
Kesepakatan Dagang Masih Nol Besar, IHSG Melemah Lagi

Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) mengawali perdagangan kedua di pekan ini, Selasa (12/11/2019), di zona merah.
Pada pembukaan perdagangan, IHSG melemah 0,22% ke level 6.135,49. Per akhir sesi satu, koreksi IHSG adalah sebesar 0,08% ke level 6.144,16. Jika koreksi IHSG bertahan hingga akhir perdagangan, maka akan menandai koreksi selama dua hari beruntun.
Kinerja IHSG berbanding terbalik dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang justru sedang melaju di zona hijau, walaupun apresiasinya terbilang terbatas. Hingga berita ini diturunkan, indeks Nikkei naik 0,35%, indeks Hang Seng menguat 0,02%, indeks Straits Times terapresiasi 0,46%, dan indeks Kospi bertambah 0,29%%. Sementara itu, indeks Shanghai terkoreksi 0,36%.
Prospek terkait kesepakatan dagang tahap satu antara AS dan China yang kini semakin berwarna abu-abu masih menjadi faktor yang membebani kinerja bursa saham Benua Kuning.
Sebelumnya, China mengabarkan bahwa pihaknya telah mencapai kesepakatan dengan AS untuk menghapuskan bea masuk tambahan yang sudah dikenakan oleh masing-masing negara selama perang dagang berlangsung, seperti dilansir dari CNBC International.
Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng mengabarkan bahwa kedua belah pihak telah setuju untuk secara bersama-sama menghapuskan bea masuk yang menyasar produk impor dari masing-masing negara senilai ratusan miliar tersebut. Penghapusan bea masuk disebut China akan dilakukan secara bertahap.
Dirinya kemudian menambahkan bahwa kedua belah pihak kini telah semakin dekat untuk menandatangani kesepakatan dagang tahap satu, menyusul negosiasi yang konstruktif dalam dua pekan terakhir.
Namun, pihak AS kemudian membantah klaim dari China tersebut. Penasehat Perdagangan Gedung Putih Peter Navarro menegaskan bahwa pihak AS tak pernah menyepakati hal tersebut dengan China. Navarro pun menilai China tengah melakukan upaya propaganda.
"Tidak ada kesepakatan untuk saat ini yang menghapuskan semua tarif yang diberlakukan sebagai kondisi untuk kesepakatan dagang fase pertama," tegas Navarro dalam wawancara dengan Fox Business Network, seperti dikutip dari Reuters, Jumat (8/11/2019).
"Mereka hanya bernegosiasi di ranah publik dan tengah mencoba mendorong (kesepakatan) ke satu arah." tambah Navarro.
Perkembangan terbaru, Presiden AS Donald Trump menjadi pihak yang membantah klaim dari pihak China. Menjelang akhir pekan kemarin, Trump mengatakan bahwa dirinya belum setuju untuk menghapuskan bea masuk tambahan yang diberlakukan Washington terhadap produk impor asal China.
"Mereka ingin ada penghapusan. Saya belum menyetujui apapun," kata Trump pada hari Jumat waktu setempat (8/11/2019), dilansir dari CNBC International.
Untuk diketahui, sejauh ini AS telah mengenakan bea masuk tambahan bagi senilai lebih dari US$ 500 miliar produk impor asal China, sementara Beijing membalas dengan mengenakan bea masuk tambahan bagi produk impor asal AS senilai kurang lebih US$ 110 miliar.
Lebih lanjut, perekonomian Hong Kong yang kini sedang amburadul ikut membuat pelaku pasar saham Asia memasang posisi defensif.
Beberapa waktu yang lalu, Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong merilis pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019. Pada tiga bulan ketiga tahun ini, perekonomian Hong Kong diketahui membukukan kontraksi sebesar 3,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ).
Lantaran pada kuartal II-2019 perekonomian Hong Kong sudah terkontraksi sebesar 0,4% secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi yang kembali negatif secara kuartalan pada kuartal III-2019 resmi membawa Hong Kong mengalami resesi untuk kali pertama sejak tahun 2009, kala krisis keuangan global menerpa.
Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.
Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di sana selama nyaris lima bulan sukses menekan laju perekonomian dengan sangat signifikan, seiring dengan terkontraksinya sektor pariwisata dan ritel. Untuk diketahui, aksi demonstrasi besar-besaran yang dalam beberapa waktu terakhir terjadi di Hong Kong pada awalnya dipicu oleh penolakan terhadap RUU ekstradisi.
Memasuki kuartal IV-2019, tekanan terhadap perekonomian Hong Kong terbukti belum mengendur, bahkan justru bertambah parah. Pada pekan kemarin, Manufacturing PMI Hong Kong periode Oktober 2019 dirilis oleh Markit di level 39,3, jauh di bawah konsensus yang sebesar 43,6, seperti dilansir dari Trading Economics.
Kemarin, aksi demonstrasi di Hong Kong masih saja terjadi. Seorang perwira polisi Hong Kong bahkan terekam video ketika sedang menembak pendemo yang mengenakan topeng. Polisi itu juga terlihat memukul salah seorang pendemo.
Kejadian selama bentrokan itu disiarkan langsung di Facebook. Akibat demo yang brutal ini, aktivitas selama jam sibuk di Hong Kong menjadi terganggu.
Beberapa jam setelahnya, beredar video kekerasan lain terkait seorang pria yang dikabarkan dibakar hidup-hidup oleh pengunjuk rasa. Kejadian ini terjadi di stasiun kereta bawah tanah Ma On Shan.
Dalam rekaman yang dimuat CNN International, kejadian ini berawal dari adu mulut antara pria tersebut dan pendemo. Para pendemo terlihat meneriakkan kata-kata yang mengusir pria paruh baya tersebut untuk kembali ke China daratan.
Korban pun mencoba membalas pendemo dengan mengatakan "kalian semua bukan orang China". Setelahnya ia pun dikeroyok, disiram dengan cairan yang mudah terbakar dan disulut api.
Dengan kericuhan yang masih saja terjadi di Hong Kong, praktis perekonomiannya menjadi semakin terancam.
Melansir World Economic Outlook edisi April 2018 yang dipublikasikan oleh International Monetary Fund (IMF), Hong Kong merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar ke-35 di dunia. Walaupun tidak sebesar AS dan China yang kini tengah terlibat perang dagang, tentu posisi Hong Kong di tatanan perekonomian dunia tak bisa dianggap sepele.
