Ini 4 Faktor yang Bikin Broker Asing Pilih Cabut dari BEI

Irvin Avriano Arief, CNBC Indonesia
07 December 2019 15:39
Apa sih faktor-faktor yang membuat broker asing meninggalkan bursa nasional?
Foto: Muhammad Luthfi Rahman
Jakarta, CNBC Indonesia - Hengkangnya tiga sekuritas asing dari bursa diprediksi berujung pada penurunan nilai transaksi bursa saham domestik sebesar 12,46% (setara Rp 230,81 triliun per tahun) menjadi Rp 1.622,28 triliun/tahun, dari sebelumnya Rp 1.853,09 triliun/tahun. Apa sih yang membuat mereka meninggalkan bursa nasional?

Ketiganya adalah PT Merrill Lynch Sekuritas Indonesia (asal Amerika Serikat/AS), PT Deutsche Sekuritas Indonesia (asal Jerman) dan PT Nomura Sekuritas Indonesia (asal Jepang).

BACA: 3 Sekuritas Asing Hengkang, Berapa Nilai Transaksi Tergerus?

Tim Riset CNBC Indonesia menyusun daftar mengenai faktor-faktor yang menjadi daya tolak (antitesis dari daya tarik) bursa kita di mata perusahaan broker asing, berdasarkan diskusi dengan beberapa pelaku pasar dan penggalian informasi di lapangan.

Faktor pertama adalah kebijakan internal perusahaan induk di tingkat global, yang bersifat kasus per kasus (case per case). Dalam hal ini Deutsche Sekuritas misalnya, yang merupakan unit usaha dari Deutsche Bank AG asal Jerman. Deutsche Bank memutuskan untuk mengurangi bisnis broker efeknya di seluruh dunia, tidak terkecuali Indonesia.

Faktor kedua adalah ketiadaan batas minimal biaya (fee) transaksi efek antara perusahaan efek pedagang efek (broker) maupun fee penjaminan emisi (underwriting) untuk perusahaan efek berizin bank investasi (investment banking).

Sejak 2010, pelaku pasar modal dan otoritas saat itu yakni Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan (Bapepam-LK) mencari formula dengan membandingkan fee transaksi online.

Formula yang dianggap tepat diumumkan yaitu 0,17% untuk setiap transaksi saham online, dengan mempertimbangkan fee broker online di Malaysia, Thailand, Hong Kong, dan Singapura yaitu 2,5%-6%. Formula itu kemudian berencana dijadikan peraturan oleh Bapepam-LK untuk dijadikan sebagai batas fee minimal.

Namun, rencana penetapan aturan baru dengan tujuan melindungi industri dari penentuan harga yang terlalu rendah dan mematikan (predatory pricing) tersebut ditentang oleh Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU). Hasilnya, saat ini fee transaksi bursa sudah turun dari posisi 2010 menjadi 0,12% untuk transaksi beli dan 0,22% untuk transaksi jual.


Inklusi Keuangan Rendah, Adopsi Teknologi Lambat


Faktor ketiga adalah perkembangan pasar modal yang masih lambat dan tidak banyak mengubah postur jumlah masyarakat yang berinvestasi. Tingkat inklusi pasar modal domestik per akhir 2019 masih tercatat sangat minimal yaitu 4,9%, tumbuh tak seberapa dari 3,8% (2013).

Literasi adalah pemahaman dan kemampuan berinvestasi di pasar modal. Di sisi lain adalah inklusi, yang berarti mengikutsertakan masyarakat luas dalam proses investasi di pasar modal. Untuk inklusi, angkanya hanya 1,5% tahun ini, atau sudah naik dari 0,1% pada 2013.

Perkembangan yang lambat juga tercermin dari pertumbuhan nilai bursa karena kenaikan kapitalisasi Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) yang tipis. Kuantitas emiten baru setiap tahun bukan menjadi satu-satunya perhatian investor, apalagi investor global. Bagi mereka, kualitas emiten juga harus mencukupi agar bisa masuk ke radar investasi mereka.

Dari total sekitar 50 emiten pendatang baru di PT Bursa Efek Indonesia (BEI) tahun ini, tercatat separuhnya atau 25 perusahaan di antaranya menggelar penawaran umum perdana (IPO) bernilai Rp 100 miliar ke bawah.

Faktor keempat adalah adopsi teknologi yang lambat. Praktik transaksi efek di luar negeri sudah begitu kompleks dan maju sehingga perkembangannya melebihi perkembangan teknologi informasi beserta perangkatnya di pasar modal domestik.

Salah satu praktik transaksi canggih yang mulai diterapkan di luar negeri adalah transaksi algoritma (algorithmic trading) dan akses transaksi investor langsung dengan bursa tanpa perantara perusahaan efek (direct market access/DMA).

Banyak kontroversi dalam pembukaan pasar modal domestik terhadap perkembangan teknologi informasi pasar modal di luar negeri, apalagi dengan tingkat inklusi yang masih sangat kecil tentu potensi yang ditawarkan Indonesia masih cukup besar dan harus dijaga agar tidak semuanya dimanfaatkan pihak asing.

Namun, terlepas dari itu semua, kecepatan adaptasi dari pelaku pasar dan otoritas pasar modal patut ditingkatkan dan diakselerasi dengan langkah-langkah besar dan di luar kebiasaan, bukan hanya dengan meneruskan tradisi yang sudah ada.

Pintu-pintu peluang bisnis dan usaha agar perusahaan efek tetap dapat mendulang omzet dan memanen keuntungan dari berbisnis di pasar modal yang mencerminkan keberlangsungan pasar juga harus menjadi perhatian dari otoritas.

Jangan sampai, karena pengetatan aturan yang kurang mendukung keberlanjutan bisnis broker, justru membuat mereka menjadi tidak betah, atau bertahan tetapi dengan mencari peruntungan dengan menyiasati peraturan yang ada, seperti yang telah terjadi pada tragedi saham gorengan.

TIM RISET CNBC INDONESIA


(irv/irv) Next Article Sektor Tambang Mengerem Laju Koreksi Bursa, IHSG Turun 0,46%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular