Seandainya Bloomberg Presiden AS, Gimana Nasib Batu Bara Cs?

Tirta Citradi, CNBC Indonesia
26 November 2019 08:11
Seandainya Bloomberg Presiden AS, Gimana Nasib Batu Bara Cs?
Foto: Michael Bloomberg pemilik sekaligus pendiri perusahaan media penyaji data ekonomi, Bloomberg (REUTERS/Carlos Jasso)
Jakarta, CNBC Indonesia - Michael (Mike) Bloomberg konglomerat media sekaligus mantan wali kota New York resmi melaju ke Pemilihan Presiden AS 2020. Jika ia terpilih, maka wajah sektor energi AS kemungkinan besar akan berubah dan pasar energi global ikut terdampak.

Bloomberg merupakan orang terkaya di AS nomor delapan dengan total kekayaan yang diperkirakan mencapai US$ 53,4 miliar. Selain menjadi pendiri Bloomberg L.P, ia juga terjun dalam dunia politik praktis.


Sebelum tahun 2001, Bloomberg terafiliasi dengan partai politik Demokrat. Kemudian pindah ke Republikan (2001-2007) dan akhirnya memutuskan untuk independen dalam kurun waktu yang cukup lama (2007-2018).

Pada Oktober tahun lalu, Bloomberg kembali ke Partai Demokrat dan tahun ini resmi mencalonkan diri sebagai kandidat Presiden AS melawan petahana Presiden AS Donald Trump.

Salah satu pencapaiannya dalam dunia politik praktis adalah Ia pernah menjabat sebagai wali kota New York selama kurang lebih 12 tahun (Januari 2002-Desember 2013) dan tercatat sebagai wali kota dengan masa jabatan paling lama di AS.

Selain berkecimpung di bisnis dan partai politik, Bloomberg juga dikenal sebagai filantropis. Salah satu bentuk nyatanya adalah dengan mendirikan Beyond Carbon, sebuah kampanye ambisius yang didirikan pada 2019 untuk menerapkan 100% clean energy di AS.

Bloomberg telah menggelontorkan uang sebesar US$ 500 juta untuk mengadvokasi reformasi energi di negeri Paman Sam.



Menurut Energy Information Agency (EIA), konsumsi bahan bakar fosil (migas dan batu bara) AS mencapai 80% dari total konsumsi energi AS pada 2018. Total konsumsi energi terbarukan AS dan energi nullir masing-masing sebesar 11% dan 8%.

Konsumsi minyak AS mencapai 36% dari total konsumsi energi AS. Sementara itu konsumsi gas alam dan batu bara masing-masing mencapai 31% dan 13%.

Kalau Bloomberg Jadi Presiden AS, Ini Nasib Batu Bara Cs
Sejak tahun 2000, konsumsi batu bara AS cenderung mengalami penurunan dengan laju rata-rata tahunan (CAGR) sebesar 2,92%. Senada dengan batu bara, konsumsi minyak Paman Sam juga mengalami penurunan dengan laju yang lebih lambat yaitu 0,19%.
Pada kurun waktu yang sama konsumsi energi terbarukan dan energi nuklir tumbuh dengan laju rata-rata tahunan masing-masing sebesar 0,4% dan 3,59%. Konsumsi energi terbarukan mencatatkan pertumbuhan paling signifikan dibanding jenis sumber energi lainnya.





EIA mengestimasi konsumsi minyak menyumbang 45% dari emisi karbon, gas alam menyumbang emisi CO2 sebesar 31% dan sisanya disumbang oleh batu bara. Sektor transportasi dan sektor industri merupakan penyumbang terbesar emisi karbon AS yang mencapai 3,36 miliar ton CO2 pada 2018. Isu lingkungan memang jadi sorotan Michael Bloomberg sejak dulu selain isu kesehatan.

Jika kampanye Beyond Carbon menargetkan penerapan 100% clean energy pada 2030, itu artinya konsumsi batu bara dan migas harus turun dengan laju yang sangat signifikan lebih dari 30% per tahun. Namun jika menimbang berbagai alasan terutama dari segi mengapa bahan bakar fosil masih digunakan, ambisi Bloomberg menghadapi tantangan besar.

Saat ini, biaya untuk menghasilkan listrik diukur dengan metode Levelized Cost of Energy (LCoE). Memang ada tren biaya energi terbarukan semakin murah dari tahun ke tahun. Namun, bahan bakar fosil masih menawarkan biaya yang relatif lebih murah dibandingkan energi terbarukan lainnya.

Sebagai perbandingan, untuk menghasilkan 1 MWh listrik dari bahan bakar fosil hanya membutuhkan biaya kurang lebih US$ 84, sementara itu untuk menghasilkan dengan daya yang sama menggunakan energi terbarukan membutuhkan biaya yang lebih besar sekitar US$ 150.



Ketersediaan bahan bakar fosil yang melimpah serta efisiensi konversi energi menjadi salah satu pertimbangan mengapa bahan bakar fosil masih digunakan sampai saat ini. Pada 2018, produksi bahan bakar fosil AS masih mencapai 87,8% dari produksi energi total Paman Sam.



Tantangan lain yang harus dihadapi Bloomberg adalah pebisnis dan pekerja yang menggantungkan hidupnya dari sektor migas dan batu bara. Selain jumlahnya yang tak sedikit, kontribusi mereka terhadap perekonomian AS juga tak bisa diabaikan. Belum lagi Bloomberg harus berhadapan dengan raksasa migas AS yaitu Exxon dan Chevron. 

Namun jika benar Bloomberg terpilih menjadi Presiden AS dan melancarkan ambisinya dengan lebih gencar maka dampaknya akan dirasakan oleh pasar energi global. Pasalnya Amerika merupakan negara dengan konsumsi bahan bakar fosil terbesar di dunia.

Menurut data indexmundi, Amerika menjadi negara dengan konsumsi batu bara terbesar kedua setelah China dengan konsumsi sebesar 924 juta ton per tahun.

Amerika juga merupakan negara dengan konsumsi minyak mentah terbesar di dunia dengan konsumsi mencapai 18,9 juta barel per hari (bpd).

Menurut BP Statistical Review of World Energi 2018, AS merupakan negara dengan konsumsi gas alam terbesar di dunia. Pada 2017, konsumsi gas alam mencapai 739,5 ribu m3.

Itu artinya, kalau konsumsi bahan bakar fosil Paman Sam turun drastis, harga komoditas batu bara, minyak mentah serta gas berpotensi besar tertekan. Selain itu, AS akan gencar menutup pembangkit listrik yang menggunakan batu bara sebagai bahan bakar. Bagaimanapun juga untuk mencapai ambisi ini, ongkos yang harus dikeluarkan tidak sedikit.


TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular