Kabar Baik AS-China, Tak Mampu Angkat IHSG

Anthony Kevin, CNBC Indonesia
08 November 2019 09:27
Kabar Baik AS-China, Tak Mampu Angkat IHSG
Foto: Bursa Efek Indonesia (BEI) (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Jakarta, CNBC Indonesia - Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dibuka flat pada perdagangan terakhir di pekan ini, Jumat (8/11/2019).

Pada pembukaan perdagangan, IHSG berada di level 6.165,77. Pada pukul 09:15 WIB, IHSG berada di level 6.161,59 atau turun 0,07% jika dibandingkan posisi pada penutupan perdagangan kemarin (7/11/2019).

Jika bertahan hingga akhir perdagangan, maka koreksi pada hari ini akan menandai koreksi selama tiga hari beruntun.

Kinerja IHSG senada dengan mayoritas bursa saham utama kawasan Asia yang juga sedang melaju di zona merah. Hingga berita ini diturunkan, indeks Hang Seng turun 0,26%, indeks Straits Times jatuh 0,61%, dan indeks Kospi terkoreksi 0,14%. Sementara itu, indeks Nikkei naik 0,37% dan indeks Shanghai menguat 0,36%.

Mayoritas bursa saham Benua Kuning melemah kala ada sentimen yang begitu positif terkait kesepakatan dagang tahap satu AS-China. China mengabarkan bahwa pihaknya telah mencapai kesepakatan dengan AS untuk menghapuskan bea masuk tambahan yang sudah dikenakan oleh masing-masing negara selama perang dagang berlangsung, seperti dilansir dari CNBC International.

Juru Bicara Kementerian Perdagangan China Gao Feng mengabarkan bahwa kedua belah pihak telah setuju untuk secara bersama-sama menghapuskan bea masuk yang menyasar produk impor dari masing-masing negara senilai ratusan miliar tersebut.

Dirinya kemudian menambahkan bahwa kedua belah pihak kini telah semakin dekat untuk menandatangani kesepakatan dagang tahap satu, menyusul negosiasi yang konstruktif dalam dua pekan terakhir.

Aksi ambil untung menjadi faktor yang membebani kinerja bursa saham Benua Kuning. Pada perdagangan kemarin (7/11/2019), seluruh bursa saham utama kawasan Asia kompak ditutup di zona hijau.

Lebih lanjut, perekonomian Hong Kong yang kini sedang amburadul ikut membuat pelaku pasar saham Asia memasang posisi defensif.

Pada pekan lalu tepatnya hari Kamis (31/10/2019), Departemen Sensus dan Statistik Hong Kong merilis pembacaan awal untuk data pertumbuhan ekonomi periode kuartal III-2019. Pada tiga bulan ketiga tahun ini, perekonomian Hong Kong diketahui membukukan kontraksi sebesar 3,2% secara kuartalan (quarter-on-quarter/QoQ).

Sebagai informasi, resesi merupakan penurunan aktivitas ekonomi yang sangat signifikan yang berlangsung selama lebih dari beberapa bulan, seperti dilansir dari Investopedia. Sebuah perekonomian bisa dikatakan mengalami resesi jika pertumbuhan ekonominya negatif selama dua kuartal berturut-turut.

Lantaran pada kuartal II-2019 perekonomian Hong Kong sudah terkontraksi sebesar 0,4% secara kuartalan, pertumbuhan ekonomi yang kembali negatif secara kuartalan pada kuartal III-2019 resmi membawa Hong Kong mengalami resesi untuk kali pertama sejak tahun 2009, kala krisis keuangan global menerpa.

Aksi demonstrasi besar-besaran yang terjadi di sana selama nyaris lima bulan sukses menekan laju perekonomian dengan sangat signifikan, seiring dengan terkontraksinya sektor pariwisata dan ritel. Untuk diketahui, aksi demonstrasi besar-besaran yang dalam beberapa waktu terakhir terjadi di Hong Kong pada awalnya dipicu oleh penolakan terhadap RUU ekstradisi.

Memasuki kuartal IV-2019, tekanan terhadap perekonomian Hong Kong terbukti belum mengendur, bahkan justru bertambah parah. Pada hari Selasa (5/11/2019), Manufacturing PMI Hong Kong periode Oktober 2019 dirilis oleh Markit di level 39,3, jauh di bawah konsensus yang sebesar 43,6, seperti dilansir dari Trading Economics.

Melansir World Economic Outlook edisi April 2018 yang dipublikasikan oleh International Monetary Fund (IMF), Hong Kong merupakan negara dengan nilai perekonomian terbesar ke-35 di dunia. Walaupun tidak sebesar AS dan China yang kini tengah terlibat perang dagang, tentu posisi Hong Kong di tatanan perekonomian dunia tak bisa dianggap sepele.

Dari dalam negeri, sentimen negatif bagi IHSG masih datang dari rilis data penjualan barang-barang ritel.

Survei Penjualan Eceran (SPE) periode September 2019 yang dipublikasikan oleh Bank Indonesia (BI) menunjukkan bahwa penjualan barang-barang ritel hanya tumbuh tipis sebesar 0,7% secara tahunan (year-on-year/YoY) pada bulan September, sangat jauh di bawah capaian periode yang sama tahun lalu (September 2018) yang mencapai 4,8% YoY. 

Untuk diketahui,sudah sedari bulan Mei pertumbuhan penjualan barang-barang ritel tak bisa mengalahkan capaian periode yang sama tahun sebelumnya. Bahkan pada bulan Juni, penjualan barang-barang ritel terkontraksi 1,8% secara tahunan. Pada Juni 2018, diketahui ada pertumbuhan sebesar 2,3% YoY.

Rilis data tersebut lantas semakin menguatkan anggapan bahwa daya beli masyarakat Indonesia sedang berada dalam posisi yang lemah.

Pada pekan lalu, BPS mengumumkan bahwa pada Oktober 2019 terjadi inflasi sebesar 0,02% secara bulanan (month-on-month/MoM), sementara inflasi secara tahunan berada di level 3,13%.

"Hasil pantauan BPS di 82 kota terjadi inflasi 0,02%. Untuk inflasi tahun kalender Januari-Oktober 2019 mencapai 2,22% dan year-on-year 3,13%," kata Kepala BPS Suhariyanto dalam konferensi persnya, Jumat (1/11/2019).

Inflasi pada bulan lalu berada di posisi yang lebih rendah ketimbang konsensus yang dihimpun CNBC Indonesia yang memperkirakan adanya inflasi sebesar 0,12% secara bulanan, sementara inflasi secara tahunan diperkirakan sebesar 3,23%.

Wajar jika konsumsi masyarakat Indonesia yang begitu lemah membuat pelaku pasar saham tanah air memasang posisi yang sangat defensif. Pasalnya, lebih dari 50% perekonomian Indonesia dibentuk oleh konsumsi rumah tangga. Pada tahun 2018, konsumsi rumah tangga menyumbang sebesar 55,7% dari total perekonomian Indonesia.

Pada kuartal III-2019, konsumsi rumah tangga hanya tercatat tumbuh sebesar 5,01% secara tahunan. Alhasil, pertumbuhan ekonomi pada periode tersebut hanya mampu mencapai 5,02%, di bawah capaian periode kuartal I-2019 dan kuartal II-2019. Capaian tersebut juga jauh lebih rendah dari capaian pada kuartal III-2018 kala perekonomian Indonesia mampu tumbuh 5,17% secara tahunan.

TIM RISET CNBC INDONESIA

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular