
Jadi Kapan Harga Emas Bisa Tembus Rp 900.000/gram?
Irvin Avriano Arief & Tirta Widi Gilang Citradi, CNBC Indonesia
20 November 2019 06:34

Jakarta, CNBC Indonesia - Harga emas dunia menguat pada perdagangan Selasa kemarin (19/11/19) merespons pernyataan China terkait perundingan kesepakatan dagang dengan Amerika Serikat (AS).
Mengacu data Refinitiv, harga emas diperdagangkan di kisaran US$ 1.471,01/troy ons pada pukul 14:02 WIB di pasar spot pada Selasa kemarin. Sementara pada Senin sebelumnya, harga emas dunia rebound ke level US$ 1.470,75/troy ons atau menguat 0,25% setelah sebelumnya sempat melemah 0,77%.
Logam mulia ini sempat melemah pada Senin lalu disebabkan laporan dari media China, Xinhua, pada hari Minggu yang mengatakan jika pembicaraan level tinggi kedua negara melalui telepon berlangsung konstruktif.
Pernyataan tersebut senada dengan penasihat ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow, pada Kamis waktu AS, yang mengatakan negosiasi dengan Beijing berjalan konstruktif, dan mengatakan dua raksasa ekonomi dunia ini akan mencapai kesepakatan dalam waktu dekat setelah melakukan perundingan intensif melalui telepon.
Sebelumnya, dalam 2 pekan terakhir, AS dan China selalu melontarkan pernyataan yang kontradiktif. Baru pada akhir pekan lalu kedua negara kompak menyatakan perundingan berlangsung konstruktif.
Dampaknya, harapan akan ditandatanganinya kesepakatan dagang dalam waktu dekat semakin membuncah, selera terhadap risiko (risk appetite) pelaku pasar menguat yang membuat aset aman (safe haven) seperti emas menjadi kurang menarik.
Namun, harapan tersebut tidak lama langsung meredup kembali setelah China dikabarkan pesimistis akan mencapai kesepakatan dagang dengan AS. Pasalnya, Presiden AS Donald Trump menolak untuk menghapus bea masuk produk China ke AS.
"Mood di Beijing mengenai kesepakatan dagang saat ini pesimistis akibat keengganan Presiden Trump dalam menghapus bea masuk, dimana sebelumnya China percaya AS sudah sepakat akan penghapusan tersebut," kata sumber dari pemerintah China sebagaimana dikutip Eunice Yooh reporter CNBC International.
Sumber tersebut juga mengatakan China kini mengamati dengan seksama situasi politik di AS, termasuk sidang pemakzulan dan pemilihan presiden 2020.
Jika perundingan dagang kali ini kembali gagal, bursa Wall Street di AS yang berada di rekor tertinggi bisa mengalami aksi jual, dan emas bisa mendapat keuntungan dari pelemahan bursa.
Selain itu, kegagalan mencapai kesepakatan dagang berarti perekonomian AS serta global akan sulit untuk bangkit atau bahkan semakin melambat. Saat perekonomian AS memburuk, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan membuka lagi peluang untuk memangkas suku bunganya.
Ketika hal itu terjadi, daya tarik emas sebagai aset safe haven akan kembali meningkat, dan harganya berpeluang terbang kembali.
Bank of America Merrill Lynch (BoA) sebelumnya sempat memprediksi harga emas dunia bakal menembus US$ 1.500 per troy ounce (oz) tahun ini dan US$ 2.000/oz tahun depan, dengan dibayangi kekhawatiran terhadap resesi dan perang dagang AS-China.
Harga si kuning ini memang sempat beberapa kali menembus level psikologis US$ 1.500/oz sejak awal Agustus 2019 dengan level tertingginya US$ 1.552/oz.
Jika menyentuh level US$ 2.000/oz, maka harga emas per garam berada pada kisaran Rp 906.000/gram. Perhitungannya ialah, satu troy ounce, mengacu aturan di pasar, setara dengan 31,1 gram, sehingga besaran US$ 2.000 per troy ounce dikonversi dengan membagi angka tersebut dengan 31,1 gram, hasilnya US$ 64,31 per gram.
Dengan asumsi kurs rupiah Rp 14.100/US$, maka prediksi harga emas yakni setara dengan Rp 906.771/gram.
Mengacu data Refinitiv, harga emas diperdagangkan di kisaran US$ 1.471,01/troy ons pada pukul 14:02 WIB di pasar spot pada Selasa kemarin. Sementara pada Senin sebelumnya, harga emas dunia rebound ke level US$ 1.470,75/troy ons atau menguat 0,25% setelah sebelumnya sempat melemah 0,77%.
Logam mulia ini sempat melemah pada Senin lalu disebabkan laporan dari media China, Xinhua, pada hari Minggu yang mengatakan jika pembicaraan level tinggi kedua negara melalui telepon berlangsung konstruktif.
Pernyataan tersebut senada dengan penasihat ekonomi Gedung Putih, Larry Kudlow, pada Kamis waktu AS, yang mengatakan negosiasi dengan Beijing berjalan konstruktif, dan mengatakan dua raksasa ekonomi dunia ini akan mencapai kesepakatan dalam waktu dekat setelah melakukan perundingan intensif melalui telepon.
![]() |
Sebelumnya, dalam 2 pekan terakhir, AS dan China selalu melontarkan pernyataan yang kontradiktif. Baru pada akhir pekan lalu kedua negara kompak menyatakan perundingan berlangsung konstruktif.
Dampaknya, harapan akan ditandatanganinya kesepakatan dagang dalam waktu dekat semakin membuncah, selera terhadap risiko (risk appetite) pelaku pasar menguat yang membuat aset aman (safe haven) seperti emas menjadi kurang menarik.
Namun, harapan tersebut tidak lama langsung meredup kembali setelah China dikabarkan pesimistis akan mencapai kesepakatan dagang dengan AS. Pasalnya, Presiden AS Donald Trump menolak untuk menghapus bea masuk produk China ke AS.
"Mood di Beijing mengenai kesepakatan dagang saat ini pesimistis akibat keengganan Presiden Trump dalam menghapus bea masuk, dimana sebelumnya China percaya AS sudah sepakat akan penghapusan tersebut," kata sumber dari pemerintah China sebagaimana dikutip Eunice Yooh reporter CNBC International.
Sumber tersebut juga mengatakan China kini mengamati dengan seksama situasi politik di AS, termasuk sidang pemakzulan dan pemilihan presiden 2020.
Jika perundingan dagang kali ini kembali gagal, bursa Wall Street di AS yang berada di rekor tertinggi bisa mengalami aksi jual, dan emas bisa mendapat keuntungan dari pelemahan bursa.
Selain itu, kegagalan mencapai kesepakatan dagang berarti perekonomian AS serta global akan sulit untuk bangkit atau bahkan semakin melambat. Saat perekonomian AS memburuk, bank sentral AS (Federal Reserve/The Fed) akan membuka lagi peluang untuk memangkas suku bunganya.
Ketika hal itu terjadi, daya tarik emas sebagai aset safe haven akan kembali meningkat, dan harganya berpeluang terbang kembali.
Bank of America Merrill Lynch (BoA) sebelumnya sempat memprediksi harga emas dunia bakal menembus US$ 1.500 per troy ounce (oz) tahun ini dan US$ 2.000/oz tahun depan, dengan dibayangi kekhawatiran terhadap resesi dan perang dagang AS-China.
Harga si kuning ini memang sempat beberapa kali menembus level psikologis US$ 1.500/oz sejak awal Agustus 2019 dengan level tertingginya US$ 1.552/oz.
Jika menyentuh level US$ 2.000/oz, maka harga emas per garam berada pada kisaran Rp 906.000/gram. Perhitungannya ialah, satu troy ounce, mengacu aturan di pasar, setara dengan 31,1 gram, sehingga besaran US$ 2.000 per troy ounce dikonversi dengan membagi angka tersebut dengan 31,1 gram, hasilnya US$ 64,31 per gram.
Next Page
Harga Emas Antam Mulai Menggeliat
Pages
Tags
Related Articles
Recommendation

Most Popular