Uji Nyali BI Jilid V: Injak Rem atau Tetap Tancap Gas?

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
20 November 2019 17:43
Uji Nyali BI Jilid V: Injak Rem atau Tetap Tancap Gas?
Foto: Perry Warjiyo (CNBC Indonesia/Lidya Kembaren)
Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan ini termasuk pekan yang tidak mudah bagi pasar keuangan tanah air.

Secara total dalam tiga perdagangan pertama di pekan ini, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) selaku indeks saham acuan utama di Indonesia menguat 0,44%, imbal hasil (yield) obligasi pemerintah seri acuan tenor 10 tahun naik 0,3 basis poin (bps), dan rupiah melemah 0,16% melawan dolar AS di pasar spot.

Sebagai informasi, pergerakan yield obligasi berbanding terbalik dengan harganya. Ketika yield turun, berarti harga sedang naik. Sebaliknya, ketika yield naik, berarti harga sedang turun.

Sentimen eksternal mendominasi perdagangan di pekan ini. Kini, prospek ditandatanginya kesepakatan dagang tahap satu yang begitu dinanti-nantikan oleh pelaku pasar menjadi berwarna abu-abu.

CNBC International melaporkan bahwa pejabat pemerintahan China kini pesimistis terkait prospek kesepakatan dagang tahap satu. Penyebabnya, China dibuat kesal dengan pernyataan Presiden AS Donald Trump bahwa AS belum menyepakati penghapusan bea masuk tambahan yang sebelumnya dibebankan terhadap produk impor asal China. Padahal, pihak China menganggap bahwa mereka telah mencapai kesepakatan terkait dengan hal tersebut dengan AS.

Pemberitaan tersebut lantas membuat mood pelaku pasar menjadi kurang mengenakan. Untuk diketahui, sebelumnya ada perkembangan yang positif terkait negosiasi dagang AS-China.

Menurut kantor berita Xinhua, Wakil Perdana Menteri China Liu He menggelar perbincangan via sambungan telepon dengan Menteri Keuangan AS Steven Mnuchin dan Kepala Perwakilan Dagang AS Robert Lighthizer pada akhir pekan kemarin terkait dengan kesepakatan dagang tahap satu, seperti dilansir dari CNBC International.

Xinhua melaporkan bahwa kedua belah pihak mengadakan diskusi yang konstruktif terkait dengan kekhawatiran di bidang perdagangan yang dimiliki masing-masing pihak. Kedua pihak disebut setuju untuk tetap berdialog secara intens. Xinhua juga melaporkan bahwa pembicaraan via sambungan telepon antar negosiator dagang tingkat tinggi dari AS dan China tersebut merupakan permintaan dari pihak AS.

Sejauh ini, bea masuk tambahan yang dikenakan oleh masing-masing negara terbukti sudah menghantam perekonomiannya masing-masing. Belum lama ini, pembacaan awal untuk angka pertumbuhan ekonomi AS periode kuartal III-2019 diumumkan di level 1,9% (QoQ annualized), jauh melambat dibandingkan pertumbuhan pada periode yang sama tahun lalu (kuartal III-2018) yang mencapai 3,4%.

Beralih ke China, belum lama ini Beijing mengumumkan bahwa perekonomiannya hanya tumbuh di level 6% secara tahunan pada kuartal III-2019, lebih rendah dari konsensus yang sebesar 6,1%, seperti dilansir dari Trading Economics. Pertumbuhan ekonomi pada kuartal III-2019 juga lebih rendah dibandingkan capaian pada kuartal II-2019 yang sebesar 6,2%.

Jika kesepakatan dagang tahap satu justru gagal diteken, perputaran roda perekonomian AS dan China, berikut dengan perputaran roda perekonomian dunia, akan menjadi semakin lambat.

Namun, pelaku pasar belum bisa bernafas lega. Pasalnya, masih ada sentimen domestik yang perkembangannya harus dikawal karena bisa mempengaruhi kinerja pasar keuangan tanah air dengan signifikan. Sentimen yang dimaksud adalah gelaran Rapat Dewan Gubernur (RDG) Bank Indonesia (BI).

Pada hari ini, RDG BI untuk periode November 2019 dimulai dan dijadwalkan berakhir esok hari (21/10/2019), diikuti oleh pengumuman tingkat suku bunga acuan.

Konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia memperkirakan 7-Day Reverse Repo Rate akan ditahan di level 5% oleh bank sentral. Dari sebanyak 10 ekonom yang berpartisipasi dalam pembentukan konsensus, hanya terdapat satu yang memperkirakan BI akan memangkas tingkat suku bunga acuan, sementara sembilan lainnya memperkirakan bahwa 7-Day Reverse Repo Rate tak akan diutak-atik.


Jika benar terealisasi, maka akan menandai kali pertama dalam lima bulan di mana tingkat suku bunga acuan tak dipangkas. Dalam empat bulan sebelumnya, BI selalu menginjak gas dengan memangkas 7-Day Reverse Repo Rate sebesar 25 bps. Jika ditotal, dalam periode empat bulan tersebut tingkat suku bunga acuan sudah dipangkas sebesar 100 bps.

Tim Riset CNBC Indonesia akan memberikan proyeksi terkait dengan hasil dari RDG BI.

Guna memproyeksikan hasil pertemuan BI, tentu kita perlu memproyeksikan terlebih dahulu arah kebijakan The Federal Reserve (The Fed) selaku bank sentral AS. Maklum, AS merupakan kiblat perekonomian dunia sehingga arah kebijakan moneter di AS akan sangat menentukan arah kebijakan moneter di negara-negara lain.

Di sepanjang tahun 2019, The Fed telah memangkas tingkat suku bunga acuan sebanyak tiga kali, masing-masing sebesar 25 bps, yakni pada bulan Juli, September, dan Oktober. Jika ditotal, federal funds rate sudah dipangkas sebesar 75 bps oleh Jerome Powell (Gubernur The Fed) dan koleganya di bank sentral.

Perang dagang AS-China, perlambatan ekonomi global, dan inflasi yang rendah menjadi faktor yang membuat The Fed memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 75 bps tersebut.

Kini, pelaku pasar memproyeksikan bahwa tingkat suku bunga acuan tak akan lagi diutak-atik oleh The Fed hingga akhir tahun. Mengutip situs resmi CME Group yang merupakan pengelola bursa derivatif terkemuka di dunia, berdasarkan harga kontrak fed fund futures per 19 November 2019, probabilitas The Fed akan menahan fed fund futures di posisi saat ini (1,5%-1,75%) hingga akhir tahun mencapai 99,3%.

Untuk diketahui, memang The Fed sudah memberi sinyal yang kuat bahwa pihaknya akan cenderung mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level saat ini.

Dalam pernyataan resminya pasca memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu, The Fed menghilangkan suatu pernyataan yang sudah mereka gunakan sejak bulan Juni yakni pernyataan bahwa pihaknya berkomitmen untuk “bertindak sebagaimana diperlukan guna mempertahankan ekspansi (ekonomi)”.

The Fed kemudian mengganti pernyataan tersebut dengan pernyataan yang lebih defensif.

“Komite akan terus memonitor implikasi dari informasi-informasi di masa depan terhadap prospek perekonomian sembari melakukan penilaian terkait dengan besaran yang tepat mengenai rentang dari federal funds rate,” tulis The Fed dalam pernyataan resminya.

Kemudian dalam konferensi pers pasca memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan lalu, Powell mengatakan bahwa The Fed akan cenderung mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level saat ini. Dirinya mengatakan bahwa pejabat-pejabat bank sentral memandang stance kebijakan moneter saat ini akan layak dipertahankan di masa depan.

Perubahan bahasa dalam pernyataan resmi The Fed, beserta dengan pernyataan yang dilontarkan Powell dalam konferensi pers, mengonfirmasi bahwa The Fed tak sedang memulai era pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang agresif.

Dalam konferensi pers pasca mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan September, Powell melabeli pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada bulan Juli dan September sebagai “penyesuaian di pertengahan siklus/midcycle adjustment” dan bukan sebagai strategi untuk mendorong tingkat suku bunga acuan lebih rendah lagi.

Namun, Tim Riset CNBC Indonesia tetap menilai bahwa The Fed memiliki ruang untuk memangkas tingkat suku bunga acuan di bulan Desember, dengan besaran 25 bps. Untuk diketahui, The Fed memiliki dua mandat yang ditetapkan oleh Kongres AS, yakni kestabilan harga (inflasi) dan tingkat penyerapan tenaga kerja yang maksimum.

Berbicara mengenai inflasi, saat ini tingkat inflasi AS berada di level yang rendah. Sebagai informasi, acuan yang digunakan oleh The Fed untuk mengukur tingkat inflasi adalah Core Personal Consumption Expenditures (PCE) price index.

Data teranyar, Core PCE price index tercatat tumbuh sebesar 1,7% secara tahunan pada September 2019, masih cukup jauh di bawah target The Fed yang sebesar 2%.

Kali terakhir Core PCE price index mencapai target The Fed adalah pada Desember 2018 silam kala pertumbuhannya adalah 2%, sama persis dengan target. Selepas itu, pertumbuhan Core PCE price index selalu berada di bawah angka 2%.



Sementara itu, jika kita berbicara mengenai pasar tenaga kerja, saat ini pasar tenaga kerja AS sebenarnya sedang berada dalam posisi yang relatif oke. Per September 2019, tingkat pengangguran di AS berada di level 3,5% yang merupakan level terendah dalam 50 tahun terakhir. Namun kemudian, terlihat ada tekanan di pasar tenaga kerja AS pada bulan oktober. Per Oktober 2019, tingkat pengangguran naik menjadi 3,6%.



Dengan memperhatikan dua indikator yang menjadi mandat dari The Fed, jelas bahwa ruang pemangkasan tingkat suku bunga acuan lebih lanjut masih terbuka, seiring dengan inflasi yang masih berada di bawah target dan adanya tekanan di pasar tenaga kerja.

Lebih lanjut, data ekonomi AS yang belakangan dirilis jelas menunjukkan bahwa negara dengan nilai perekonomian terbesar di dunia tersebut sedang dihadapkan pada tekanan yang signifikan.

Belum lama ini, Manufacturing PMI AS periode Oktober 2019 versi Institute for Supply Management (ISM) diumumkan di level 48,3, di bawah konsensus yang sebesar 49, seperti dilansir dari Forex Factory.

Sebagai informasi, angka di atas 50 berarti aktivitas manufaktur membukukan ekspansi jika dibandingkan dengan bulan sebelumnya, sementara angka di bawah 50 menunjukkan adanya kontraksi. Lantas, tiga bulan sudah aktivitas manufaktur di AS selalu terkontraksi.

Sebagai catatan, kontraksi yang terjadi pada bulan September merupakan kontraksi terburuk yang dibukukan oleh sektor manufaktur AS dalam satu dekade terakhir. Perang dagang dengan China terbukti telah sangat menyakiti perekonomian AS.

Jika dibiarkan berlanjut, lemahnya aktivitas manufaktur akan menekan perekonomian AS secara keseluruhan. Ketika ini yang terjadi, inflasi akan semakin sulit dipacu ke level 2%, sementara tingkat pengangguran akan semakin menanjak, yang berarti mandat dari The Fed menjadi semakin jauh dari dicapai.

Tim Riset CNBC Indonesia meyakini bahwa The Fed akan memangkas tingkat suku bunga acuan sebesar 25 bps pada bulan Desember, yang berarti BI memiliki ruang untuk memangkas tingkat suku bunga acuan terlebih dahulu pada hari ini.

Dari dalam negeri, masalah klasik yang menjadi tantangan bagi BI jika ingin mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan datang dari permasalahan defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD).

Pada kuartal I-2019, BI mencatat CAD berada di level 2,51% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 1,94% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 2,93% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 2,96% dari PDB.

Pada kuartal III-2019, CAD membaik menjadi 2,66% dari PDB, dari yang sebelumnya 3,22% pada kuartal III-2018. Di kuartal IV-2019, ada potensi bahwa CAD akan kembali membaik.

Pada hari Jumat (15/11/2019), Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan data perdagangan internasional periode Oktober 2019. Sepanjang bulan lalu, BPS mencatat bahwa ekspor melemah sebesar 6,13% secara tahunan, lebih baik ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan ekspor mengalami kontraksi sebesar 9,03%. Sementara itu, impor diumumkan ambruk hingga 16,39% secara tahunan, lebih dalam dibandingkan konsensus yang memperkirakan kontraksi sebesar 16,02%.

Neraca dagang Indonesia pada bulan lalu membukukan surplus senilai US$ 160 juta, lebih baik ketimbang konsensus yang memperkirakan adanya defisit senilai US$ 300 juta.

Dengan neraca dagang yang bisa membukukan surplus di bulan Oktober, tentu ada harapan bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) akan kembali membaik di kuartal IV-2019.

Sebagai informasi, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.

Kala CAD begitu dalam, rupiah akan tertekan sehingga membatasi ruang bagi BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Sebaliknya, kala CAD membaik, rupiah akan cenderung menguat sehingga membuka ruang bagi bank sentral untuk mengeksekusi pelonggaran kebijakan moneter.

Lebih lanjut, inflasi yang terkendali ikut membuka ruang bagi BI untuk mengeksekusi pelonggaran kebijakan moneter pada pekan ini. Pada awal bulan ini, BPS mengumumkan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,13%.

Inflasi pada bulan lalu berada di posisi yang jauh lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.

Lantas, lagi-lagi inflasi berada di bawah ekspektasi. Untuk periode September 2019, BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27% secara bulanan, lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja.

Sejauh ini, investor asing memandang positif pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi BI pada bulan lalu. Melansir data dari RTI, dalam sebulan terakhir investor asing memang membukukan jual bersih senilai Rp 4,8 triliun di pasar saham.

Namun, ada aksi beli yang begitu deras oleh investor asing di pasar obligasi. Melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, dalam periode 24 Oktober (hari di mana BI memangkas tingkat suku bunga acuan) hingga 18 November, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 24,9 triliun di pasar obligasi Indonesia.

Dengan melihat penerimaan dari investor asing yang positif terhadap pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi BI pada bulan lalu, BI menjadi memiliki ruang untuk mengeksekusi pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut.

Alasan terakhir yang membuat Tim Riset CNBC Indonesia optimistis bahwa BI akan kembali memangkas tingkat suku bunga acuan adalah fakta bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan memerlukan waktu yang tak sebentar untuk bisa ditransmisikan ke penurunan suku bunga kredit.

Di tahun 2019, BI pertama kali memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan Juli. Melansir publikasi Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), setidaknya hingga bulan Agustus tingkat suku bunga kredit belum banyak berubah.

Per Juni 2019 atau sebelum BI mulai agresif memangkas tingkat suku bunga acuan, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja denominasi rupiah tercatat sebesar 10,42%. Untuk tingkat suku bunga kredit yang pengunaannya untuk investasi dan konsumsi, besarannya adalah 10,24% dan 11,57%.

Per Agustus 2019 tingkat suku bunga kredit untuk modal kerja, investasi, dan konsumsi berada masing-masing di level 10,4%, 10,16%, dan 11,55%, tak banyak berubah jika dibandingkan dengan posisi sebelum BI mulai agresif memangkas tingkat suku bunga acuan.

Menurut Tim Riset CNBC Indonesia, BI akan memanfaatkan ruang yang ada untuk memangkas tingkat suku bunga acuan guna memastikan bahwa pelonggaran kebijakan moneter sudah akan tertransmisikan dengan baik memasuki tahun 2020.

Apalagi, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di level 5,3% pada tahun depan, sebuah target yang cukup ambisius mengingat ada banyak ketidakpastian yang menyelimuti perekonomian dunia.

Dengan mencermati berbagai perkembangan yang ada, Tim Riset CNBC Indonesia memproyeksikan bahwa BI akan mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada esok hari, dengan besaran 25 bps.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular