dibuka menguat tipis di perdagangan pasar spot hari ini. Namun penguatan itu fana belaka, karena kemudian rupiah langsung berbalik melemah.
. Rupiah menguat 0,05% dibandingkan posisi penutupan perdagangan hari sebelumnya.
Namun seiring jalan, rupiah berbalik ke jalur merah. Pada pukul 08:08 WIB, US$ 1 setara dengan Rp 14.085 di mana rupiah melemah 0,06%. Dolar AS kian dekat dengan level Rp 14.100.
Namun rupiah tidak sendiri. Mayoritas mata uang utama Asia juga melemah di hadapan dolar AS.
Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 08:09 WIB:
Rilis data ekonomi terbaru tidak suportif bagi rupiah dkk di Asia. Pada kuartal III-2019, ekonomi Jepang tumbuh 0,2% secara kuartalan yang disetahunkan (
annualized). Jauh melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yang mampu tumbuh 1,8% dan menjadi laju pertumbuhan terlemah sejak kuartal III-2018.
Pelaku pasar merespons rilis data ini dengan negatif. Maklum, konsensus pasar yang dihimpun Reuters memperkirakan angka pertumbuhan ekonomi Jepang kuartal III-2019 di 0,8%.
"Permintaan domestik bisa menutup perlambatan di sisi eksternal. Namun ini tidak bisa terus diharapkan. Oleh karena itu, sepertinya ekonomi kuartal IV-2019 akan mengalami kontraksi," tegas Taro Saito, Executive Research Fellow di NLI Research Institute, seperti dikutip dari Reuters.
Pada kuartal III-2019, konsumsi rumah tangga Negeri Matahari Terbit tumbuh minimalis 0,4%. Melambat dibandingkan kuartal sebelumnya yaitu 0,6%.
Sementara ekspor, seperti disinggung Saito, terkontraksi 0,2%. Ekspor Jepang terpukul karena perang dagang dengan Korea Selatan dan terdampak perang dagang AS-China.
Baca: Jepang, Raksasa Ekonomi Dunia yang Diprediksi ResesiDemi menggenjot konsumsi dan investasi, pemerintah Jepang tengah menyusun paket kebijakan ekonomi. Diharapkan paket ini segera meluncur, untuk menjaga kinerja ekonomi Jepang dari ancaman resesi.
"Fundamental ekonomi Jepang, terutama konsumsi, masih cukup kuat. Namun sentimen konsumen lemah, sehingga perlu mendapat perhatian," kata Yasutoshi Nishimura, Menteri Perekonomian Jepang, seperti diwartakan Reuters.
Jepang adalah perekonomian terbesar kedua di Asia, hanya kalah dari China. Jadi kala ekonomi Jepang melambat, maka dampaknya akan dirasakan oleh seluruh benua.
Situasi ini membuat investor agak malas untuk masuk ke pasar keuangan Asia. Mau dapat apa kalau ekonomi melemah?
Selain itu, mata uang Asia juga tertekan oleh penguatan dolar AS yang terjadi secara global. Pada pukul 08:21 WIB, Dollar Index (yang mengukur posisi
greenback di hadapan mata uang utama dunia) masih menguat 0,03%.
Sentimen positif bagi mata uang Negeri Paman Sam datang dari pernyataan Bank Sentral AS, The Federal Reserve/The Fed. Ketua The Fed Jerome 'Jay' Powell menegaskan bahwa suku bunga negatif bukan sebuah opsi bagi AS.
"Suku bunga negatif tentu bukan kebijakan yang pantas dalam situasi ekonomi seperti ini. Ekonomi kita kuat, kita mencatatkan pertumbuhan, kita punya konsumen yang kuat, kita juga punya inflasi.
"Anda akan melihat suku bunga negatif di negara-negara besar yang pertumbuhan ekonomi dan inflasinya rendah. Ini tidak terjadi di AS.
"Jadi kebijakan moneter yang kami terapkan sudah pantas dengan
outlook pertumbuhan ekonomi yang moderat, pasar tenaga kerja yang kuat, dan inflasi mendekati target 2%. Saya dan kolega saya menilai ada ekspansi ekonomi yang berkelanjutan, dan sepertinya memang seperti itu," jelas Powell dalam paparan di hadapan Komite Ekonomi Kongres AS, seperti diberitakan Reuters.
Isu suku bunga negatif datang dari Presiden AS Donald Trump. Dalam acara Economic Club di New York, Trump menegaskan kebijakan moneter The Fed masih kurang agresif. Dia ingin suku bunga acuan diturunkan sampai ke teritori negatif.
"Ingat bahwa kita sedang berkompetisi dengan negara-negara lain yang menurunkan suku bunga sehingga banyak di antara mereka yang malah mendapat uang saat meminjam? Itulah suku bunga negatif. Saya mau itu, beri saya uang itu. The Fed tidak membiarkan kita mendapat yang seperti itu," papar Trump.
Namun tidak semua orang di AS sepakat dengan penerapan suku bunga negatif. Lawrence 'Larry' Kudlow, Penasihat Ekonomi Gedung Putih, menilai suku bunga negatif tidak bisa diterapkan di AS.
"Saya tidak berpikir AS butuh suku bunga negatif. Ekonomi kita kuat
kok," tuturnya dalam wawancara bersama CNBC International.
Dengan dicoretnya opsi suku bunga negatif dari daftar kebijakan, maka dolar AS pun mendapat angin. Suku bunga positif membuat mata uang Negeri Adidaya masih menawarkan imbalan investasi, meski terus menurun seiring penurunan The Federal Funds Rate.
Situasi ini membuat rupiah tersudut. Dolar AS memang sedang terlalu tangguh bagi mata uang Tanah Air.
TIM RISET CNBC INDONESIA