
Mitigasi Resesi, Bank Batasi Kredit Valas
Syahrizal Sidik, CNBC Indonesia
28 November 2019 19:33

Jakarta, CNBC Indonesia - Menghadapi risiko perlambatan ekonomi global dan resesi ekonomi, bank melakukan langkah mitigasi dengan membatasi eksposur kredit dalam valuta asing (valas). Strategi ini ditempuh agar krisis perbankan 1998 tak lagi terulang.
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja menjelaskan, belajar dari pengalaman krisis ekonomi 1998, kala itu banyak perbankan yang kolaps karena tingginya eksposur kredit valas. Kurs Rupiah yang tadinya di level 2.500 per US$, terkoreksi tajam ke level Rop 16.000 per US$.
"1998 kita pengalaman hancurnya perbankan itu karena exchange rate dari Rp 2.500 per US$ ke Rp16 ribu dan itu membuat kredit macet total di semua bank," ucap Jahja, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/2019).
Karena itu, selain membatasi kredit valas BCA juga memasanag target konservatif pertumbuhan kredit di bawah dua digit pada level 7,7-8% sepanjang tahun 2020.
"Untuk antisipasi global, saya kira yang penting bagi kami angan memaksakan growth kredit, itu bahaya untuk situasi yang tidak kondusif," jelas Jahja.
Strategi yang sama juga diterapkan PT Bank OCBC NISP Tbk (OCBC). Presiden Direktur Bank OCBC NISP Parwati Surjaudaja mengutarakan, musabab risiko yang tinggi jadi pertimbangan porsi kredit dalam dollar trennya menurun dari saat ini 24% menjadi 20% dari portfolio kredit secara keseluruhan.
"Bisnisnya berkurang, mungkin kebutuhannya yang juga faktor risiko juga jadi kombinasi," ujar Parwati di DPR.
Pada tahun depan, Bank OCBC NISP mematok pertumbuhan kredit di kisaran 9%.
(roy/roy) Next Article Pemerintah Minta Bunga Turun, Ini Respons Perbankan
Direktur Utama PT Bank Central Asia Tbk (BBCA) Jahja Setiaatmadja menjelaskan, belajar dari pengalaman krisis ekonomi 1998, kala itu banyak perbankan yang kolaps karena tingginya eksposur kredit valas. Kurs Rupiah yang tadinya di level 2.500 per US$, terkoreksi tajam ke level Rop 16.000 per US$.
"1998 kita pengalaman hancurnya perbankan itu karena exchange rate dari Rp 2.500 per US$ ke Rp16 ribu dan itu membuat kredit macet total di semua bank," ucap Jahja, di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (28/11/2019).
"Untuk antisipasi global, saya kira yang penting bagi kami angan memaksakan growth kredit, itu bahaya untuk situasi yang tidak kondusif," jelas Jahja.
Strategi yang sama juga diterapkan PT Bank OCBC NISP Tbk (OCBC). Presiden Direktur Bank OCBC NISP Parwati Surjaudaja mengutarakan, musabab risiko yang tinggi jadi pertimbangan porsi kredit dalam dollar trennya menurun dari saat ini 24% menjadi 20% dari portfolio kredit secara keseluruhan.
"Bisnisnya berkurang, mungkin kebutuhannya yang juga faktor risiko juga jadi kombinasi," ujar Parwati di DPR.
Pada tahun depan, Bank OCBC NISP mematok pertumbuhan kredit di kisaran 9%.
(roy/roy) Next Article Pemerintah Minta Bunga Turun, Ini Respons Perbankan
Most Popular