
Uji Nyali BI Jilid V: Injak Rem atau Tetap Tancap Gas?

Dari dalam negeri, masalah klasik yang menjadi tantangan bagi BI jika ingin mengeksekusi pemangkasan tingkat suku bunga acuan datang dari permasalahan defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD).
Pada kuartal I-2019, BI mencatat CAD berada di level 2,51% dari Produk Domestik Bruto (PDB), jauh lebih dalam ketimbang CAD pada kuartal I-2018 yang berada di level 1,94% dari PDB. Kemudian pada kuartal II-2019, CAD membengkak menjadi 2,93% dari PDB. CAD pada tiga bulan kedua tahun ini juga lebih dalam ketimbang capaian pada periode yang sama tahun lalu di level 2,96% dari PDB.
Pada kuartal III-2019, CAD membaik menjadi 2,66% dari PDB, dari yang sebelumnya 3,22% pada kuartal III-2018. Di kuartal IV-2019, ada potensi bahwa CAD akan kembali membaik.
Neraca dagang Indonesia pada bulan lalu membukukan surplus senilai US$ 160 juta, lebih baik ketimbang konsensus yang memperkirakan adanya defisit senilai US$ 300 juta.
Dengan neraca dagang yang bisa membukukan surplus di bulan Oktober, tentu ada harapan bahwa defisit transaksi berjalan/current account deficit (CAD) akan kembali membaik di kuartal IV-2019.
Sebagai informasi, transaksi berjalan merupakan faktor penting dalam mendikte laju rupiah lantaran arus devisa yang mengalir dari pos ini cenderung lebih stabil, berbeda dengan pos transaksi finansial (komponen Neraca Pembayaran Indonesia/NPI lainnya) yang pergerakannya begitu fluktuatif karena berisikan aliran modal dari investasi portfolio atau yang biasa disebut sebagai hot money.
Kala CAD begitu dalam, rupiah akan tertekan sehingga membatasi ruang bagi BI untuk memangkas tingkat suku bunga acuan. Sebaliknya, kala CAD membaik, rupiah akan cenderung menguat sehingga membuka ruang bagi bank sentral untuk mengeksekusi pelonggaran kebijakan moneter.
Lebih lanjut, inflasi yang terkendali ikut membuka ruang bagi BI untuk mengeksekusi pelonggaran kebijakan moneter pada pekan ini. Pada awal bulan ini, BPS mengumumkan bahwa pada bulan lalu terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,13%.
Inflasi pada bulan lalu berada di posisi yang jauh lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.
Lantas, lagi-lagi inflasi berada di bawah ekspektasi. Untuk periode September 2019, BPS mencatat terjadi deflasi sebesar 0,27% secara bulanan, lebih dalam dibandingkan dengan konsensus yang dihimpun oleh CNBC Indonesia yang memproyeksikan deflasi sebesar 0,15% saja.
Sejauh ini, investor asing memandang positif pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi BI pada bulan lalu. Melansir data dari RTI, dalam sebulan terakhir investor asing memang membukukan jual bersih senilai Rp 4,8 triliun di pasar saham.
Namun, ada aksi beli yang begitu deras oleh investor asing di pasar obligasi. Melansir data yang dipublikasikan Direktoral Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan, dalam periode 24 Oktober (hari di mana BI memangkas tingkat suku bunga acuan) hingga 18 November, investor asing membukukan beli bersih senilai Rp 24,9 triliun di pasar obligasi Indonesia.
Dengan melihat penerimaan dari investor asing yang positif terhadap pemangkasan tingkat suku bunga acuan yang dieksekusi BI pada bulan lalu, BI menjadi memiliki ruang untuk mengeksekusi pelonggaran kebijakan moneter lebih lanjut.
Alasan terakhir yang membuat Tim Riset CNBC Indonesia optimistis bahwa BI akan kembali memangkas tingkat suku bunga acuan adalah fakta bahwa pemangkasan tingkat suku bunga acuan memerlukan waktu yang tak sebentar untuk bisa ditransmisikan ke penurunan suku bunga kredit.
Di tahun 2019, BI pertama kali memangkas tingkat suku bunga acuan pada bulan Juli. Melansir publikasi Statistik Perbankan Indonesia yang dirilis oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK), setidaknya hingga bulan Agustus tingkat suku bunga kredit belum banyak berubah.
Per Juni 2019 atau sebelum BI mulai agresif memangkas tingkat suku bunga acuan, rata-rata tingkat suku bunga kredit yang diberikan bank umum konvensional untuk modal kerja denominasi rupiah tercatat sebesar 10,42%. Untuk tingkat suku bunga kredit yang pengunaannya untuk investasi dan konsumsi, besarannya adalah 10,24% dan 11,57%.
Per Agustus 2019 tingkat suku bunga kredit untuk modal kerja, investasi, dan konsumsi berada masing-masing di level 10,4%, 10,16%, dan 11,55%, tak banyak berubah jika dibandingkan dengan posisi sebelum BI mulai agresif memangkas tingkat suku bunga acuan.
Menurut Tim Riset CNBC Indonesia, BI akan memanfaatkan ruang yang ada untuk memangkas tingkat suku bunga acuan guna memastikan bahwa pelonggaran kebijakan moneter sudah akan tertransmisikan dengan baik memasuki tahun 2020.
Apalagi, pemerintah menargetkan pertumbuhan ekonomi di level 5,3% pada tahun depan, sebuah target yang cukup ambisius mengingat ada banyak ketidakpastian yang menyelimuti perekonomian dunia.
Dengan mencermati berbagai perkembangan yang ada, Tim Riset CNBC Indonesia memproyeksikan bahwa BI akan mengumumkan pemangkasan tingkat suku bunga acuan pada esok hari, dengan besaran 25 bps.
TIM RISET CNBC INDONESIA (ank/hps)
