
Internasional
Ending Perang Dagang Buram, Tepatkah 'Buang Dolar' Dilakukan?
Rehia Sebayang, CNBC Indonesia
20 November 2019 16:12

Jakarta, CNBC Indonesia - Di tengah perang dagang yang sedang berlangsung antara China dengan Amerika Serikat (AS), negeri tirai bambu ini santer dikabarkan melakukan "buang dolar" alias de-dolarisasi.
Apalagi untuk menghindari risiko "decoupling" alias pergerakan yang tidak wajar, Beijing diam-diam mendiversifikasi cadangan devisa (cadev) untuk mengurangi ketergantungan pada greenback.
Oleh karena itu, Beijing akan mengelola resikonya dengan mendiversifikasi cadev ke dalam mata uang lain termasuk membangun "cadangan bayangannya".
Meski porsi dolar AS dalam cadev China diperkirakan sekitar 59% pada Juni 2019, banyak yang meyakini terdapat pula mata uang lain seperti pound Inggris, yen Jepang, dan euro dalam cadangan tersebut.
Namun, menurut sebuah laporan yang dimuat di Global Times, upaya "buang dolar" ini disebut hanya akan menyebabkan meningkatnya risiko dalam perang dagang dan menyebabkan mata uang global semakin bergejolak.
"Secara teoritis, diversifikasi cadangan devisa membantu mengurangi risiko nilai tukar. Namun, komposisi cadangan devisa China lebih tersebar dibandingkan dengan tingkat rata-rata global, dengan proporsi aset berbasis dolar AS di bawah rata-rata internasional sebesar 65%, yang sebenarnya tidak kondusif bagi stabilitas nilai tukar yuan terhadap dolar," kata laporan itu.
"Meskipun de-dolarisasi dapat mengurangi ketergantungan yuan pada dolar, tidak ada mata uang lain yang dapat menggantikan nilai dolar."
Dolar AS telah menjadi mata uang cadangan utama dunia selama beberapa dekade. Menurut lembaga Dana Moneter Internasional (IMF), dolar AS saat ini mencakup 58% dari total mata uang cadangan devisa di dunia dan sekitar 40% dari utang dunia dalam mata uang dolar.
IMF menyebut, total cadangan devisa dunia pada kuartal II-2019 adalah setara dengan US$ 11,73 triliun. Dari jumlah tersebut, US$ 6,79 triliun (57,88%) adalah dolar AS.
Selain itu, dolar dipandang sebagai salah satu aset investasi teraman di dunia (safe haven) dan nilainya cenderung menguat selama masa-masa gejolak ekonomi atau politik.
Mengingat posisi AS yang merupakan ekonomi terbesar di dunia, pengaruh dolar AS terhadap negara lain tentunya tidaklah kecil.
Apalagi, negeri Paman Sam juga merupakan negara konsumen terbesar di planet ini. Yang berarti banyak melakukan transaksi jual beli dengan negara lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Bank Dunia mencatat konsumsi AS pada 2017 mencapai US$ 13,32 triliun. Bahkan Uni Eropa yang merupakan gabungan lebih dari 20 negara saja masih kalah.
Karenanya wajar jika dolar AS adalah mata uang yang paling banyak beredar di dunia dan menjadi mata uang global.
Lebih lanjut, laporan itu juga menyebut dengan seringnnya rekor terjadi di pasar modal AS, indeks dolar AS terhadap enam mata uang utama lain juga telah menguat dalam beberapa tahun terakhir.
"Nilai tukar mata uang utama lainnya telah menurun terhadap dolar, jadi 'buang dolar' tidak bisa benar-benar mendesentralisasikan risiko nilai tukar," tulis laporan itu lagi.
Laporan itu juga menyebut bahwa menjaga stabilitas yuan adalah kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi China di tengah perang dagang AS-China.
Ini dikarenakan cadangan devisa bisa berfungsi sebagai 'penstabil' ekonomi, menjaga keseimbangan pembayaran internasional dan stabilitas nilai tukar, serta untuk menjaga keamanan keuangan negara.
Selain itu, laporan itu juga menyebut bahwa upaya membuang dolar dari cadangan devisa bisa melemahkan kemampuan China untuk mengintervensi nilai tukar yuan terhadap dolar.
"Menyesuaikan komposisi cadangan devisa adalah proses struktural, yang berarti bahwa jika terjadi krisis di pasar, China tidak dapat melakukan penyesuaian langsung tetapi hanya dapat menyesuaikan secara bertahap. Dengan demikian, China mungkin bisa kehilangan peluang untuk melakukan intervensi di pasar, yang mengarah ke penyebaran risiko," jelas laporan ini.
"Karena besarnya cadangan mata uang asing berdenominasi dolar AS, China mampu menahan krisis keuangan Asia, krisis subprime mortgage, krisis utang Eropa, dan tantangan pasar lainnya. Oleh karena itu, dalam keadaan saat ini, utang AS yang dipegang oleh China tidak dapat dilihat sebagai penanggulangan dalam perang dagang, tetapi merupakan 'pilar' untuk menstabilkan nilai tukar yuan dan ekonomi China."
(sef/sef) Next Article Jurus Kamehameha China Lawan AS: Mulai 'Buang Dolar'!
Apalagi untuk menghindari risiko "decoupling" alias pergerakan yang tidak wajar, Beijing diam-diam mendiversifikasi cadangan devisa (cadev) untuk mengurangi ketergantungan pada greenback.
Oleh karena itu, Beijing akan mengelola resikonya dengan mendiversifikasi cadev ke dalam mata uang lain termasuk membangun "cadangan bayangannya".
Namun, menurut sebuah laporan yang dimuat di Global Times, upaya "buang dolar" ini disebut hanya akan menyebabkan meningkatnya risiko dalam perang dagang dan menyebabkan mata uang global semakin bergejolak.
"Secara teoritis, diversifikasi cadangan devisa membantu mengurangi risiko nilai tukar. Namun, komposisi cadangan devisa China lebih tersebar dibandingkan dengan tingkat rata-rata global, dengan proporsi aset berbasis dolar AS di bawah rata-rata internasional sebesar 65%, yang sebenarnya tidak kondusif bagi stabilitas nilai tukar yuan terhadap dolar," kata laporan itu.
"Meskipun de-dolarisasi dapat mengurangi ketergantungan yuan pada dolar, tidak ada mata uang lain yang dapat menggantikan nilai dolar."
Dolar AS telah menjadi mata uang cadangan utama dunia selama beberapa dekade. Menurut lembaga Dana Moneter Internasional (IMF), dolar AS saat ini mencakup 58% dari total mata uang cadangan devisa di dunia dan sekitar 40% dari utang dunia dalam mata uang dolar.
IMF menyebut, total cadangan devisa dunia pada kuartal II-2019 adalah setara dengan US$ 11,73 triliun. Dari jumlah tersebut, US$ 6,79 triliun (57,88%) adalah dolar AS.
Selain itu, dolar dipandang sebagai salah satu aset investasi teraman di dunia (safe haven) dan nilainya cenderung menguat selama masa-masa gejolak ekonomi atau politik.
Mengingat posisi AS yang merupakan ekonomi terbesar di dunia, pengaruh dolar AS terhadap negara lain tentunya tidaklah kecil.
Apalagi, negeri Paman Sam juga merupakan negara konsumen terbesar di planet ini. Yang berarti banyak melakukan transaksi jual beli dengan negara lain untuk memenuhi kebutuhannya.
Bank Dunia mencatat konsumsi AS pada 2017 mencapai US$ 13,32 triliun. Bahkan Uni Eropa yang merupakan gabungan lebih dari 20 negara saja masih kalah.
Karenanya wajar jika dolar AS adalah mata uang yang paling banyak beredar di dunia dan menjadi mata uang global.
Lebih lanjut, laporan itu juga menyebut dengan seringnnya rekor terjadi di pasar modal AS, indeks dolar AS terhadap enam mata uang utama lain juga telah menguat dalam beberapa tahun terakhir.
"Nilai tukar mata uang utama lainnya telah menurun terhadap dolar, jadi 'buang dolar' tidak bisa benar-benar mendesentralisasikan risiko nilai tukar," tulis laporan itu lagi.
Laporan itu juga menyebut bahwa menjaga stabilitas yuan adalah kunci untuk menjaga stabilitas ekonomi China di tengah perang dagang AS-China.
Ini dikarenakan cadangan devisa bisa berfungsi sebagai 'penstabil' ekonomi, menjaga keseimbangan pembayaran internasional dan stabilitas nilai tukar, serta untuk menjaga keamanan keuangan negara.
Selain itu, laporan itu juga menyebut bahwa upaya membuang dolar dari cadangan devisa bisa melemahkan kemampuan China untuk mengintervensi nilai tukar yuan terhadap dolar.
"Menyesuaikan komposisi cadangan devisa adalah proses struktural, yang berarti bahwa jika terjadi krisis di pasar, China tidak dapat melakukan penyesuaian langsung tetapi hanya dapat menyesuaikan secara bertahap. Dengan demikian, China mungkin bisa kehilangan peluang untuk melakukan intervensi di pasar, yang mengarah ke penyebaran risiko," jelas laporan ini.
"Karena besarnya cadangan mata uang asing berdenominasi dolar AS, China mampu menahan krisis keuangan Asia, krisis subprime mortgage, krisis utang Eropa, dan tantangan pasar lainnya. Oleh karena itu, dalam keadaan saat ini, utang AS yang dipegang oleh China tidak dapat dilihat sebagai penanggulangan dalam perang dagang, tetapi merupakan 'pilar' untuk menstabilkan nilai tukar yuan dan ekonomi China."
(sef/sef) Next Article Jurus Kamehameha China Lawan AS: Mulai 'Buang Dolar'!
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular