
Goldman Prediksi Rupiah Berjaya di 2020, Ini Sebabnya!
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
12 December 2019 18:01

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah menguat tipis melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada hari ini Kamis (12/12/2019). Rupiah mengakhiri perdagangan di level Rp 14.020/US$, menguat 0,07% di pasar spot, melansir data Refinitiv.
Beberapa pekan jelang akhir tahun, rupiah masih membukukan kinerja positif melawan mata uang Paman Sam. Sejak awal tahun hingga hari ini, rupiah tercatat menguat 2,47%.
Melihat kondisi global saat ini, Mata Uang Garuda sepertinya masih akan mempertahankan kinerja positif hingga penghujung tahun 2019. Kabar bagusnya lagi, di tahun depan rupiah diprediksi masih akan menguat oleh salah satu bank investasi ternama, Goldman Sachs.
Rabu kemarin, CNBC International mewartakan analis dari Goldman Sachs, Zach Pandl, melihat adanya "peluang yang besar" bagi rupiah di tahun 2020. Ia melihat rupiah akan mendapat keuntungan dari yield yang relatif tinggi, serta stabilitas makroekonomi Indonesia, dan kondisi global yang akan membaik.
"Jika investor berinvestasi, anda tahu aset di Indonesia memiliki yield cukup tinggi, dengan kondisi makroekonomi dan pertumbuhan global yang relatif stabil, kami pikir ini [aset di Indonesia] cukup menarik untuk dimainkan" kata Pandl
Pandl menambahkan jika melihat Indonesia yang tersirat adalah "sebuah cerita mengenai stabilitas".
"Anda memiliki pertumbuhan yang stabil. Anda memiliki gambaran pemerintahan yang cukup bagus dan anda memiliki bank sentral yang terus mencoba mempertahankan nilai tukar mata uang agar tetap stabil" ujar Pandl.
Kondisi global yang lebih baik, akan membuat pelaku pasar lebih nyaman masuk ke aset-aset berisiko yang memberikan imbal hasil tinggi.
Selain itu, Pandl juga tidak menutup kemungkinan adanya kenaikan peringkat utang Indonesia yang tentunya akan semakin mendongkrak performa rupiah.
Jika berinvestasi, tentunya yang dilihat adalah yield atau imbal hasil yang diberikan. Seperti pernyataan Pandl, yield surat utang Indonesia memang relatif tinggi yang tentunya bisa menarik investor.
Berdasarkan data Refinitiv, yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun pada akhir perdagangan Rabu berada di level 7,201%, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Filipina menjadi negara dengan yield obligasi yang paling dekat dengan Indonesia, meski cukup jauh yakni di level 4,55%. Kemudian ada Malaysia dengan yield 3,44%.
Thailand dan Taiwan memberikan yield obligasi tenor 10 tahun yang cukup rendah yakni 1,55% dan 0,695% Bahkan masih lebih tinggi dari India yang yield-nya sebesar 6,787%.
Melihat riil return dari obligasi tentunya tidak bisa melihat dari segi yield, inflasi di masing-masing negara juga harus diperhitungkan untuk mengetahui berapa riil return yang didapat.
Yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun memang menjadi yang tertinggi, tetapi inflasi RI jika dibandingkan negara lain juga relatif tinggi. Data terakhir menunjukkan inflasi di Indonesia berada di level 3% year-on-year (YoY), relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara lainnya yang disebutkan di atas.
Berdasarkan data Trading Economics, inflasi Filipina hanya sebesar 1,3% YoY, kemudian Malaya beada di level 1,1% YoY. Thailand dan Taiwan bahkan di hanya di level 0,21% dan 0,59% YoY.
Sementara inflasi India lebih tinggi dari Indonesia, sebesar 4,61% YoY.
Jika melihat selisih antara yield obligasi dengan inflasi tersebut, Indonesia jauh lebih tinggi yakni sebesar 4,127%. Dengan demikian, jika melihat riil return yang diberikan, maka memang terlihat berinvestasi rupiah memang lebih menguntungkan.
Seperti yang disebutkan Pandl di halaman sebelumnya, selain yield yang tinggi ada peluang peringkat utang di Indonesia akan dinaikkan tahun depan, sehingga bisa mendorong aliran investasi yang lebih deras.
Pada bulan Mei lalu, Indonesia mendapat kenaikan peringkat kredit oleh S&P 500 dari BBB- menjadi BBB.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya yang dirilis pada Jumat (31/5/2019).
Level BBB- merupakan level terendah bagi surat utang yang masuk dalam kategori layak investasi (investment-grade), sementara level BBB berada 1 tingkat di atas level BBB-.
Berdasarkan data dari countryeconomy.com, hanya India yang peringkat utangnya berada di bawah Indonesia yakni BBB-. Sementara negara-negara lainnya berada di atas Indonesia, Filipina dan Thailand memiliki peringkat BBB , sementara Taiwan dan Malaysia masing-masing AA- dan A-.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pelambatan di tahun ini. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 ada di 5,08%, sementara proyeksi BI adalah 5,1%. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi 2018 yang sebesar 5,17%.
Harapan akan membaiknya pertumbuhan ekonomi tahun depan juga datang dari Bank Indonesia (BI) yang sudah melakukan pelonggaran moneter secara agresif. Suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate) sudah diturunkan sebanyak empat kali masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) hingga ke level 5%.
Penurunan suku bunga tersebut bahkan dilakukan dalam empat bulan beruntun pada periode periode Juli sampai Oktober.
Tidak hanya menurunkan suku bunga, BI juga memberikan stimulus moneter lainnya berupa penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), ada juga pelonggaran rasio Loan to Value/Loan to Financing (LTV/LTF).
Jauh sebelum memangkas suku bunga, BI menaikkan batasan Rasio Intermediasi Maroprudensial (RIM) dari 80-92% menjadi 84-94% untuk mendorong pembiayaan perbankan bagi dunia usaha.
Serangkaian kebijakan tersebut diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia agar lebih terakselerasi lagi.
Pemangkasan suku bunga yang agresif oleh BI memerlukan masa transmisi beberapa bulan, dan efeknya baru akan terasa pada 2020 nanti. Sehingga harapan pertumbuhan ekonomi akan membaik cukup besar.
Serangkaian pelonggaran moneter yang dilakukan BI di tahun ini tidak membuat rupiah goyah. Secara teori, penurunan suku bunga akan membuat nilai tukar mata uang melemah. Tetapi seperti yang disebutkan di halaman 1, sejak awal tahun rupiah tercatat masih menguat 2,47%, terbaik kedua di Asia setelah baht Thailand.
Ini berarti, pelaku pasar menyambut baik pelonggaran moneter yang dilakukan BI, dan memiliki kepercayaan perekonomian akan membaik ke depannya. Hal tersebut terlihat dari inflow ke pasar obligasi Indonesia.
Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) menunjukkan aliran dana investor asing ke pasar obligasi per 9 Desember mencapai Rp 1.066,27 triliun atau 38,53% dari total beredar Rp 2.767 triliun.
Angka kepemilikan tersebut bertambah Rp 173,02 triliun dibanding posisi akhir Desember 2018 Rp 893,25 triliun, persentase kepemilikan juga lebih tinggi dari akhir tahun lalu 37,71%.
Kini tinggal menunggu gebrakan dari pemerintah agar pertumbuhan ekonomi bisa terakselerasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
Beberapa pekan jelang akhir tahun, rupiah masih membukukan kinerja positif melawan mata uang Paman Sam. Sejak awal tahun hingga hari ini, rupiah tercatat menguat 2,47%.
Melihat kondisi global saat ini, Mata Uang Garuda sepertinya masih akan mempertahankan kinerja positif hingga penghujung tahun 2019. Kabar bagusnya lagi, di tahun depan rupiah diprediksi masih akan menguat oleh salah satu bank investasi ternama, Goldman Sachs.
Rabu kemarin, CNBC International mewartakan analis dari Goldman Sachs, Zach Pandl, melihat adanya "peluang yang besar" bagi rupiah di tahun 2020. Ia melihat rupiah akan mendapat keuntungan dari yield yang relatif tinggi, serta stabilitas makroekonomi Indonesia, dan kondisi global yang akan membaik.
"Jika investor berinvestasi, anda tahu aset di Indonesia memiliki yield cukup tinggi, dengan kondisi makroekonomi dan pertumbuhan global yang relatif stabil, kami pikir ini [aset di Indonesia] cukup menarik untuk dimainkan" kata Pandl
Pandl menambahkan jika melihat Indonesia yang tersirat adalah "sebuah cerita mengenai stabilitas".
"Anda memiliki pertumbuhan yang stabil. Anda memiliki gambaran pemerintahan yang cukup bagus dan anda memiliki bank sentral yang terus mencoba mempertahankan nilai tukar mata uang agar tetap stabil" ujar Pandl.
Kondisi global yang lebih baik, akan membuat pelaku pasar lebih nyaman masuk ke aset-aset berisiko yang memberikan imbal hasil tinggi.
Selain itu, Pandl juga tidak menutup kemungkinan adanya kenaikan peringkat utang Indonesia yang tentunya akan semakin mendongkrak performa rupiah.
Jika berinvestasi, tentunya yang dilihat adalah yield atau imbal hasil yang diberikan. Seperti pernyataan Pandl, yield surat utang Indonesia memang relatif tinggi yang tentunya bisa menarik investor.
Berdasarkan data Refinitiv, yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun pada akhir perdagangan Rabu berada di level 7,201%, jauh lebih tinggi dibandingkan negara-negara di Asia Tenggara lainnya. Filipina menjadi negara dengan yield obligasi yang paling dekat dengan Indonesia, meski cukup jauh yakni di level 4,55%. Kemudian ada Malaysia dengan yield 3,44%.
Thailand dan Taiwan memberikan yield obligasi tenor 10 tahun yang cukup rendah yakni 1,55% dan 0,695% Bahkan masih lebih tinggi dari India yang yield-nya sebesar 6,787%.
Melihat riil return dari obligasi tentunya tidak bisa melihat dari segi yield, inflasi di masing-masing negara juga harus diperhitungkan untuk mengetahui berapa riil return yang didapat.
Yield obligasi Indonesia tenor 10 tahun memang menjadi yang tertinggi, tetapi inflasi RI jika dibandingkan negara lain juga relatif tinggi. Data terakhir menunjukkan inflasi di Indonesia berada di level 3% year-on-year (YoY), relatif lebih tinggi dibandingkan negara-negara lainnya yang disebutkan di atas.
Berdasarkan data Trading Economics, inflasi Filipina hanya sebesar 1,3% YoY, kemudian Malaya beada di level 1,1% YoY. Thailand dan Taiwan bahkan di hanya di level 0,21% dan 0,59% YoY.
Sementara inflasi India lebih tinggi dari Indonesia, sebesar 4,61% YoY.
Jika melihat selisih antara yield obligasi dengan inflasi tersebut, Indonesia jauh lebih tinggi yakni sebesar 4,127%. Dengan demikian, jika melihat riil return yang diberikan, maka memang terlihat berinvestasi rupiah memang lebih menguntungkan.
Seperti yang disebutkan Pandl di halaman sebelumnya, selain yield yang tinggi ada peluang peringkat utang di Indonesia akan dinaikkan tahun depan, sehingga bisa mendorong aliran investasi yang lebih deras.
Pada bulan Mei lalu, Indonesia mendapat kenaikan peringkat kredit oleh S&P 500 dari BBB- menjadi BBB.
"S&P menaikkan peringkat pemerintah Indonesia ke BBB dengan alasan prospek pertumbuhan yang kuat dan kebijakan fiskal yang prudent," tulis S&P dalam keterangan resminya yang dirilis pada Jumat (31/5/2019).
Level BBB- merupakan level terendah bagi surat utang yang masuk dalam kategori layak investasi (investment-grade), sementara level BBB berada 1 tingkat di atas level BBB-.
Berdasarkan data dari countryeconomy.com, hanya India yang peringkat utangnya berada di bawah Indonesia yakni BBB-. Sementara negara-negara lainnya berada di atas Indonesia, Filipina dan Thailand memiliki peringkat BBB , sementara Taiwan dan Malaysia masing-masing AA- dan A-.
Pertumbuhan ekonomi Indonesia mengalami pelambatan di tahun ini. Pemerintah memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia sepanjang 2019 ada di 5,08%, sementara proyeksi BI adalah 5,1%. Pertumbuhan tersebut lebih rendah dibandingkan realisasi pertumbuhan ekonomi 2018 yang sebesar 5,17%.
Untuk tahun depan, Pemerintah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2020 mengasumsikan pertumbuhan ekonomi di angka 5,3%. APBN 2020 mengasumsikan inflasi sebesar 3,1%, sama seperti perkiraan realisasi 2019 versi BI.
Selain itu, defisit transaksi berjalan (Current Account Deficit/CAD) yang selama ini menjadi "hantu" bagi perekonomian diprediksi akan membaik. Di tiga kuartal tahun ini, CAD belum pernah menyentuh 3% dari produk domestik bruto (PDB). Bank Dunia memperkirakan defisit transaksi berjalan sepanjang 2019 sebesar 2,8% PDB dan tahun depan turun jadi 2,5% PDB.Harapan akan membaiknya pertumbuhan ekonomi tahun depan juga datang dari Bank Indonesia (BI) yang sudah melakukan pelonggaran moneter secara agresif. Suku bunga acuan (7 Day Reverse Repo Rate) sudah diturunkan sebanyak empat kali masing-masing sebesar 25 basis poin (bps) hingga ke level 5%.
Penurunan suku bunga tersebut bahkan dilakukan dalam empat bulan beruntun pada periode periode Juli sampai Oktober.
Tidak hanya menurunkan suku bunga, BI juga memberikan stimulus moneter lainnya berupa penurunan Giro Wajib Minimum (GWM), ada juga pelonggaran rasio Loan to Value/Loan to Financing (LTV/LTF).
Jauh sebelum memangkas suku bunga, BI menaikkan batasan Rasio Intermediasi Maroprudensial (RIM) dari 80-92% menjadi 84-94% untuk mendorong pembiayaan perbankan bagi dunia usaha.
Serangkaian kebijakan tersebut diharapkan mampu memacu pertumbuhan ekonomi Indonesia agar lebih terakselerasi lagi.
Pemangkasan suku bunga yang agresif oleh BI memerlukan masa transmisi beberapa bulan, dan efeknya baru akan terasa pada 2020 nanti. Sehingga harapan pertumbuhan ekonomi akan membaik cukup besar.
Serangkaian pelonggaran moneter yang dilakukan BI di tahun ini tidak membuat rupiah goyah. Secara teori, penurunan suku bunga akan membuat nilai tukar mata uang melemah. Tetapi seperti yang disebutkan di halaman 1, sejak awal tahun rupiah tercatat masih menguat 2,47%, terbaik kedua di Asia setelah baht Thailand.
Ini berarti, pelaku pasar menyambut baik pelonggaran moneter yang dilakukan BI, dan memiliki kepercayaan perekonomian akan membaik ke depannya. Hal tersebut terlihat dari inflow ke pasar obligasi Indonesia.
Berdasarkan data Ditjen Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu (DJPPR) menunjukkan aliran dana investor asing ke pasar obligasi per 9 Desember mencapai Rp 1.066,27 triliun atau 38,53% dari total beredar Rp 2.767 triliun.
Angka kepemilikan tersebut bertambah Rp 173,02 triliun dibanding posisi akhir Desember 2018 Rp 893,25 triliun, persentase kepemilikan juga lebih tinggi dari akhir tahun lalu 37,71%.
Kini tinggal menunggu gebrakan dari pemerintah agar pertumbuhan ekonomi bisa terakselerasi.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(pap/pap) Next Article Sentuh Rp 16.500/US$, Rupiah Terus Terpuruk
Most Popular