
Analisis
Minim Katalis Penguatan, Rupiah Sulit Jauhi Rp 14.000/US$
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
11 December 2019 13:42

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah melemah melawan dolar Amerika Serikat (AS) pada perdagangan Rabu (11/12/2019), padahal saat pembukaan perdagangan sempat masuk ke zona hijau.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung menguat 0,11 ke Rp 13.990/US$. Namun sayangnya penguatan tidak mampu dipertahankan, rupiah langsung masuk ke zona merah, bahkan terus tertekan hingga tengah hari. Rupiah mencatat pelemahan hingga 0,25% di level Rp 14.040/US$.
Pelemahan rupiah hari ini terjadi setelah mencatat penguatan empat hari beruntun. Total selama empat hari tersebut rupiah menguat 0,67%, dan terus berada di dekat level psikologis Rp 14.000/US$.
Ketika berada di level psikologis tentunya perlu momentum yang lebih besar untuk mendorong penguatan lebih lanjut. Sayangnya, momentum tersebut kini belum ada, bahkan pasar sebenarnya masih diliputi ketidakpastian kesepakatan dagang AS-China, sehingga wajar jika rupiah mengalami koreksi.
Memang ada kabar bagus dari Gedung Putih, Presiden AS Donald Trump dikabarkan akan menunda pengenaan bea masuk tambahan untuk importasi produk dari China yang seharusnya berlaku mulai 15 Desember nanti.
CNBC International mengutip Wall Street Journal melaporkan negosiator dari AS dan China "sedang meletakkan landasan" untuk menunda kenaikan bea masuk sebesar 15% terhadap produk China dengan total nilai US$ 160 miliar.
Menteri Pertanian AS, Sonny Purdue, juga mengungkapkan jika Presiden Trump kemungkinan akan menunda bea masuk tambahan.
"Saya tidak merasa Bapak Presiden mau menerapkan bea masuk baru. Namun harus ada sesuatu yang mendorongnya untuk tidak menerapkan itu. Semoga sinyal dari China untuk kedelai dan daging babi bisa menjadi jalan ke arah sana," kata Purdue, seperti diberitakan Reuters.
Meski demikian, sampai ada pengumuman resmi, tetap saja kabar tersebut belum bisa dipercaya 100%.
Selain itu, pelaku pasar juga menanti pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Kamis dini hari WIB. Kali terakhir mengumumkan kebijakan moneter, The Fed mengatakan periode pemangkasan suku bunga sudah berakhir. Suku bunga baru akan dipangkas lagi jika perekonomian AS memburuk.
Data tenaga kerja AS, dengan tingkat pengangguran 3,9%, terendah sejak 1969, serta pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 yang direvisi naik menjadi 2,1% dari sebelumnya 1,9% bisa memberikan gambaran perekonomian Paman Sam mulai membaik.
Maka ekspektasi kuat muncul jika The Fed akan mempertegas sikapnya untuk tidak lagi memangkas suku bunga, dan dolar pun jadi perkasa.
Begitu perdagangan hari ini dibuka, rupiah langsung menguat 0,11 ke Rp 13.990/US$. Namun sayangnya penguatan tidak mampu dipertahankan, rupiah langsung masuk ke zona merah, bahkan terus tertekan hingga tengah hari. Rupiah mencatat pelemahan hingga 0,25% di level Rp 14.040/US$.
Pelemahan rupiah hari ini terjadi setelah mencatat penguatan empat hari beruntun. Total selama empat hari tersebut rupiah menguat 0,67%, dan terus berada di dekat level psikologis Rp 14.000/US$.
Ketika berada di level psikologis tentunya perlu momentum yang lebih besar untuk mendorong penguatan lebih lanjut. Sayangnya, momentum tersebut kini belum ada, bahkan pasar sebenarnya masih diliputi ketidakpastian kesepakatan dagang AS-China, sehingga wajar jika rupiah mengalami koreksi.
Memang ada kabar bagus dari Gedung Putih, Presiden AS Donald Trump dikabarkan akan menunda pengenaan bea masuk tambahan untuk importasi produk dari China yang seharusnya berlaku mulai 15 Desember nanti.
CNBC International mengutip Wall Street Journal melaporkan negosiator dari AS dan China "sedang meletakkan landasan" untuk menunda kenaikan bea masuk sebesar 15% terhadap produk China dengan total nilai US$ 160 miliar.
Menteri Pertanian AS, Sonny Purdue, juga mengungkapkan jika Presiden Trump kemungkinan akan menunda bea masuk tambahan.
"Saya tidak merasa Bapak Presiden mau menerapkan bea masuk baru. Namun harus ada sesuatu yang mendorongnya untuk tidak menerapkan itu. Semoga sinyal dari China untuk kedelai dan daging babi bisa menjadi jalan ke arah sana," kata Purdue, seperti diberitakan Reuters.
Meski demikian, sampai ada pengumuman resmi, tetap saja kabar tersebut belum bisa dipercaya 100%.
Selain itu, pelaku pasar juga menanti pengumuman kebijakan moneter bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) pada Kamis dini hari WIB. Kali terakhir mengumumkan kebijakan moneter, The Fed mengatakan periode pemangkasan suku bunga sudah berakhir. Suku bunga baru akan dipangkas lagi jika perekonomian AS memburuk.
Data tenaga kerja AS, dengan tingkat pengangguran 3,9%, terendah sejak 1969, serta pertumbuhan ekonomi kuartal III-2019 yang direvisi naik menjadi 2,1% dari sebelumnya 1,9% bisa memberikan gambaran perekonomian Paman Sam mulai membaik.
Maka ekspektasi kuat muncul jika The Fed akan mempertegas sikapnya untuk tidak lagi memangkas suku bunga, dan dolar pun jadi perkasa.
Next Page
Analisis Teknikal
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular