi dengan Iran. Oleh karenanya, negara-negara ini mencari alternatif mata uang lainnya seperti euro untuk digunakan berdagang dengan negara-negara yang terkena sanksi.
Ini dilakukan agar mereka memiliki kebebasan perdagangan dan tidak terkena pembatasan yang diberlakukan AS. Menurut laporan, pada awal tahun ini, Prancis, Jerman, dan Inggris juga menyiapkan Instrumen untuk Mendukung Transaksi Perdagangan (INSTEX).
Instrumen ini menggunakan euro sebagai alat transaksi dengan tujuan untuk mengurangi sanksi AS terhadap Iran. Meskipun tidak terbukti efektif secara ekonomi, hal itu menandakan sekutu AS mulai banyak mencari alternatif pengganti dolar untuk menentang kebijakan AS.
Bank sentral Rusia juga telah berusaha mengurangi jumlah transaksi yang dilakukannya dalam dolar AS. Baik untuk pembayaran domestik atau perdagangan luar negeri, sejak 2013.
Lebih lanjut, pada 2016, renminbi China ditambahkan ke daftar mata uang Hak Penarikan Khusus (Special Drawing Rights) Dana Moneter Internasional (IMF) bersama dengan dolar, euro, yen, dan pound Inggris. Langkah ini disebut IMF akan mampu meningkatkan daya tarik renminbi sebagai aset cadangan internasional.
(sef/sef) Next Article Mengapa 'Buang Dolar' Kini Dilakukan China?
Tuduhan itu tentu membuat AS naik pitam. Bahkan hal ini langsung dibantah Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin.
"Biar saya perjelas, kami tidak menggunakan dolar AS sebagai senjata," kata Mnuchin kepada Hadley Gamble dari CNBC International di Forum Doha di Qatar, akhir pekan lalu.
Ia pun menambahkan, ada beberapa alasan mengapa dolar AS sangat kuat. Antara lain karena ekonomi AS yang baik dan keamanannya yang terjamin.
"Jadi karena ini (keamanan dolar yang terjamin), (sementara soal sanksi) kami menerapkan sanksi dengan tanggung jawab yang sangat serius," tegasnya lagi.
Sebelumnya, China dan Eropa telah secara aktif mempromosikan mata uang mereka sebagai pengganti dolar sebagai cadangan devisa dan untuk digunakan dalam bertransaksi. Apalagi saat sanksi AS semakin meluas dan kebijakan perdagangan proteksionis seperti tarif impor oleh Gedung Putih terus meningkat.
Seperti diketahui, pemerintahan Trump telah memberlakukan sanksi besar pada berbagai negara termasuk Iran dan Korea Utara. Sanksi dijatuhkan karena AS menganggap negara-negara ini menjalankan sesuatu yang dianggap AS tidak sesuai jalurnya dan bertentangan dengan kepentingannya.
Sanksi yang dijatuhkan AS ke Iran telah membuat sekutunya, Eropa dan negara lainnya kesulitan berdagang dengan Iran. Ini dikarenakan AS juga mengancam akan menjatuhkan sanksi pada negara yang melakukan transaksi dengan Iran. Oleh karenanya, negara-negara ini mencari alternatif mata uang lainnya seperti euro untuk digunakan berdagang dengan negara-negara yang terkena sanksi.
Ini dilakukan agar mereka memiliki kebebasan perdagangan dan tidak terkena pembatasan yang diberlakukan AS. Menurut laporan, pada awal tahun ini, Prancis, Jerman, dan Inggris juga menyiapkan Instrumen untuk Mendukung Transaksi Perdagangan (INSTEX).
Instrumen ini menggunakan euro sebagai alat transaksi dengan tujuan untuk mengurangi sanksi AS terhadap Iran. Meskipun tidak terbukti efektif secara ekonomi, hal itu menandakan sekutu AS mulai banyak mencari alternatif pengganti dolar untuk menentang kebijakan AS.
Bank sentral Rusia juga telah berusaha mengurangi jumlah transaksi yang dilakukannya dalam dolar AS. Baik untuk pembayaran domestik atau perdagangan luar negeri, sejak 2013.
Lebih lanjut, pada 2016, renminbi China ditambahkan ke daftar mata uang Hak Penarikan Khusus (Special Drawing Rights) Dana Moneter Internasional (IMF) bersama dengan dolar, euro, yen, dan pound Inggris. Langkah ini disebut IMF akan mampu meningkatkan daya tarik renminbi sebagai aset cadangan internasional.
(sef/sef) Next Article Mengapa 'Buang Dolar' Kini Dilakukan China?
Most Popular