
Prihatin, Rupiah di Posisi Terlemah Sejak Oktober...
Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
02 December 2019 10:11

Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) melemah di kurs tengah Bank Indonesia (BI). Rupiah juga lesu di pasar spot, karena sentimen yang beredar memang cenderung negatif.
Pada Senin (2/12/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14122. Rupiah melemah 0,14% dibandingkan posisi akhir pekan lalu dan berada di titik terlemah sejak 21 Oktober.
Mata uang Tanah Air juga tidak berdaya di 'arena' pasar spot. Pada pukul 09:44 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.115 di mana rupiah melemah 0,11%. Rupiah berada di posisi terlemah sejak 18 Oktober.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih bisa stagnan di Rp 14.100. Seiring jalan, rupiah terpeleset ke jalur merah dan bertahan di sana sampai saat ini.
Namun tidak cuma rupiah. Hampir seluruh mata uang utama Asia juga terdepresiasi di hadapan dolar AS. Sejauh ini hanya yuan China, won Korea Selatan, dan dolar Taiwan uang mampu bertahan di zona hijau.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:48 WIB:
Dari dalam negeri, setidaknya ada dua sentimen yang membebani laju rupiah. Pertama, IHS Markit merilis angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia periode November yang berada di 48,2. Lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 47,7.
Namun PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Angka di bawah 50 berarti industriawan masih enggan melakukan ekspansi, alias masih kontraktif. PMI manufaktur Indonesia sudah lima bulan beruntun mengalami kontraksi.
Pada Oktober dan November, rata-rata PMI Indonesia adalah 48. IHS Markit menyebutkan, ini memberi sinyal bahwa aktivitas manufaktur akan mengalami kontraksi pada kuartal IV-2019.
"Dengan rata-rata PMI Oktober dan November yang sebesar 48, kami memperkirakan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2019 hanya tumbuh 4,9%. Survei kami menunjukkan permintaan terhadap produk manufaktur masih lemah. Permintaan baru dan penjualan menurun, dan dunia usaha memilih untuk mengurangi tenaga kerja serta menurunkan pembelian bahan baku. Ini memberi gambaran bahwa output ekonomi masih akan lemah dalam beberapa bulan ke depan," jelas Bernard Aw, Principal Economist di IHS Markit, dikutip dari siaran tertulis.
Kedua, investor juga menantikan rilis data domestik lainnya yaitu inflasi. Pada pukul 11:00 WIB, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data inflasi periode November 2019.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi November adalah 0,2% secara month-on-month (MoM) dan 3,065% year-on-year (YoY). Sementara inflasi inti diramal 3,16% YoY.
Konsensus tersebut menunjukkan terjadi perlambatan laju inflasi. Pada September, BPS mencatat inflasi sebesar 0,02% MoM, 3,13% YoY, dan inflasi inti 3,2% YoY.
Apakah perlambatan laju inflasi memberi konfirmasi bahwa permintaan memang melemah? Apakah pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 bisa di bawah 5% gara-gara kelesuan konsumsi rumah tangga? Mari kita nantikan pengumuman BPS...
Sementara dari sisi eksternal, investor masih menunggu kabar terbaru soal dinamika hubungan AS-China. Sebelum kedua negara meneken perjanjian damai dagang Fase I, spekulasi akan terus berdatangan dan menjadi sentimen penggerak pasar.
Global Times, harian yang berafiliasi dengan Partai Komunis China, memberitakan bahwa Beijing ngotot memberi syarat bahwa kesepakatan damai dagang Fase I harus memasukkan penghapusan seluruh bea masuk yang diterapkan selama masa perang dagang lebih dari setahun terakhir. AS mengenakan bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 550 miliar, sementara China membalas dengan membebankan bea masuk kepada produk made in the USA senilai US$ 185 miliar.
"Beberapa sumber di China yang punya akses terhadap proses negosiasi mengungkapkan kepada Global Times bahwa AS harus menghapus seluruh bea masuk yang sudah dikenakan. Bukan pembatalan bea masuk yang akan dilakukan," sebut laporan Global Times, harian yang berafiliasi dengan pemerintah China.
Akan tetapi, situasi menjadi rumit tatkala melihat perkembangan di Hong Kong. Kemarin, kepolisian Hong Kong menebakkan gas air mata untuk membubarkan aksi demonstrasi yang masih terus terjadi di wilayah eks koloni Inggris tersebut. Tidak hanya itu, polisi juga menangkap beberapa orang demonstran.
"Kami terus berdemonstrasi, melakukan aksi damai, melobi Dewan. Namun semuanya masih gagal," tegas Felix, seorang demonstran, seperti diberitakan Reuters.
Jika situasi terus memanas, maka AS punya legitimasi untuk ikut campur dengan dalih menjalankan mandat UU penegakan demokrasi dan hak asasi manusia di Hong Kong. Kalau AS sampai melakukan intervensi lebih lanjut, maka China pasti murka sehingga mengancam prospek damai dagang.
Ketidakpastian damai dagang AS-China membuat pelaku pasar belum berani bermain agresif. Aset-aset berisiko di negara berkembang Asia belum menjadi pilihan. Hasilnya, mata uang Asia pun berkubang di zona merah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Pada Senin (2/12/2019), kurs tengah BI atau kurs acuan Jakarta Interbank Spot Dollar Rate/Jisdor berada di Rp 14122. Rupiah melemah 0,14% dibandingkan posisi akhir pekan lalu dan berada di titik terlemah sejak 21 Oktober.
Mata uang Tanah Air juga tidak berdaya di 'arena' pasar spot. Pada pukul 09:44 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.115 di mana rupiah melemah 0,11%. Rupiah berada di posisi terlemah sejak 18 Oktober.
Kala pembukaan pasar, rupiah masih bisa stagnan di Rp 14.100. Seiring jalan, rupiah terpeleset ke jalur merah dan bertahan di sana sampai saat ini.
Namun tidak cuma rupiah. Hampir seluruh mata uang utama Asia juga terdepresiasi di hadapan dolar AS. Sejauh ini hanya yuan China, won Korea Selatan, dan dolar Taiwan uang mampu bertahan di zona hijau.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 09:48 WIB:
Dari dalam negeri, setidaknya ada dua sentimen yang membebani laju rupiah. Pertama, IHS Markit merilis angka Purchasing Managers' Index (PMI) manufaktur Indonesia periode November yang berada di 48,2. Lebih baik dibandingkan bulan sebelumnya yaitu 47,7.
Namun PMI menggunakan angka 50 sebagai titik mula. Angka di bawah 50 berarti industriawan masih enggan melakukan ekspansi, alias masih kontraktif. PMI manufaktur Indonesia sudah lima bulan beruntun mengalami kontraksi.
Pada Oktober dan November, rata-rata PMI Indonesia adalah 48. IHS Markit menyebutkan, ini memberi sinyal bahwa aktivitas manufaktur akan mengalami kontraksi pada kuartal IV-2019.
"Dengan rata-rata PMI Oktober dan November yang sebesar 48, kami memperkirakan ekonomi Indonesia pada kuartal IV-2019 hanya tumbuh 4,9%. Survei kami menunjukkan permintaan terhadap produk manufaktur masih lemah. Permintaan baru dan penjualan menurun, dan dunia usaha memilih untuk mengurangi tenaga kerja serta menurunkan pembelian bahan baku. Ini memberi gambaran bahwa output ekonomi masih akan lemah dalam beberapa bulan ke depan," jelas Bernard Aw, Principal Economist di IHS Markit, dikutip dari siaran tertulis.
Kedua, investor juga menantikan rilis data domestik lainnya yaitu inflasi. Pada pukul 11:00 WIB, Badan Pusat Statistik (BPS) akan mengumumkan data inflasi periode November 2019.
Konsensus pasar yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan inflasi November adalah 0,2% secara month-on-month (MoM) dan 3,065% year-on-year (YoY). Sementara inflasi inti diramal 3,16% YoY.
Konsensus tersebut menunjukkan terjadi perlambatan laju inflasi. Pada September, BPS mencatat inflasi sebesar 0,02% MoM, 3,13% YoY, dan inflasi inti 3,2% YoY.
Apakah perlambatan laju inflasi memberi konfirmasi bahwa permintaan memang melemah? Apakah pertumbuhan ekonomi kuartal IV-2019 bisa di bawah 5% gara-gara kelesuan konsumsi rumah tangga? Mari kita nantikan pengumuman BPS...
Sementara dari sisi eksternal, investor masih menunggu kabar terbaru soal dinamika hubungan AS-China. Sebelum kedua negara meneken perjanjian damai dagang Fase I, spekulasi akan terus berdatangan dan menjadi sentimen penggerak pasar.
Global Times, harian yang berafiliasi dengan Partai Komunis China, memberitakan bahwa Beijing ngotot memberi syarat bahwa kesepakatan damai dagang Fase I harus memasukkan penghapusan seluruh bea masuk yang diterapkan selama masa perang dagang lebih dari setahun terakhir. AS mengenakan bea masuk bagi impor produk China senilai US$ 550 miliar, sementara China membalas dengan membebankan bea masuk kepada produk made in the USA senilai US$ 185 miliar.
"Beberapa sumber di China yang punya akses terhadap proses negosiasi mengungkapkan kepada Global Times bahwa AS harus menghapus seluruh bea masuk yang sudah dikenakan. Bukan pembatalan bea masuk yang akan dilakukan," sebut laporan Global Times, harian yang berafiliasi dengan pemerintah China.
Akan tetapi, situasi menjadi rumit tatkala melihat perkembangan di Hong Kong. Kemarin, kepolisian Hong Kong menebakkan gas air mata untuk membubarkan aksi demonstrasi yang masih terus terjadi di wilayah eks koloni Inggris tersebut. Tidak hanya itu, polisi juga menangkap beberapa orang demonstran.
"Kami terus berdemonstrasi, melakukan aksi damai, melobi Dewan. Namun semuanya masih gagal," tegas Felix, seorang demonstran, seperti diberitakan Reuters.
Jika situasi terus memanas, maka AS punya legitimasi untuk ikut campur dengan dalih menjalankan mandat UU penegakan demokrasi dan hak asasi manusia di Hong Kong. Kalau AS sampai melakukan intervensi lebih lanjut, maka China pasti murka sehingga mengancam prospek damai dagang.
Ketidakpastian damai dagang AS-China membuat pelaku pasar belum berani bermain agresif. Aset-aset berisiko di negara berkembang Asia belum menjadi pilihan. Hasilnya, mata uang Asia pun berkubang di zona merah.
TIM RISET CNBC INDONESIA
(aji/aji) Next Article Keren! Penguatan Rupiah Nomor Wahid di Dunia
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular