
Prihatin, Rupiah di Posisi Terlemah Sejak Oktober...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 December 2019 10:11

Sementara dari sisi eksternal, investor masih menunggu kabar terbaru soal dinamika hubungan AS-China. Sebelum kedua negara meneken perjanjian damai dagang Fase I, spekulasi akan terus berdatangan dan menjadi sentimen penggerak pasar.
Global Times, harian yang berafiliasi dengan Partai Komunis China, memberitakan bahwa Beijing ngotot memberi syarat bahwa kesepakatan damai dagang Fase I harus memasukkan penghapusan seluruh bea masuk yang diterapkan selama masa perang dagang lebih dari setahun terakhir. AS mengenakan bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 550 miliar, sementara China membalas dengan membebankan bea masuk kepada produk made in the USA senilai US$ 185 miliar.
"Beberapa sumber di China yang punya akses terhadap proses negosiasi mengungkapkan kepada Global Times bahwa AS harus menghapus seluruh bea masuk yang sudah dikenakan. Bukan pembatalan bea masuk yang akan dilakukan," sebut laporan Global Times, harian yang berafiliasi dengan pemerintah China.
Akan tetapi, situasi menjadi rumit tatkala melihat perkembangan di Hong Kong. Kemarin, kepolisian Hong Kong menebakkan gas air mata untuk membubarkan aksi demonstrasi yang masih terus terjadi di wilayah eks koloni Inggris tersebut. Tidak hanya itu, polisi juga menangkap beberapa orang demonstran.
"Kami terus berdemonstrasi, melakukan aksi damai, melobi Dewan. Namun semuanya masih gagal," tegas Felix, seorang demonstran, seperti diberitakan Reuters.
Jika situasi terus memanas, maka AS punya legitimasi untuk ikut campur dengan dalih menjalankan mandat UU penegakan demokrasi dan hak asasi manusia di Hong Kong. Kalau AS sampai melakukan intervensi lebih lanjut, maka China pasti murka sehingga mengancam prospek damai dagang.
Ketidakpastian damai dagang AS-China membuat pelaku pasar belum berani bermain agresif. Aset-aset berisiko di negara berkembang Asia belum menjadi pilihan. Hasilnya, mata uang Asia pun berkubang di zona merah.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Global Times, harian yang berafiliasi dengan Partai Komunis China, memberitakan bahwa Beijing ngotot memberi syarat bahwa kesepakatan damai dagang Fase I harus memasukkan penghapusan seluruh bea masuk yang diterapkan selama masa perang dagang lebih dari setahun terakhir. AS mengenakan bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 550 miliar, sementara China membalas dengan membebankan bea masuk kepada produk made in the USA senilai US$ 185 miliar.
"Beberapa sumber di China yang punya akses terhadap proses negosiasi mengungkapkan kepada Global Times bahwa AS harus menghapus seluruh bea masuk yang sudah dikenakan. Bukan pembatalan bea masuk yang akan dilakukan," sebut laporan Global Times, harian yang berafiliasi dengan pemerintah China.
Akan tetapi, situasi menjadi rumit tatkala melihat perkembangan di Hong Kong. Kemarin, kepolisian Hong Kong menebakkan gas air mata untuk membubarkan aksi demonstrasi yang masih terus terjadi di wilayah eks koloni Inggris tersebut. Tidak hanya itu, polisi juga menangkap beberapa orang demonstran.
"Kami terus berdemonstrasi, melakukan aksi damai, melobi Dewan. Namun semuanya masih gagal," tegas Felix, seorang demonstran, seperti diberitakan Reuters.
Jika situasi terus memanas, maka AS punya legitimasi untuk ikut campur dengan dalih menjalankan mandat UU penegakan demokrasi dan hak asasi manusia di Hong Kong. Kalau AS sampai melakukan intervensi lebih lanjut, maka China pasti murka sehingga mengancam prospek damai dagang.
Ketidakpastian damai dagang AS-China membuat pelaku pasar belum berani bermain agresif. Aset-aset berisiko di negara berkembang Asia belum menjadi pilihan. Hasilnya, mata uang Asia pun berkubang di zona merah.
TIM RISET CNBCÂ INDONESIA
(aji/aji)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular