Ngelangsa, IHSG Terus Terjebak di Zona Merah

Dwi Ayuningtyas, CNBC Indonesia
21 November 2019 12:35
Ngelangsa, IHSG Terus Terjebak di Zona Merah
Foto: Ilustrasi Bursa. (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Mengawali perdagangan hari ini (21/11/2019) dengan menguat 0,31%, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) terperosok semakin dalam, di mana pada penutupan perdagangan sesi I Bursa Efek Indonesia (BEI) IHSG ditutup terkoreksi 0,85% ke level 6.103,05 indeks poin.



Performa IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama di kawasan Asia yang juga terjebak di zona merah. Indeks Kospi dan indeks Hang Seng sama-sama anjlok 1,59%, indeks Nikkei melemah 0,75%, indeks Straits Times turun 0,81%, dan indeks Shanghai terkoreksi 0,43%.

Kesepakatan dagang interim antara Amerika Serikat (AS) dan China yang diperkirakan tidak dapat ditekan hingga akhir tahun ini membuat pelaku pasar memilih mundur dari menggelontorkan dana investasinya di pasar saham Benua Kuning.

Reuters melaporkan bahwa penandatanganan perjanjian damai dagang tahap pertama dua kekuatan ekonomi terbesar dunia tersebut dapat mundur karena negosiasi yang mandek. China mendesak untuk mendapatkan penghapusan bea masuk yang lebih agresif, sedangkan AS memiliki tuntutannya sendiri yang juga sulit dipenuhi Negeri Tiongkok.

Pemberitaan dari Reuters tersebut mengutip pakar-pakar di bidang perdagangan dan orang-orang yang dekat dengan pemerintahan Presiden AS Donald Trump.

Seperti diketahui, nada pesimistis terkait prospek perjanjian dagang Beijing-Washington sebelumnya telah dilontarkan oleh pejabat China.

"Mood Beijing terkait deal dagang sangat pesimistis. China kecewa setelah Trump mengatakan tidak ada tarif yang ditarik," ujar Eunice Yoo, reporter CNBC International yang mendapat informasi dari pejabat China.

Sementara itu, pihak Washington menyampaikan bahwa penghapusan tarif, seperti keinginan Beijing, tidak dapat dengan mudah disepakati jika China juga tidak memenuhi permintaan AS. Hal ini terkait dengan transfer teknologi paksa, isu kekayaan intelektual, dan pembelian produk pertanian AS dalam jumlah besar, dilansir dari Reuters.

Meskipun demikian, beberapa analis percaya bahwa sejatinya kedua belah pihak menginginkan kesepakatan tersebut dapat ditekan dalam waktu dekat.

Hal ini dikarenakan, China ingin mencegah pemberlakuan tarif baru tanggal 15 Desember mendatang dan menghapus tarif yang telah mengganggu ekspornya.

Sedangkan Trump ingin mencapai kesepakatan yang dapat mencegah penghancuran pada bisnis AS dan agar dirinya memiliki nilai jual menjelang pemilihan tahun depan.
Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia yang berlangsung sejak kemarin (20/11/2019), pada pukul 14:30 WIB hari ini akan memaparkan hasilnya. Konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia memproyeksi bahwa Gubernur BI Perry Warjiyo dan kolega tidak akan lagi memangkas suku bunga acuan dan mempertahankannya di level 5%.

Hal ini mengingat dalamĀ empat RDG sebelumnya, bank sentral Tanah Air secara beruntun terus menurunkan BI 7-Days Reverse Repo Rate (BI7DRR), masing-masing 25 basis poin (bps), di mana ini menjadi penurunan paling agresif sejak 2016.

Oleh karena itu, wajar saja jika beberapa analis memperkirakan kali ini BI akan memilih untuk rehat sejenak sembari mencermati sejauh mana penurunan suku bunga acuan hingga 100 bps tersebut berdampak pada ekonomi Indonesia.

Terlebih lagi mengingat Ibu PErtiwi masih diuntungkan oleh tren penurunan suku bunga acuan global. Jadi walau BI7DRR sudah turun empat kali, tingkat imbal hasil di pasar keuangan Indonesia masih bisa bersaing.

Meskipun demikian, masih terdapat potensi BI akan menurunkan suku bunga acuannya lagi.

Pasalnya, kekhawatiran BI sejak tahun lalu soal defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD) sepertinya sudah berkurang. Pada kuartal III-2019, defisit transaksi berjalan tercatat 2,66% dari Produk Domestik Bruto (PDB). Membaik dibandingkan kuartal sebelumnya yang nyaris menyentuh 3% PDB.

Apalagi pada Oktober ada kabar baik yaitu neraca perdagangan membukukan surplus US$ 161,3 juta. Neraca dagang yang surplus bulan kemarin setidaknya membawa harapan CAD pada kuartal terakhir tahuni ini dapat membaik.

Adanya peluang bahwa CAD dapat ditekan memberi ruang bagi MH Thamrin untuk kembali melonggarkan kebijakan moneter alias menurunkan lagi suku bunga acuan.

Selain itu, pemerintah masih punya janji yang harus dipenuhi, yakni menggenjot pertumbuhan ekonomi. Pada kuartal III-2019, ekonomi Indonesia 'hanya' tumbuh 5,02%. Laju terlemah sejak kuartal II-2017.

Belum lagi, rilis data ekonomi terkait permintaan domestik, seperti penjualan ritel, penjualan kendaraan bermotor, dan laju impor, semuanya masih bergerak ke selatan atau dengan kata lain membukukan pertumbuhan negatif.

Dengan demikian, penurunan BI7DRR lebih lanjut diharapkan mampu membuat industri perbankan menurunkan tingkat suku bunga kredit yang dapat mendongkrak konsumsi rumah tangga dan ekspansi dunia usaha. Alhasil, roda perekonomian Ibu Pertiwi dapat berputar lebih kencang.

TIM RISET CNBC INDONESIA
Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular