
Goldman Prediksi Rupiah Berjaya di 2020, Ini Sebabnya!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 December 2019 18:01

Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pelambatan di tahun ini. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 ada di 5,08%, sementara proyeksi BI adalah 5,1%. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi 2018 yang sebesar 5,17%.
Harapan akan membaiknya pertumbuhan ekonomi tahun depan juga datang dari Bank Indonesia (BI) yang sudah melakukan pelonggaran moneter secara agresif. Suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate) sudah diturunkan sebanyak empat kali masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) hingga ke level 5%.
Penurunan suku bunga tersebut bahkan dilakukan dalam empat bulan beruntun pada periode periode Juli sampai Oktober.
Tidak hanya menurunkan suku bunga, BI juga memberikan stimulus moneter lainnya berupa penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), ada juga pelonggaran rasio Loan to Value/Loan to Financing (LTV/LTF).
Jauh sebelum memangkas suku bunga, BI menaikkan batasan Rasio Intermediasi Maroprudensial (RIM) dari 80-92% menjadi 84-94% untuk mendorong pembiayaan perbankan bagi dunia usaha.
Serangkaian kebijakan tersebut diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia agar lebih terakselerasi lagi.
Pemangkasan suku bunga yang agresif oleh BI memerlukan masa transmisi beberapa bulan, dan efeknya baru akan terasa pada 2020 nanti. Sehingga harapan pertumbuhan ekonomi akan membaik cukup besar.
Serangkaian pelonggaran moneter yang dilakukan BI di tahun ini tidak membuat rupiah goyah. Secara teori, penurunan suku bunga akan membuat nilai tukar mata uang melemah. Tetapi seperti yang disebutkan di halaman 1, sejak awal tahun rupiah tercatat masih menguat 2,47%, terbaik kedua di Asia setelah baht Thailand.
Ini berarti, pelaku pasar menyambut baik pelonggaran moneter yang dilakukan BI, dan memiliki kepercayaan perekonomian akan membaik ke depannya. Hal tersebut terlihat dari inflow ke pasar obligasi Indonesia.
Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) menunjukkan aliran dana investor asing ke pasar obligasi per 9 Desember mencapai Rp 1.066,27 triliun atau 38,53% dari total beredar Rp 2.767 triliun.
Angka kepemilikan tersebut bertambah Rp 173,02 triliun dibanding posisi akhir Desember 2018 Rp 893,25 triliun, persentase kepemilikan juga lebih tinggi dari akhir tahun lalu 37,71%.
Kini tinggal menunggu gebrakan dari pemerintah agar pertumbuhan ekonomi bisa terakselerasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Untuk tahun depan, Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mengasumsikan pertumbuhan ekonomi di angka 5,3%. APBN 2020 mengasumsikan inflasi sebesar 3,1%, sama seperti perkiraan realisasi 2019 versi BI.
Selain itu, defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian diprediksi akan membaik. Di tiga kuartal tahun ini, CAD belum pernah menyentuh 3% dari produk domestik bruto (PDB). Bank Dunia memperkirakan defisit transaksi berjalan sepanjang 2019 sebesar 2,8% PDB dan tahun depan turun jadi 2,5% PDB.Harapan akan membaiknya pertumbuhan ekonomi tahun depan juga datang dari Bank Indonesia (BI) yang sudah melakukan pelonggaran moneter secara agresif. Suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate) sudah diturunkan sebanyak empat kali masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) hingga ke level 5%.
Tidak hanya menurunkan suku bunga, BI juga memberikan stimulus moneter lainnya berupa penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), ada juga pelonggaran rasio Loan to Value/Loan to Financing (LTV/LTF).
Jauh sebelum memangkas suku bunga, BI menaikkan batasan Rasio Intermediasi Maroprudensial (RIM) dari 80-92% menjadi 84-94% untuk mendorong pembiayaan perbankan bagi dunia usaha.
Serangkaian kebijakan tersebut diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia agar lebih terakselerasi lagi.
Pemangkasan suku bunga yang agresif oleh BI memerlukan masa transmisi beberapa bulan, dan efeknya baru akan terasa pada 2020 nanti. Sehingga harapan pertumbuhan ekonomi akan membaik cukup besar.
Serangkaian pelonggaran moneter yang dilakukan BI di tahun ini tidak membuat rupiah goyah. Secara teori, penurunan suku bunga akan membuat nilai tukar mata uang melemah. Tetapi seperti yang disebutkan di halaman 1, sejak awal tahun rupiah tercatat masih menguat 2,47%, terbaik kedua di Asia setelah baht Thailand.
Ini berarti, pelaku pasar menyambut baik pelonggaran moneter yang dilakukan BI, dan memiliki kepercayaan perekonomian akan membaik ke depannya. Hal tersebut terlihat dari inflow ke pasar obligasi Indonesia.
Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) menunjukkan aliran dana investor asing ke pasar obligasi per 9 Desember mencapai Rp 1.066,27 triliun atau 38,53% dari total beredar Rp 2.767 triliun.
Angka kepemilikan tersebut bertambah Rp 173,02 triliun dibanding posisi akhir Desember 2018 Rp 893,25 triliun, persentase kepemilikan juga lebih tinggi dari akhir tahun lalu 37,71%.
Kini tinggal menunggu gebrakan dari pemerintah agar pertumbuhan ekonomi bisa terakselerasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/pap)
Pages
Most Popular