Kejamnya Profit Taking Jadikan Rupiah Terlemah Kedua di Asia

Hidayat Setiaji, CNBC Indonesia
06 November 2019 16:31
Profit Taking Merahkan Hampir Seluruh Asia
Ilustrasi Rupiah dan Dolar AS (CNBC Indonesia/Andrean Kristianto)
Selain itu, rupiah juga sepertinya terkena hantaman ambil untung. Sebelumnya, rupiah sudah menguat selama tiga hari perdagangan beruntun. Dalam sebulan terakhir, apresiasi rupiah bahkan mencapai 1,02%.

Jadi, investor mungkin merasa bahwa rupiah sudah cukup 'mahal'. Tergoda oleh potensi cuan yang lumayan, rupiah pun terpapar aksi jual sehingga nilainya melemah.

Tidak hanya rupiah, mayoritas mata uang utama Asia pun melemah di hadapan dolar AS. Hanya yuan China, dolar Hong Kong, yen Jepang, dan dolar Taiwan yang masih mampu menguat.

Namun depresiasi 0,32% membuat rupiah menjadi mata uang terlemah kedua di Asia. Rupiah hanya lebih baik dari peso Filipina.

Berikut perkembangan kurs dolar AS terhadap mata uang utama Benua Kuning pada pukul 16:09 WIB:

 

Seperti halnya rupiah, aura profit taking juga membayangi mata uang Asia. Selama sebulan ke belakang, won Korea Selatan menguat 3,31% di hadapan dolar AS. Selama periode yang sama, ringgit Malaysia menguat 1,34%, peso 2,47%, dan baht Thailand 0,56%.


Oleh karena itu, wajar saja mata uang utama Asia kompak berkubang di zona merah. Kejamnya profit taking membuat pasar valas Asia merah membara.

Selain itu, hari ini juga agak minim sentimen yang bisa menggerakkan pasar sehingga investor memilih mencairkan keuntungan. Belum ada perkembangan baru soal hubungan AS-China, pelaku pasar masih menunggu kapan perjanjian damai dagang fase I akan ditandatangani. Tempat urusan belakangan, yang penting teken dulu.

Mengutip Financial Times, salah satu poin dalam kesepakatan tersebut adalah AS menghapus rencana pengenaan bea masuk untuk importasi produk China senilai US$ 156 miliar yang sedianya berlaku 15 Desember. Namun, seperti diwartakan Reuters, China meminta AS untuk menghapus lebih banyak lagi bea masuk. China mendorong agar AS menghapus bea masuk 15% bagi impor produk mereka senilai US$ 125 miliar yang belaku September lalu.


Kini pelaku pasar menantikan kepastian kapan perjanjian damai dagang fase I akan diteken, yang katanya bisa bulan ini. Sebelum ada hitam di atas putih, maka berbagai spekulasi masih akan berseliweran dan menambah ketidakpastian. Ini yang membuat investor memasang mode wait and see sehingga arus modal belum banyak mengalir ke negara berkembang Asia.

TIM RISET CNBC INDONESIA

(aji/aji)

Pages

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular