
Pergerakan Rupiah Akhirnya Melebar, tapi Sayangnya Melemah
Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
29 November 2019 17:48

Hubungan Amerika Serikat (AS) dan China yang memburuk, serta dolar AS yang sedang perkasa membuat rupiah KO.
Langkah Presiden AS Donald Trump yang menandatangani Undang-Undang (UU) penegakan hak asasi manusia dan demokrasi Hong Kong membuat Pemerintah Beijing geram.
"Anda lihat saja. Apa yang akan terjadi, terjadilah," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, seperti dikutip dari Reuters.
Sementara itu, Hu Xijin, redaktur di tabloid Global Times (yang berafiliasi dengan pemerintah China), mengungkapkan Pemerintah Beijing akan memberikan balasan dengan melarang orang-orang yang terlibat dalam pembuatan UU tersebut masuk ke wilayah China.
"Menurut apa yang saya tahu, tanpa mengurangi rasa hormat kepada Presiden Trump dan rakyat AS, China sedang mempertimbangkan untuk melarang orang-orang yang menyusun UU hak asasi manusia dan demokrasi di Hong Kong ke daftar hitam. Mereka tidak bisa masuk ke China, Hong Kong, dan Makau," ungkap Hu dalam cuitan di Twitter.
Hubungan AS-China yang kembali memanas membuat harapan akan adanya kesepakatan dagang kian meredup, sentimen pelaku pasar pun memburuk.
Sementara itu dolar AS sedang perkasa setelah rilis serangkaian data ekonomi Paman Sam sejak pekan lalu.
Pada Kamis (21/11/19 indeks aktivitas manufaktur wilayah Philadelphia dilaporkan naik menjadi 10,4 di bulan ini, jauh lebih tinggi dari bulan Oktober lalu sebesar 5,6. Sehari setelahnya Markit melaporkan indeks aktivitas manufaktur AS naik menjadi 52,2 di bulan ini, tertinggi dalam tujuh bulan terakhir.
Kemudian Rabu kemarin, pembacaan kedua produk domestik bruto (PDB) AS dirilis sebesar 2,1% lebih tinggi dari pembacaan awal 1,9%.
Data lain menunjukkan pesanan barang tahan lama tumbuh 0,6% di bulan Oktober secara bulanan atau month-on-month (MoM). Di bulan sebelumnya, data ini turun 1,2%. Sementara pesanan barang tahan lama inti, yang tidak memasukkan sektor transportasi dalam perhitungan, juga tumbuh 0,6% MoM, dari bulan sebelumnya yang turun 0,4%.
Meski ada beberapa data yang kurang bagus, seperti inflasi (dilihat dari personal capital expenditure/PCE) yang pertumbuhannya masih rendah, tetapi serangkaian data tersebut cukup memperkuat sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang lebih optimis terhadap kondisi ekonomi AS saat ini dibandingkan beberapa pekan lalu, dan suku bunga tidak akan dipangkas lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/tas)
Langkah Presiden AS Donald Trump yang menandatangani Undang-Undang (UU) penegakan hak asasi manusia dan demokrasi Hong Kong membuat Pemerintah Beijing geram.
"Anda lihat saja. Apa yang akan terjadi, terjadilah," tegas Geng Shuang, Juru Bicara Kementerian Luar Negeri China, seperti dikutip dari Reuters.
Sementara itu, Hu Xijin, redaktur di tabloid Global Times (yang berafiliasi dengan pemerintah China), mengungkapkan Pemerintah Beijing akan memberikan balasan dengan melarang orang-orang yang terlibat dalam pembuatan UU tersebut masuk ke wilayah China.
"Menurut apa yang saya tahu, tanpa mengurangi rasa hormat kepada Presiden Trump dan rakyat AS, China sedang mempertimbangkan untuk melarang orang-orang yang menyusun UU hak asasi manusia dan demokrasi di Hong Kong ke daftar hitam. Mereka tidak bisa masuk ke China, Hong Kong, dan Makau," ungkap Hu dalam cuitan di Twitter.
Hubungan AS-China yang kembali memanas membuat harapan akan adanya kesepakatan dagang kian meredup, sentimen pelaku pasar pun memburuk.
Sementara itu dolar AS sedang perkasa setelah rilis serangkaian data ekonomi Paman Sam sejak pekan lalu.
Pada Kamis (21/11/19 indeks aktivitas manufaktur wilayah Philadelphia dilaporkan naik menjadi 10,4 di bulan ini, jauh lebih tinggi dari bulan Oktober lalu sebesar 5,6. Sehari setelahnya Markit melaporkan indeks aktivitas manufaktur AS naik menjadi 52,2 di bulan ini, tertinggi dalam tujuh bulan terakhir.
Kemudian Rabu kemarin, pembacaan kedua produk domestik bruto (PDB) AS dirilis sebesar 2,1% lebih tinggi dari pembacaan awal 1,9%.
Data lain menunjukkan pesanan barang tahan lama tumbuh 0,6% di bulan Oktober secara bulanan atau month-on-month (MoM). Di bulan sebelumnya, data ini turun 1,2%. Sementara pesanan barang tahan lama inti, yang tidak memasukkan sektor transportasi dalam perhitungan, juga tumbuh 0,6% MoM, dari bulan sebelumnya yang turun 0,4%.
Meski ada beberapa data yang kurang bagus, seperti inflasi (dilihat dari personal capital expenditure/PCE) yang pertumbuhannya masih rendah, tetapi serangkaian data tersebut cukup memperkuat sikap bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) yang lebih optimis terhadap kondisi ekonomi AS saat ini dibandingkan beberapa pekan lalu, dan suku bunga tidak akan dipangkas lagi.
TIM RISET CNBC INDONESIA (pap/tas)
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular