
Awas! Ekonomi Indonesia Bisa Terperosok Lebih Dalam Kalau...
Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
27 November 2019 11:03

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang dagang AS-China, ekonomi Eropa pasca Brexit, hingga gejolak geopolitik masih saja menjadi 'batu sandungan' yang membuat laju pemulihan perekonomian global berjalan lambat.
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad mengatakan, ekonomi Indonesia tidak kebal dari virus resesi global. Laju pertumbuhan ekonomi pada dua triwulan terakhir yang melambat mengindikasikan risiko resesi dapat menjalar ke dalam negeri.
Serangkaian 'amunisi' kebijakan terobosan yang tidak hanya mampu menahan perlambatan, namun juga dapat mengakselerasi perekonomian sangat dinantikan.
"Kolaborasi petahana dan wajah baru di tim ekonomi Kabinet Indonesia Maju diharapkan tidak sebatas memberi secercah harapan, namun benar-benar dapat merealisasikan target-target pembangunan ekonomi dan peningkatan kesejahteraan," ujarnya, Selasa (26/11/2019).
Pada kesempatan yang sama, Ekonom Indef Nawir Messi mengatakan, satu-satunya penopang pemerintah Indonesia di tengah perlambatan ekonomi adalah konsumsi domestik.
Sayangnya, konsumsi domestik dalam beberapa tahun belakangan hanya berkontribusi 56%-58% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Terlebih, sejak 2018 penjualan ritel dan otomotif menurun. Oleh karenanya, menurut Nawir, perlu kebijakan fiskal yang benar-benar bisa berdampak terhadap meningkatnya permintaan rumah tangga.
Pada 2020, kata Nawir, pemerintah bisa lebih banyak memberikan insentif untuk memperbaiki daya beli. Insentif itu bisa berupa bantuan langsung tunai atau pemangkasan tarif pajak.
"Apabila pemerintah gagal meningkatkan daya beli, ekonomi Indonesia bisa terperosok lebih dalam," ujarnya.
Indef juga menyoroti, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar tercipta pertumbuhan ekonomi sesuai harapan. Sayangnya, ekonomi Indonesia belum mampu keluar dari lingkaran pertumbuhan 5%.
Ekonomi nasional terus bergantung pada kekuatan sektor konsumsi rumah tangga, karena sektor investasi dan perdagangan internasional belum berperan dominan. Harapan memaksimalkan peranan investasi langsung berhadapan dengan iklim investasi yang belum kondusif.
Indonesia tidak menarik bagi investor asing, karena kerumitan regulasi. Sementara itu, upaya memupuk peranan perdagangan internasional sulit dilakukan karena struktur ekspor yang tidak berdaya saing. Di sisi lain kebergantungan impor sangat tinggi, terutama untuk bahan baku dan penolong untuk industri.
Laju pertumbuhan beberapa sektor utama seperti industri dan perdagangan belum cukup menggembirakan, sementara realisasi investasi juga semakin kedap penyerapan tenaga kerja.
Sektor-sektor unggulan pun meradang akibat kebijakan yang tidak berpihak pada produsen dalam negeri dan rendahnya daya saing ekspor di tengah ketidakpastian. Salah satu sektor unggulan yang menjadi sorotan karena kegagalan bersaing akibat ketidakberpihakan kebijakan pemerintah dan tekanan faktor eksternal adalah Industri Tekstil dan Produk dari Tekstil (TPT).
"Ancaman resesi ekonomi ke dalam negeri terutama akan berasal dari efek kontigensi dari sektor perdagangan daripada sektor finansial. Ini ditandai dengan semakin besarnya dampak yang diakibatkan perang dagang antara China dan AS," tulis laporan Indef yang dikutip CNBC Indonesia.
"Tidak hanya bagi dua negara yang berseteru, perang dagang juga mendorong perang dagang di negara-negara lainnya hingga perubahan pola perdagangan menjadi protektif."
(miq/miq) Next Article Sudah Berapa BUMN yang Pengurusnya Dirombak Erick Thohir?
Direktur Eksekutif Institute For Development of Economics and Finance Tauhid Ahmad mengatakan, ekonomi Indonesia tidak kebal dari virus resesi global. Laju pertumbuhan ekonomi pada dua triwulan terakhir yang melambat mengindikasikan risiko resesi dapat menjalar ke dalam negeri.
Serangkaian 'amunisi' kebijakan terobosan yang tidak hanya mampu menahan perlambatan, namun juga dapat mengakselerasi perekonomian sangat dinantikan.
Pada kesempatan yang sama, Ekonom Indef Nawir Messi mengatakan, satu-satunya penopang pemerintah Indonesia di tengah perlambatan ekonomi adalah konsumsi domestik.
Sayangnya, konsumsi domestik dalam beberapa tahun belakangan hanya berkontribusi 56%-58% terhadap Produk Domestik Bruto (PDB).
Terlebih, sejak 2018 penjualan ritel dan otomotif menurun. Oleh karenanya, menurut Nawir, perlu kebijakan fiskal yang benar-benar bisa berdampak terhadap meningkatnya permintaan rumah tangga.
Pada 2020, kata Nawir, pemerintah bisa lebih banyak memberikan insentif untuk memperbaiki daya beli. Insentif itu bisa berupa bantuan langsung tunai atau pemangkasan tarif pajak.
"Apabila pemerintah gagal meningkatkan daya beli, ekonomi Indonesia bisa terperosok lebih dalam," ujarnya.
Indef juga menyoroti, banyak pekerjaan rumah yang harus diselesaikan agar tercipta pertumbuhan ekonomi sesuai harapan. Sayangnya, ekonomi Indonesia belum mampu keluar dari lingkaran pertumbuhan 5%.
Ekonomi nasional terus bergantung pada kekuatan sektor konsumsi rumah tangga, karena sektor investasi dan perdagangan internasional belum berperan dominan. Harapan memaksimalkan peranan investasi langsung berhadapan dengan iklim investasi yang belum kondusif.
Indonesia tidak menarik bagi investor asing, karena kerumitan regulasi. Sementara itu, upaya memupuk peranan perdagangan internasional sulit dilakukan karena struktur ekspor yang tidak berdaya saing. Di sisi lain kebergantungan impor sangat tinggi, terutama untuk bahan baku dan penolong untuk industri.
Laju pertumbuhan beberapa sektor utama seperti industri dan perdagangan belum cukup menggembirakan, sementara realisasi investasi juga semakin kedap penyerapan tenaga kerja.
Sektor-sektor unggulan pun meradang akibat kebijakan yang tidak berpihak pada produsen dalam negeri dan rendahnya daya saing ekspor di tengah ketidakpastian. Salah satu sektor unggulan yang menjadi sorotan karena kegagalan bersaing akibat ketidakberpihakan kebijakan pemerintah dan tekanan faktor eksternal adalah Industri Tekstil dan Produk dari Tekstil (TPT).
"Ancaman resesi ekonomi ke dalam negeri terutama akan berasal dari efek kontigensi dari sektor perdagangan daripada sektor finansial. Ini ditandai dengan semakin besarnya dampak yang diakibatkan perang dagang antara China dan AS," tulis laporan Indef yang dikutip CNBC Indonesia.
"Tidak hanya bagi dua negara yang berseteru, perang dagang juga mendorong perang dagang di negara-negara lainnya hingga perubahan pola perdagangan menjadi protektif."
(miq/miq) Next Article Sudah Berapa BUMN yang Pengurusnya Dirombak Erick Thohir?
Most Popular